Impor KRL Tak Jelas, Kendaraan Bermotor Diprediksi Meningkat
Pembatalan impor KRL bekas dari Jepang tanpa alternatif lain untuk menggantikannya dapat meningkatkan pembelian kendaraan bermotor. Dalam jangka panjang, ini akan membuat kebutuhan hidup warga membengkak secara umum.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Sebuah rangkaian kereta rel listrik (KRL) tiba di Stasiun Palmerah, Jakarta, Kamis (30/3/2023). Setiap hari, sekitar 830.000 warga Jabodetabek bermobilitas dengan KRL.
JAKARTA, KOMPAS — Pembatalan impor kereta rel listrik atau KRL bekas dari Jepang yang tidak dibarengi dengan alternatif lain untuk menggantikannya diprediksi akan meningkatkan pembelian kendaraan bermotor. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan membengkaknya kebutuhan hidup masyarakat secara umum.
Urban Planning, Gender, and Social Inclusion Associate dari Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), Deliani Poetriayu Siregar, mengkritik PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) karena tak mewacanakan alternatif selain impor. Kedua perusahaan juga ia sebut kurang transparan memparkan biaya yang dibutuhkan untuk impor dari Jepang ataupun beli baru dari PT Industri Kereta Api (INKA).
”Yang kami takutkan, PT KAI dan KCI memang tidak ada solusi lain. Takutnya, nantinya masyarakat yang tadinya commuting dari luar Jakarta dengan KRL akan berpindah ke kendaraan bermotor pribadi. Perpindahan ini bisa jadi irreversible (permanen) karena mereka sudah keluar modal untuk beli kendaraan,” kata Deliani, Jumat (14/4/2023).
Menurut data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), selama Januari-Maret 2023, sebanyak 1,84 juta sepeda motor terjual. Jumlah ini naik drastis dari 1,26 juta pada periode yang sama di 2022 dan 1,29 juta selama tiga bulan pertama 2021.
Sementara itu, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat penjualan mobil selama Januari-Maret 2023 mencapai 271.168 unit. Jumlah ini meningkat 13,7 persen dibandingkan periode yang sama pada 2022.
Menurut Deliani, jika jumlah rangkaian KRL yang beroperasi dibiarkan berkurang, masyarakat secara umum akan menanggung akibat ekonominya, terutama akibat macet. ”Kalau semakin banyak kendaraan pribadi, tentunya ini akan menambah emisi karbon, dan akhirnya menyebabkan masalah kesehatan. Kerugiannya akan jauh lebih besar kalau kita harus menunggu produksi kereta dalam negeri,” katanya.
Saat ini, PT KCI mengoperasikan 109 rangkaian kereta (trainset) yang terdiri atas 1.114 gerbong untuk melayani 273,6 juta penumpang sepanjang tahun. Menurut rencana, sebanyak 10 rangkaian (120 gerbong) akan dikonservasi atau berhenti digunakan tahun ini, disusul 19 lainnya (164 gerbong) pada 2024.
PT KCI berniat membeli KRL bekas dari East Japan Railway Company (JR-East) dalam jumlah yang sama sebagai penggantinya. Namun, rencana tersebut tak direkomendasikan berdasarkan peninjauan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) karena bertentangan dengan visi memajukan industri perkeretaapian nasional.
KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI
Para penumpang menunggu keberangkatan kereta rel listrik (KRL) dari Stasiun Tanah Abang, Jakarta, Kamis (30/3/2023). Setiap hari, sekitar 830.000 warga Jabodetabek bermobilitas dengan KRL.
Masalahnya, jika 29 rangkaian kereta tidak diganti tahun ini dan tahun depan, setidaknya 116,03 juta penumpang akan telantar pada 2024. Menurut Deliani, kekacauan akan lebih parah saat jam sibuk (peak hour), di mana seluruh KRL dapat menampung 900.000 penumpang dalam satu waktu.
Jika tak ada solusi, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, masyarakat pengguna KRL pasti akan beralih ke alternatif yang paling murah dan praktis, yaitu sepeda motor. Peningkatan penjualan sepeda motor yang mencapai 46,03 persen pada awal tahun ini menunjukkan besarnya kemungkinan tersebut.
Kendati demikian, pengeluaran masyarakat akan membengkak untuk bahan bakar minyak (BBM), terutama pertalite. ”Bisa saja, stoknya di SPBU sering habis. Mungkin juga masyarakat malas mengantre sehingga beralih ke pertamax. Artinya, biaya hidup akan meningkat juga,” kata Faisal.
Kendati demikian, hingga kini pemerintah, PT KAI, dan juga PT KCI belum mencapai solusi lain. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan, Selasa (11/4/2023), mengatakan, pemerintah akan mengacu pada hasil peninjauan BPKP. ”Kalau ada pertimbangan lain dari review BPKP, ya, kita lihat nanti,” katanya.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenkomarves Septian Hario Seto menambahkan, harus dicari solusi yang komprehensif. Menurut dia, meningkatkan kapasitas kereta lebih penting ketimbang hanya mengganti yang lama tanpa menambah daya angkut.
Ia juga mengatakan perlunya mengganti teknologi persinyalan KRL dari sistem blok tetap (fixed block system) menjadi sistem kendali kereta berbasis komunikasi (CBTC). Dengan begitu, jarak antarkereta bisa diperpendek menjadi 1,5 menit saja dari sebelumnya 3 menit.
”Akan ada rapat lanjutan, tetapi untuk saat ini kita melihat apa hasil review BPKP. Itu yang kita jadikan acuan. Kalau nanti ada input, ada diskusi tambahan, kita akan lihat lagi,” katanya.
Direktur Utama PT KCI Suryawan Putra Hia menolak berkomentar ketika ditemui di Depok, Jawa Barat, Kamis (13/4/2023). Ia menyebutnya harus diputuskan dari PT KAI sebagai perusahaan induk PT KCI.