Kasus pengunduran diri massal (great resignation) dan juga pura-pura bekerja (quiet quitting) beberapa waktu lalu yang di beberapa tempat masih berlangsung menunjukkan kebosanan dan kejenuhan di tempat kerja.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·3 menit baca
Sebuah tim di dalam perusahaan yang selalu gembira dan saling dukung, tiba-tiba mengalami penurunan kinerja. Anggota tim mulai malas dan tidak memunculkan ide-ide baru. Kelelahan di dalam sebuah tim muncul tak terduga. Kadang bukan karena masalah personal, melainkan muncul semisal kebosanan dan kejenuhan. Keseimbangan karyawan dalam melakukan urusan pekerjaan dan pribadi menjadi terganggu.
Kasus pengunduran diri massal (great resignation) dan juga pura-pura bekerja (quiet quitting) beberapa waktu lalu yang di beberapa tempat masih berlangsung menunjukkan kebosanan dan kejenuhan di tempat kerja. Secara umum mereka tidak memiliki alasan yang jelas saat melawan kejenuhan dengan lari dari pekerjaan. Kasus ini makin marak dan menjadi pembahasan ketika pandemi mulai mereda. Kelelahan sebuah tim bisa memiliki akar yang mendalam di perusahaan.
Psikolog Merete Wedell-Wedellsborg dalam salah satu tulisannya di Harvard Business Review menggambarkan kemunculan kelelahan sebuah tim. Ia mengatakan, di pengujung tahun 2020, orang-orang di seluruh dunia menghadapi kelelahan yang semakin meningkat akibat pandemi, perselisihan politik, dan kerusuhan sosial. Hingga sekarang kelelahan itu masih ada dan kadang tak pernah disadari. Target dari perusahaan tetap menjadi tujuan utama, sementara karyawan sebenarnya masih sangat lelah.
Padraig Coaching dan Consulting berdasar cerita dari para pemimpin di berbagai industri dan lokasi mereka menemukan bahwa kelelahan tidak hanya menimpa tim mereka saja, para pemimpin mengakui mereka juga mengalami kelelahan. Beberapa keluhan itu adalah selama ini mereka mengalami jungkir balik emosi saat memimpin, mereka berharap sesuatu, tetapi kenyataan jauh di belakang, merasa kurang kreatif, kurang gesit, terdemotivasi, dan lain-lain. Mereka harus mencari cara untuk menyelesaikan masalah mereka.
Vanessa Bennett dari lembaga konsultan Next Evolution Performance di salah satu kolomnya juga mengakui, banyak pemimpin dan tim mereka saat ini lelah. Saat mereka meminta orang untuk memberi peringkat tingkat energi mereka pada skala 1-10, mereka menyebut antara 5-6 alias cukup. Kondisi ini bukan kondisi yang baik untuk hidup dan bekerja, tetapi orang-orang melihat ini sebagai hal yang normal dan biasa-biasa saja. Padahal ada banyak hal yang perlu diperbaiki sehingga orang bisa melihat kehidupan dari berbagai sisi.
Lebih buruk lagi, kadang orang-orang berteriak meminta lebih banyak staf. Seolah kelelahan akan berkurang ketika perusahaan menambah karyawan. Sialnya, karyawan yang baik sulit didapat pada saat-saat seperti sekarang ini, apalagi di sejumlah negara terdapat fenomena pengunduran diri massal itu. Penambahan karyawan kadang malah menambah lebih banyak orang yang lelah ke dalam tim mereka. Masalah makin ruwet.
Vanessa menambahkan, saat orang lelah, otak mereka mencoba menggunakan energi kognitif sesedikit mungkin alias hanya sekadar untuk melewati hari-hari. Mereka hampir tidak dalam posisi untuk berpikir secara strategis atau kreatif. Tentu jauh lebih sulit untuk berpikir secara optimistis. Ada juga lebih banyak penyakit dan kelelahan yang bermunculan di dalam sebuah tim yang seperti ini. Akibatnya, kita mudah dikenali sebagai orang yang memiliki tim yang lelah. Dengan demikian, jangan harap kita mampu untuk mempertahankan dan merekrut anggota tim baru.
Ia menyebutkan, beberapa hal yang menyebabkan sebuah tim mudah lelah di tempat kerja adalah karyawan jarang melakukan libur, terlalu banyak rapat, banyak hal yang membingungkan di dalam perusahaan, dan perhatian yang terpecah saat bekerja. Semua ini akan menyedot pikiran kita dan banyak energi yang terbuang percuma. Liburan tidak pernah digunakan secara efektif karena tuntutan pekerjaan. Di sisi lain, karyawan juga sering abai dengan jatah cuti. Ujung dari masalah ini karyawan menjadi frustrasi. Mereka tidak memiliki gairah bekerja dan masalah besar menunggu.
Apa yang harus pemimpin bisnis lakukan ketika jaminan semangat tim ”kita semua selalu bersama”, tetapi pada saat yang sama bertemu dengan skeptisisme dan gangguan? Atau, ketika Anda lebih suka meringkuk di tempat tidur daripada menyusun strategi untuk masa depan? Merete Wedell-Wedellsborg menyarankan, pemimpin harus fokus pada tiga bidang, yaitu memahami perbedaan antara urgensi dan kepentingan, selanjutnya berfokus pada yang terakhir, yaitu kepentingan, dan berbelas kasih atau peduli sambil juga mendorong karyawan Anda untuk bertindak dengan berusaha menyalurkan perasaan marah dan frustrasi mereka. Terakhir, pemimpin bisnis harus mengubah segalanya setiap hari dengan fokus untuk memberi energi lebih pada tim.
Saran lain dari Biopharma Business Unit Leader at Eurogentec Fabrice Le Garrec dalam akun Linkedin, pemimpin harus serius memperhatikan kesejahteraan mental karyawan. Mereka harus ikut campur tangan lebih cepat daripada menanti permintaan para stafnya. Karyawan Anda lebih banyak membutuhkan kehangatan dan kenyamanan daripada yang mungkin mereka miliki selama ini. Anda tidak bisa menenangkan tim Anda dengan rencana dan tujuan bisnis. Semua ini membutuhkan kemampuan mendengarkan dan berani untuk tetap berada di antara mereka pada saat-saat tersulit.