Pemerintah mengakui investasi saat ini mayoritas padat teknologi, bukan padat karya. Oleh sebab itu, industri manufaktur lain yang bukan hilirisasi pertambangan harus dioptimalkan demi perluasan serapan tenaga kerja
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J, ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka serapan tenaga kerja dari penanaman modal sepanjang triwulan I-2023 belum kembali pada posisi sebelum pandemi Covid-19. Kinerja serapan tersebut berpotensi kian tergerus lantaran fokus pemerintah pada hilirisasi mineral yang membutuhkan lebih banyak teknologi dibandingkan tenaga kerja.
Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jumat (28/4/2023), merilis nilai investasi sepanjang triwulan I-2023 mencapai Rp 328,9 triliun yang terdiri dari penanaman modal asing Rp 177 triliun dan penanaman modal dalam negeri Rp 151,9 triliun. Nilai total investasi tersebut lebih tinggi 16,5 persen dibandingkan triwulan I-2022. Jika dibandingkan dengan kinerja sebelum pandemi Covid-19, nilai penanaman modal triwulan I-2023 lebih tinggi 68,58 persen dibandingkan triwulan I-2019.
Meski demikian, rasio kinerja investasi terhadap penyerapan tenaga kerja pada 2023 belum berada di posisi sebelum pandemi. Pada triwulan I-2019, investasi sebesar Rp 1 triliun dapat menyerap tenaga kerja hingga 1.206 orang, sedangkan pada triwulan I-2023 sebanyak 1.170 orang.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyatakan, pemerintah mengakui investasi saat ini mayoritas menggunakan teknologi tinggi. ”Ini (kinerja investasi) bersifat padat modal, bukan padat karya. Apalagi, Indonesia sedang fokus hilirisasi (bahan mineral) seperti bauksit, nikel, dan tembaga yang tidak menggunakan sumber daya manusia dalam operasionalnya,” tuturnya saat konferensi pers di Jakarta.
Bahlil menggambarkan, sumber daya manusia (SDM) akan terserap saat konstruksi infrastruktur penunjang hilirisasi. Setelah konstruksi, pengoperasiannya akan menggunakan mesin. Proses pertambangan juga sama, mayoritas akan menggunakan mesin, sedangkan SDM bekerja sebagai operator. Namun, dia memperkirakan, terdapat serapan tenaga kerja tidak langsung dari hilirisasi, seperti sektor transportasi, konsumsi, logistik, dan yang tergabung dalam ekosistem rantai pasok mineral terkait.
Kendati penyerapan SDM berpotensi tergerus, imbuh Bahlil, hilirisasi sumber daya mineral menjadi fokus pemerintah karena menjadi kunci transformasi Indonesia dari negara berkembang menjadi negara maju. ”Kami tetap meminta investor untuk mengutamakan penyerapan SDM (dalam proses produksi) demi menyeimbangkan penciptaan lapangan kerja. Selain itu, usaha mikro, kecil, dan menengah masih berpotensi bersifat padat karya,” katanya.
Sementara itu, ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menuturkan, andalan investasi Indonesia saat ini ada di sektor hilir dari produk pertambangan. Perluasan serapan tenaga kerja pada sektor itu masih sangat mungkin diperluas karena barriers to entry (hambatan) yang ada relatif moderat.
Meski demikian, Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan satu sektor. ”Hilir pertambangan ini, kan, sudah masuk kategori manufaktur, pada besi baja. Namun, perlu juga untuk terus mendorong produk di luar pertambangan. Itu akan ditentukan oleh reformasi struktural yang selama ini digadang-gadang pemerintah,” kata Yusuf.
Reformasi struktural itu, imbuh Yusuf, penting karena sebelum pandemi Covid-19 pun sudah ada tren penurunan serapan tenaga kerja. Oleh karena itu, industri manufaktur lain, di luar hilirisasi pertambangan, harus dioptimalkan demi perluasan serapan tenaga kerja.
”Manufaktur beragam. Salah satunya ialah meningkatkan kembali daya saing tekstil dan produk tekstil. Saat ini, daya saingnya memang sedang tak bagus, tetapi masih ada ruang untuk dioptimalkan. Salah satunya dengan kebijakan terkait thrifting (impor pakaian bekas) kemarin. Begitu juga lainnya seperti industri makanan dan minuman, serta otomotif,” ucapnya.
Ia menambahkan, saat ini baru triwulan I-2023. Artinya, masih ada waktu untuk menggenjot perluasan serapan tenaga kerja hingga akhir 2023. Selain itu, tren saat ini yang mengarah pada pengembangan teknologi sedangkan serapan tenaga kerja ada pada industri padat karya menimbulkan situasi yang tricky. ”Kata kuncinya adalah bagaimana peningkatan kapasitas keterampilan tenaga kerja terus dipacu,” jelasnya.