Usia PLTU-PLTU di Asia Tenggara dan Asia lebih muda dibandingkan dengan kawasan lain. Namun, pengakhiran dini amatlah diperlukan. Jika tidak, target menjaga kenaikan 1,5 derajat suhu global terancam.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Pembangkit listrik tenaga surya.
JAKARTA, KOMPAS — Kendati pembangkit listrik tenaga uap di Asia Tenggara cenderung berusia lebih muda dibandingkan dengan kawasan-kawasan lainnya, pengakhiran dini operasinya tak terhindarkan dalam transisi energi. Dalam mewujudkan itu, komunikasi dan social acceptance penting dalam penghapusan bertahap batubara.
Managing Director Asia-Pacific Network, Glasgow Financial Alliance for Net Zero, Yuki Yasui pada Southeast Asia Development Symposium 2023: Imagining A Net-Zero ASEAN, di Bali, yang juga disiarkan virtual Kamis (30/3/2023), mengatakan, setiap negara akan memerlukan pendekatan berbeda terkait dengan penghapusan bertahap batubara (coal phase-out).
Rata-rata usia PLTU batubara di Asia Tenggara, imbuh Yuki, yakni 11 tahun dan di Asia 13 tahun. Adapun Eropa 23 tahun dan Amerika Serikat 33 tahun. Kondisi itu membuat PLTU-PLTU di Eropa dan Amerika relatif sudah dekat dengan masa berakhirnya operasi secara alamiah sehingga bisa segera diganti oleh energi terbarukan.
”Namun, jika kita biarkan yang lainnya (selain Eropa dan AS) terus beroperasi hingga masanya selesai, yakni 40 hingga 45 tahun, saya pikir target (menjaga kenaikan temperatur global) 1,5 derajat celsius akan gagal dicapai. Jadi, ini bukan semata kepentingan kawasan, tapi bagaimana seluruh ekonomi global mendukung akselerasi pengakhiran dini operasi PLTU di Asia,” ujar Yuki.
Ia menambahkan, tentu ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengakhiran dini PLTU batubara. Oleh karena itu, selain pendanaan, sejumlah hal harus dimatangkan dalam pelaksanaannya.
”Penerimaan sosial dan komunikasi sangatlah penting dalam tata kelola penghapusan bertahap batubara. Di Asia, yang menjadi pertimbangan sosial terbesar ialah keterjangkauan (affordability) dan aksesibilitas. Dalam akselerasi, keseimbangan juga harus dipastikan,” ucapnya.
Di sejumlah negara, seperti di Asia Tenggara, pengakhiran dini operasi PLTU berkaitan dengan penyediaan energi di negara tersebut. Artinya, energi fosil masih diandalkan dalam pemenuhan suplai listrik negara sebelum memutuskan beralih atau menggantinya dengan energi terbarukan.
Deputi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Amina J Mohammed menuturkan, pengumuman kerja sama Just Energy Transition Partnership (JETP), masing-masing oleh Indonesia dan Vietnam pada 2022, menjadi hal penting. Kerja sama dan kolaborasi dalam transisi energi amat diperlukan untuk kepentingan global.
Menurut dia, negara-negara di Asia Tenggara menjadi harapan untuk terdepan dalam akselerasi dalam transisi energi. ”Sebab, itulah yang dibutuhkan bumi dan penduduknya. Asia Tenggara ialah sebuah kekuatan ekonomi dan kami harap (negara-negara) mengambil langkah untuk menjadikannya ekonomi hijau,” katanya.
Langkah konkret
Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati menuturkan, dalam proyek transisi energi, Indonesia bukan lagi bicara tentang framework, melainkan ingin mengujinya langsung seiring dengan komitmen dari negara-negara di tingkat global. Salah satunya dengan proyek Energy Transition Mechanism (ETM).
Nota kesepahaman (MoU) terkait ETM, yang mendapat dukungan pendanaan dari Bank Pembangunan Asia (ADB), telah dilakukan di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November 2022. ”Yakni pengakhiran dini operasi PLTU batubara berkapasitas 660 megawatt di Jawa Barat,” kata Sri Mulyani.
Suasana Malam Hari di kawasan PLTU Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Selasa (29/03/2022).
Upaya-upaya itu tidak hanya untuk Indonesia, tetapi juga ASEAN dan dunia. Telebih, ASEAN berperan penting dalam komitmen terkait dengan perubahan iklim karena merupakan kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Indonesa pun berkomitmen kuat untuk mencapai emisi nol bersih (NZE) 2060 atau lebih cepat.
Sri Mulyani yakin, Simposium ASEAN tidak sekadar imajinasi untuk mencapai tujuan mencapai energi bersih. ”Tapi, menjadi langkah konkret dalam mewujudkan komitmen terpenting ini, dalam rangka menyelamatkan umat manusia dari bencana iklim,” ucapnya.
Director General, Southeast Asia Department, Asian Development Bank (ADB) Ramesh Subramaniam menuturkan, permasalahan dan tantangan dalam peralihan dari energi fosl ke energi bersih kompleks. Yang dibutuhkan pun tidak hanya terkait pendanaan, tetapi juga solusi yang inovatif.
”Jadi, selain memobilisasi uang (pendanaan), juga keterampilan dan ide-ide baru. Begitu juga dengan teknologi mengingat perubahannya kini sangatlah cepat dan tidak semua negara (berkemampuan) sama. Lebih rendah pendapatan satu negara berkembang, mereka akan membutuhkan pendampingan,” katanya.