Dampak Impor Beras, Daya Serap Bulog Dikhawatirkan Tergerus
Kalangan petani khawatir daya serap Perum Bulog untuk memperkuat cadangan pemerintah dari produksi domestik tergerus oleh impor beras. Impor mesti ditempuh secara cermat agar tidak justru menekan harga gabah di petani.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan petani khawatir pengumuman impor beras saat panen raya berdampak menekan harga gabah di tingkat petani. Rencana pemerintah mengimpor 2 juta ton beras hingga akhir tahun ini dikhawatirkan menggerus daya serap Perum Bulog untuk memperkuat cadangan beras pemerintah dari produksi dalam negeri.
Menurut Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih, pergerakan harga gabah kering panen (GKP) di atas Rp 5.000 per kilogram (kg) ketika pengumuman impor saat panen raya baru kali ini terjadi. ”Setelah pengumuman impor dari pemerintah, harga (GKP di tingkat petani) masih beragam, bahkan ada yang sekitar Rp 6.000,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (30/3/2023).
Penurunan produksi mungkin berpengaruh terhadap jumlah pasokan gabah dan situasi harga itu. Namun, dia menduga, pergerakan harga tersebut lebih disebabkan oleh penyerapan gabah dari korporasi besar. Namun, situasi ini mengkhawatirkan lantaran daya serap Bulog untuk memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP) dari produksi dalam negeri bisa tergerus.
Dengan harga pembelian pemerintah (HPP) sebesar Rp 5.000 per kilo untuk GKP di tingkat petani, Bulog belum bisa bersaing dalam perebutan gabah/beras domestik. Padahal, sumber produksi dalam negeri mesti menjadi andalan untuk membangun kedaulatan pangan nasional, bukan impor.
Dia menambahkan, petani menyesalkan pemerintah mengumumkan impor beras di tengah panen raya. Meskipun harga gabah masih dinamis di atas Rp 5.000 per kg, pengumuman impor beras masih berpotensi memengaruhi psikologi pasar.
Pengumuman impor beras setelah adanya koreksi data produksi nasional pada Februari 2023 mengemuka dalam Rapat Dengar Pendapatan Komisi IV DPR, Senin (27/3/2023). Berdasarkan data Panel Harga Badan Pangan Nasional, rata-rata nasional harga GKP di tingkat petani pada Rabu (1/3/2023), Jumat (24/3/2023), dan Kamis (30/3/2023) secara berturut-turut 5.140 per kg, Rp 5.250 per kg, dan Rp 5.300 per kg.
Per Kamis (30/3/2023), harga GKP di tingkat petani bergerak di angka Rp 4.300 per kg-Rp 6.450 per kg. Harga GKP yang turun di bawah HPP, antara lain, terjadi di Lampung, Yogyakarta, Banten, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan Barat.
Sementara itu, per Jumat (24/3/2023), total stok beras yang dikelola Bulog sebanyak 225.000 ton. Realisasi penyerapan dari dalam negeri tercatat 49.000 ton. Jumlah itu jauh lebih rendah dibandingkan serapan selama Januari-Maret 2021 dan 2022 yang masing-masing sebesar 234.636 ton dan 64.068 ton.
Di sisi hilir, pemerintah menggelar program bantuan sosial (bansos) bagi 21,35 juta keluarga penerima manfaat (KPM). Selama Maret-Mei 2023, lewat program itu, sebanyak 10 kg beras akan dibagikan untuk setiap KPM per bulan. Beras tersebut disalurkan oleh Bulog.
Henry menilai, program bansos itu meningkatkan permintaan beras di pasar. Imbasnya, dia menduga, spekulan mengambil kesempatan dengan turut membeli gabah pada harga tinggi.
Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) Arief Prasetyo Adi menilai, spekulan saat ini mengambil kesempatan karena produksi gabah/beras pada panen raya lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Artinya, suplai saat ini terbatas.
Sebelumnya, produksi beras pada Februari 2023 diperkirakan sebanyak 3,68 juta ton. Akan tetapi, berdasarkan data dari pengamatan terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi produksi beras pada Februari 2023 hanya 2,86 juta ton. Artinya ada koreksi sekitar 820.000 ton beras.
Dengan koreksi itu, produksi beras sepanjang Januari-April 2023 diperkirakan sebanyak 13,37 juta ton. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang mencapai 13,71 juta ton. Adapun pada Mei 2023, produksi beras diperkirakan 2,11 juta ton dan defisit 430.000 ton karena proyeksi konsumsinya 2,54 juta ton.
Oleh sebab itu, Arief mengatakan, pemerintah hendak mengimpor beras sebanyak 500.000 ton untuk mengamankan pasokan yang diperkirakan defisit pada Mei nanti. Meskipun demikian, pemerintah tetap meminta Bulog memenuhi target pengadaan CBP dalam negeri sepanjang panen raya, yakni sebanyak 70 persen dari target 2,4 juta ton pengadaan tahun ini.
Dalam merealisasikan impor, lanjut Arief, harga gabah di tingkat petani dan daya serap Bulog di dalam negeri akan menjadi indikator. Indikator tersebut membuat realisasi impor menjadi terukur. ”Pasokan gabah yang terbatas saat ini karena penurunan produksi berpotensi membuat harga gabah cenderung berada di atas HPP,” ujarnya.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menilai, impor terukur mesti tepat jumlah dan tepat waktu. Dia mengilustrasikan, jika impor digunakan untuk menutup defisit pada Mei mendatang, jumlah dan waktunya benar-benar harus sesuai dengan tujuan tersebut.
Agar Bulog tidak terlena dengan impor, dia berpendapat, Bulog mesti kerja ekstra mencari gabah yang harganya di bawah HPP. ”Biasanya, harga gabah jatuh di area produksi yang jauh dari penggilingan. Misalnya di Cianjur bagian selatan, Garut bagian selatan, dan Sukabumi bagian selatan, Jawa Barat; Luwu Utara, Sulawesi Selatan; serta Morowali, Sulawesi Tengah,” tuturnya.
Selain itu, dia menggarisbawahi komunikasi publik pemerintah mengenai impor beras di tengah panen raya yang berpotensi berpengaruh secara psikologis pasar dan menjadi alasan pedagang menekan harga di tingkat petani. Jika memang ada kebutuhan impor, istilah penjajakan pengadaan beras antarpemerintah dengan sejumlah negara produsen beras seperti India, Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Kamboja dapat digunakan.