Harmonisasi regulasi sawit diharapkan membantu petani swadaya untuk menciptakan produk yang berkelanjutan dan diterima pasar global. Pendanaan dan tata kelola lembaga tani perlu diperhatikan untuk mendorong program ini.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harmonisasi aturan sawit di skala global dan nasional perlu dilakukan agar pengadopsian pertanian yang berkelanjutan di Indonesia bisa dipercepat. Masih adanya perbedaan di antara keduanya membuat sertifikasi lahan sawit di Indonesia terhambat karena kerap menimbulkan kebingungan, khususnya bagi petani swadaya.
Dalam merumuskannya, pemerintah dan industri perlu pula untuk mengelaborasi pandangan dari petani di bawah.
Melalui paparan penelitian berjudul ”Achieving Indonesian Palm Oil Farm-to-Table Traceability through ISPO-RSPO Harmonization”, peneliti mitra Center for Indonesian Policy Studies Samuel Pareira menerangkan, kepatuhan terhadap regulasi mengenai keberlanjutan dibutuhkan karena sawit telah menyebabkan masalah seperti deforestasi dan konflik lahan.
Di industri kelapa sawit Indonesia, ada dua sertifikasi yang umum dikenal, yaitu roundtable sustanaible palm oil (RSPO) dan Indonesian sustanaible palm oil (ISPO).
RSPO merupakan sertifikasi skala global yang diluncurkan tahun 2004. Sertifikasi ini bersifat sukarela, tetapi penting agar produk sawit bisa diterima di pasar global. Sementara ISPO adalah sertifikat yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) tahun 2011, yang menghimpun kewajiban industri dan petani mematuhi seluruh peraturan perkebunan di Indonesia.
”Kehadiran dua sertifikasi ini menghambat target satu sama lain karena biaya yang dikeluarkan menjadi mahal. Hal ini membuat petani atau perusahaan harus memilih sertifikasi mana yang harus dimiliki,” ucapnya di Jakarta, Jumat (31/3/2023).
Berdasarkan penelitiannya, hingga Agustus 2022, RSPO telah menyertifikasi 2,42 juta hektar lahan sawit atau 16,6 persen, sedangkan ISPO sudah menyertifikasi 3,65 juta hektar atau 25 persen.
Agar selaras, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2020 yang memuat ISPO bisa diseleraskan dengan aturan RSPO. Pertama, melarang total konversi lahan gambut menjadi perkebunan sawit. Kedua, standar sertifikasi perlu lebih adaptif dengan kondisi lokal agar lebih banyak petani swadaya yang mau disertifikasi.
Selanjutnya, ISPO dapat mencontoh RSPO soal syarat kepemilikan lahan yang lebih fleksibel agar sertifikasi bisa lebih cepat. Berdasarkan hal itu, pemerintah perlu membuka peluang bagi petani swadaya untuk menunjukkan bukti kepemilikan lahan di luar sertifikat hak milik (SHM), surat tanda daftar budidaya (STDB), dan surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL).
”Syarat tersebut jangan mutlak karena banyak petani swadaya yang belum punya surat-surat itu. Penyelarasan ini semoga dapat membuat hasil dari petani swadaya bisa diterima di skala global,” katanya.
Agar harmonisasi berjalan lancar, RSPO dan ISPO perlu duduk bersama untuk melakukan penelitian bersama (joint study) lagi setelah terakhir tahun 2015.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Kementerian Pertanian Prayudi Syamsuri menjelaskan, sertifikasi penting untuk mengembalikan kepercayaan publik bahwa industri kelapa sawit patuh terhadap aturan-aturan lingkungan. Selanjutnya, hal yang diperlukan adalah pendampingan dari pemerintah agar sertifikasi bisa berjalan lancar. ”Saya kira keduanya silakan berjalan masing-masing selama dalam upaya menciptakan trust,” ucapnya.
Tantangan petani
Hal penting yang menjadi tantangan sertifikasi di tingkat petani adalah terkait kelembagaan. Sekretaris Jendral Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto menjelaskan, di tingkat petani swadaya, tidak ada lagi kejelasan mengenai kelompok tani yang masih aktif ataupun tidak.
Ketidakteraturan ini membuat sertifikasi tidak berjalan dengan baik karena minimnya dokumentasi mengenai perkembangan kebun sawit petani swadaya. Lembaga tani diperlukan agar dokumen yang diperlukan untuk sertifikasi, seperti data mengenai mekanisme panen, pemupukan, dan bibit yang digunakan, bisa disediakan kepada auditor.
Sulitnya membentuk lembaga tani yang solid juga terjadi akibat adanya ketidakpercayaan petani dengan kelompok yang dibentuk. Agar program ini bisa diakselerasi, petani juga membutuhkan pendanaan mengingat mahalnya biaya sertifikasi.
”Ada istilahnya KUD bukan koperasi unit desa, tetapi ketua untung duluan, ada ketidakpercayaan karena kerap ada praktik korupsi terkait pendanaan. Sebenarnya sudah ada 50 kelembagaan tani yang sudah tersertifikasi, tetapi anggotanya hanya 200-500, padahal petani sawit di satu desa lebih dari itu,” ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Darto juga mengkritik sertifikasi RSPO dan ISPO yang tidak mengelaborasi pendekatan yang dilakukan petani swadaya untuk mewujudkan produk sawit berkelanjutan. Salah satu contohnya adalah petani sawit binaan SPKS di Kalimantan Barat yang secara aktif memastikan tidak ada pembalakan liar terhadap hutan di sekitar kebunnya.
”Kalo RSPO dari barat, ISPO dari pemerintah, di luar itu, inisiatif petani lokal juga perlu dipikirkan. Petani sawit juga memiliki cara sendiri untuk konservasi hutan agar cucu-cicit mereka bisa melihat hutan,” katanya.