Nilai Penyalahgunaan BBM Bersubsidi Naik Dua Kali Lipat
Tahun 2022 dinilai menjadi pelajaran penting untuk mereformulasi kebijakan BBM atau energi. Bagaimanapun, kenaikan harga energi global telah memberi dampak negatif, baik bagi daya beli masyarakat maupun APBN.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
RIZA FATHONI
Bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite sedang dalam proses diisikan ke tanki mobil di SPBU Pertamina di kawasan Kuningan, Jakarta, Selasa (28/12/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Nilai penyalahgunaan bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi sepanjang 2022 mencapai Rp 11,65 miliar atau naik dua kali lipat dari tahun 2021 yang tercatat Rp 5,11 miliar. Reformulasi kebijakan BBM, khususnya pada pertalite yang dikompensasi pemerintah, dinilai mendesak. Selain alasan keadilan, kebijakan yang tepat diperlukan untuk menghemat anggaran.
Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Imaduddin Abdullah, dalam diskusi yang digelar Indef secara daring, Senin (27/3/2023), menyebutkan, merujuk data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), penyalahgunaan pertalite (RON 90) meningkat dari 4.280 liter (2021) menjadi 12.180 liter (2022). Sementara penyalahgunaan RON 92 naik dari 142 liter (2021) menjadi 1.000 liter (2022) dan BBM oplosan dari 49.407 liter (2021) menjadi 233.403 liter (2022).
Secara total, termasuk pada jenis solar subsidi, solar nonsubsidi, BBM RON 88, dan minyak tanah, penyalahgunaan pada 2022 mencapai Rp 11,65 miliar. Angka tersebut naik signifikan dibandingkan dengan penyalahgunaan pada 2021 yang tercatat Rp 5,11 miliar.
Menurut Imaduddin, sebagian besar BBM bersubsidi dinikmati oleh warga mampu. ”Tahun 2022 menjadi pelajaran penting untuk mereformulasi kebijakan BBM atau energi. Bagaimanapun, kenaikan harga energi global telah memberi dampak negatif. Tak hanya pada inflasi dan daya beli masyarakat, tetapi juga APBN atau fiskal,” katanya.
Memasuki 2023, meski terjadi penurunan harga energi di tingkat global, Indonesia perlu tetap waspada mengingat posisi global saat ini penuh ketidakpastian. Kenaikan harga energi bisa terjadi kapan pun dan berpotensi memberi dampak negatif seperti halnya di tahun 2022.
Usaha merumuskan kembali kebijakan terkait BBM bersubsidi pun mendesak. ”Antara lain karena posisi Indonesia sebagai net importer (pengimpor bersih minyak). Kemudian, BBM JBKP (Pertalite) cenderung tidak tepat sasaran karena yang paling banyak menikmati ialah pemilik kendaraan roda empat (kalangan mampu),” ujarnya.
Menurut Imaduddin, opsi formula kebijakan BBM bersubsidi perlu mengembangkan tiga aspek, yakni penghematan fiskal, kemudahan implementasi, dan keadilan. Adapun salah satu opsinya ialah dengan merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM.
Pembahasan
Menurut Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Direktorat Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Maompang Harahap, awalnya, izin prakarsa revisi Perpres No 191/2014 ada Kementerian BUMN. Namun, kini sedang dalam proses pembahasan agar ada di Kementerian ESDM.
”(Itu) agar bisa dilakukan percepatan (revisi). Arahnya untuk pengaturan pengendalian sekaligus penguatan pengawasan,” kata Maompang.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Antrean sepeda motor yang hendak mengisi bahan bakar minyak jenis pertalite di SPBU di kawasan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Jumat (12/8/2022) pagi. Energi merupakan salah satu sektor yang terdampak dari perekonomian global yang tak menentu.
Menurut dia, dari diskusi, banyak masukan terkait apa yang akan tertuang dalam revisi perpres itu. Untuk pengaturan pertalite, misalnya, terdapat beberapa skenario. Tanpa menyebutkan rinci, Maompang mengatakan, ada skenario yang bisa berdampak pada inflasi 0,26 persen dan yang terkecil berdampak sebesar 0,03 persen.
”Kalau memakai asumsi makro (nilai tukar rupiah) Rp 14.800 (per dollar AS) dan ICP (harga minyak mentah Indonesia) 90 dollar AS, (dengan revisi peraturan) kita bisa menghemat sekitar 9 juta kiloliter atau 3 persen dari kuota. Maka, kompensasi yang bisa dihemat bisa mencapai Rp 18,63 triliun,” ujarnya.
Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) periode 2005-2008 Kardaya Warnika mengingatkan bahwa BBM ialah persoalan sensitif. Karena itu, jika ingin mengubah aturan, sejumlah hal perlu diperhatikan, salah satunya keterjangkauan masyarakat.
”Kalau mau ada kebijakan baru energi, khususnya BBM, agar dikaji betul. Apakah ini tersedia, dapat diakses, dan distribusinya berjalan baik,” ujar Kardaya yang juga anggota Komisi XI DPR RI.