Ekosistem "Start Up" di Indonesia Masih Dianggap Punya Daya Tarik Bagi Investor
Ekosistem "start up" di Indonesia dinilai masih menarik bagi investor kendati sedang terjadi ketidakpastian kondisi ekonomi. Ketersediaan dana yang ada cenderung lebih banyak diarahkan bagi "start up" tahap awal.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Singapura dan Indonesia masih menjadi tempat bagi sebagian besar modal investasi usaha rintisan bidang teknologi di Asia Tenggara sepanjang tahun 2022. Meski demikian, jumlah dan nilai kesepakatan investasi mengalami penurunan. Pemulihan diperkirakan belum terjadi pada tahun 2023.
“Kondisi tersebut merupakan reaksi alami terhadap iklim makro global, yaitu kenaikan suku bunga, lingkungan ekonomi yang melemah, dan ketidakpastian lain di masa depan sehingga membuat investor semakin sulit untuk menyelesaikan kesepakatan investasi,” ujar Head of Bain’s South East Asia Private Equity Practice, Usman Akhtar, dalam pernyataan resmi di Jakarta, Kamis (20/4/2023).
Dalam laporan riset “Private Equity and Venture Capital Trends in Asia Pacific and Southeast Asia” yang dirilis oleh Bain and Company baru-baru ini, jumlah dan nilai kesepakatan investasi (yang dalam konteks ini berupa private equity) di Asia Tenggara pada 2022 turun 52 persen dibandingkan tahun 2021 dan turun 21 persen dibandingkan rata-rata tahun 2017 ke 2021.
Berbagai negara di Asia Pasifik juga mengalami situasi yang sama. Jumlah dan nilai kesepakatan investasi pada 2022 di China turun 53 persen, sementara di Australia dan Selandia Baru turun 48 persen, Korea Selatan turun 39 persen, Jepang turun 28 persen, dan India turun 25 persen.
“Aksi pengumpulan dana untuk investasi (fundraising) secara global turun dari 1.167 miliar dollar AS menjadi 1.069 miliar dollar AS pada 2022. Situasi ini membuat porsi aksi fundraising untuk Asia Pasifik berkurang sekitar 48 persen. Kami mengamati mulai ada pemulihan pada triwulan I-2023, tetapi aktivitas kesepakatan investasi masih lambat karena investor masih berhati-hati terhadap kemungkinan ketidakpastian ekonomi,” kata dia.
Jika dilihat dari sisi strategi untuk menjual kepemilikan bisnis ke perusahaan atau investor lain atau exit strategy, riset Bain & Company menemukan ada penurunan. Di Asia Tenggara, khususnya, investor saat ini sedang berjuang menghadapi penilaian ulang valuasi pasar, kinerja portofolio usaha rintisan yang memburuk, dan penurunan aksi penawaran umum saham perdana.
Terlepas dari ketidakpastian jangka pendek, prospek investasi modal swasta di Asia Tenggara tetap positif untuk jangka panjang.
Partner Bain & Company yang berkantor di Singapura, Tom Kidd, mengatakan, terlepas dari ketidakpastian jangka pendek, prospek investasi modal swasta di Asia Tenggara tetap positif untuk jangka panjang. Kondisi makroekonomi di Asia Tenggara lebih tangguh daripada wilayah Asia Pasifik lainnya. Pertumbuhan produk domestik bruto tetap kuat, sedangkan tingkat inflasi moderat. Ketegangan geopolitik yang sedang berlangsung antara Amerika Serikat-China berpotensi menciptakan peluang bisnis di Asia Tenggara.
Perusahaan yang bergerak di sektor internet dan teknologi masih menjadi sasaran utama investasi di Asia Tenggara, tetapi aktivitas suntikan investasinya pada 2022 lebih rendah dibanding setahun sebelumnya. Di luar itu, investor tertarik untuk berinvestasi di sektor kesehatan dan transisi energi.
Tahap awal
Partner di Monk’s Hill Ventures, Susli Lie, berpendapat, kenaikan suku bunga membuat investor mengubah alokasi investasi. Sebagian investor memilih tidak ingin mengambil risiko menempatkan dana di modal ventura dan mendanai usaha rintisan. Sebagai gantinya, mereka akan memilih instrumen lain.
“Ini masalah persepsi saja. Kondisi sekarang yaitu perubahan suku bunga, rantai pasok, dan masih ada ketegangan geopolitik global. Dua tahun terakhir, kebanyakan perusahaan modal ventura dari global dan regional sudah tidak terlalu aktif (di Indonesia),” ujar dia, yang ditemui saat acara buka bersama di Jakarta, Kamis (13/4/2023).
Kondisi tersebut, kata Suslie, bisa menyebabkan stok dana investasi bagi perusahaan rintisan bidang teknologi (start up) tahap lanjut menjadi berkurang. Sementara ketersediaan dana bagi start up tahap awal relatif masih banyak.
CEO DailySocial Rama Mamuaya, saat dihubungi Kamis, mengatakan, start up tahap awal biasanya tidak butuh banyak modal. Rata-rata mereka memerlukan kurang dari 5 juta dollar AS.
Sesuai laporan riset DailySocial ”Startup Report 2022: Towards More Sustainable Startup Ecosystem in Indonesia”, sepanjang 2022, transaksi pendanaan bagi start up tahap seeds mencapai sekitar 132 transaksi. Start up yang menerima pendanaan ini bergerak di sektor keuangan, pertanian, logistik, perangkat lunak, dan makanan.
“Dua–tiga tahun lagi, ketika mereka ini sudah relatif lebih besar, kemungkinan besar kondisi makroekonomi sudah membaik sehingga lebih banyak dana investasi yang tersedia (tidak seperti sekarang). Mereka diharapkan telah memiliki fundamental keuangan yang relatif lebih kuat dibanding start up tahap lanjut yang ada sebelumnya,” kata Rama.
Dengan ketersediaan dana bagi start up tahap lanjut yang berkurang, dia memandang, masih ada kemungkinan masih akan menghentikan perekrutan tenaga kerja baru, memotong jumlah karyawan, dan biaya operasional pada tahun 2023.