Badan Pangan Jamin Impor Beras Dilakukan secara Terukur
Badan Pangan Nasional menjamin impor beras akan dilakukan secara terukur untuk memenuhi kebutuhan stabilisasi pasokan dan harga serta untuk menopang bantuan sosial. Faktor penurunan produksi beras jadi pertimbangannya.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana mengimpor beras hingga 2 juta ton untuk memperkuat cadangan beras tahun ini. Impor dijanjikan bakal dilakukan secara terukur untuk kebutuhan stabilisasi pasokan dan harga beras serta program bantuan sosial.
Keputusan itu diambil dalam rapat Ketersediaan Bahan Pokok dan Persiapan Arus Mudik 1444 H yang dipimpin Presiden Joko Widodo, di Jakarta, Jumat (24/3/2023). Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional menugaskan kepada Perum Bulog untuk mengimpor 2 juta ton beras. Sebanyak 500.000 ton di antaranya harus diimpor segera untuk memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP).
Kepala Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA) Arief Prasetyo Adi dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR bersama Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (27/3/2023), menyatakan, keputusan impor merujuk pada data produksi. Seluruh kementerian/lembaga pemerintah sama-sama menggunakan data Kerangka Sampel Area (KSA) Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai rujukan.
Produksi beras nasional pada Februari 2023, menurut data KSA terbaru, mencapai 2,86 juta ton. Jumlah itu turun sekitar 820.000 ton jika dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya yang mencapai 3,68 juta ton. Penurunan itu, antara lain, karena banjir dan gagal panen di sejumlah persawahan.
Situasi itu diperkirakan akan berpengaruh terhadap penurunan produksi beras sepanjang Januari-April 2023 kendati akan ada tambahan dari panen Maret dan April 2023. Produksi beras pada Januari-April 2023, menurut pengamatan terakhir, diperkirakan 13,37 juta ton atau lebih rendah dari estimasi sebelumnya yang 13,79 juta ton.
”Pada Agustus (2022)-Januari (2023), (situasi) di lapangan memang berebut gabah yang angkanya tinggi. Buktinya, NTP (nilai tukar petani) tertinggi terjadi saat ini. Apabila sebelumnya 96-98, hari ini 110. Jadi, importasi yang dilakukan terukur. (Beras impor) Hanya digunakan pemerintah untuk stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP),” katanya.
Beras impor akan digunakan untuk program SPHP dan bantuan beras kepada 21,35 juta keluarga penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan pangan nontunai. Menurut Arief, saat keputusan importasi itu diambil, Presiden Joko Widodo berpesan agar Bulog tetap menyerap panen di dalam negeri secara optimal.
Selain itu, kendati sudah diputuskan, perlu ada sejumlah tahapan yang dilakukan sebelum impor. ”Yang pertama adalah 500.000 ton. Yang lainnya (akan dilakukan) apabila diperlukan. (Impor) Ini juga membutuhkan rekomendasi teknis dari Kementerian Pertanian dan persetujuan impor dari Kementerian Perdagangan,” kata Arief.
Sesuai kebutuhan
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso yang hadir dalam rapat itu menyatakan, pihaknya mendapat tugas menyerap 2,4 juta ton beras untuk CBP tahun ini. Sebanyak 70 persen di antaranya diharapkan diperoleh dari panen raya. Adapun stok beras yang disimpan Bulog saat ini tinggal sekitar 227.000 ton. Selain penyerapan dalam negeri, angka stok itu termasuk hasil impor terakhir.
Di sisi lain, Bulog mendapat tugas untuk merealisasikan bantuan sosial. ”Itu untuk 21 juta keluarga penerima manfaat di seluruh Indonesia. Pada Maret-Mei 2023, kami harus menggelontorkan sekitar 630.000 ton, sedangkan hari ini sisa beras di Bulog hanya 227.000 ton. Belum nanti untuk operasi pasar,” katanya.
Menurut Budi, pihaknya akan melihat perkembangan lebih lanjut. Penugasan impor 2 juta ton hingga akhir 2023 memang ada, tapi pelaksanaannya bertahap, sesuai kebutuhan.
Sementara itu, Syahrul mengatakan, terkait data produksi, Kementerian Pertanian menggunakan tiga data, yakni data dari BPS, Sistem Informasi Standing Crop (SISCrop), dan laporan daerah. BPS, sebagai rujukan negara, menjadi pegangan utama. Namun, data lain menjadi pembanding.
”Bahwa ada pergeseran sesuai musim, cuaca, dan lainnya (bisa terjadi). Di lapangan saya sudah jalan di 29 provinsi bulan ini dan panen di mana-mana. Dengan data yang kita pakai, serapan Bulog diutamakan, tetapi cadangan-cadangan untuk mengisi, (alternatif) kita lakukan,” ujarnya.
Dalam rapat kerja itu, sejumlah anggota Komisi IV DPR menanyakan berbagai hal kepada Kementerian Pertanian, NFA, ataupun Bulog. Pertanyaan itu, antara lain, terkait kebijakan mengubah harga pokok penjualan (HPP) hingga impor beras yang dinilai tidak tepat oleh sebagian anggota DPR.
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Golkar, Panggah Susanto, menilai, impor beras kerap berlarut dan tidak ada solusi meyakinkan terkait perlu tidaknya impor. Persoalan pendataan, menurut dia, menjadi salah satu hal yang kerap bermasalah sehingga perlu dibenahi secara serius.
”Selain itu, kita harus memperkuat Bulog karena menurut saya saat ini lemah, terkait dengan permodalan dan kemampuan dalam pembelian. Sebab, di tingkat petani (Bulog) harus bersaing dengan pedagang-pedagang swasta” katanya.
Sementara itu, anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Hermanto, berpendapat, Kementerian Pertanian, Badan Pangan Nasional, dan Bulog harus bisa bersama mengatasi berbagai persoalan di pertanian, antara lain soal kelangkaan pupuk, serapan beras petani, hingga impor.
Keputusan pahit
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, Senin (27/3/2023), berpendapat, keputusan pemerintah mengimpor 2 juta ton beras itu merupakan keputusan yang sulit dan pahit. Keputusan diambil saat panen raya atau ketika pasokan gabah/beras biasanya melimpah dan harganya turun.
Menurut dia, keputusan impor itu juga dilematis. Di satu sisi, jika biasanya harga tertekan, pada panen raya kali ini petani tengah menikmati harga tinggi. Namun, di sisi lain, Bulog jadi kesulitan menyerap gabah/beras dari dalam negeri. Bahkan, sampai 24 Maret 2023, realisasi penyerapan Bulog masih amat kecil, yakni 48.513 ton, jauh dari target 2,4 juta ton.
”Menimbang kondisi di lapangan, target itu hampir bisa dipastikan sulit dipenuhi. Sementara peluang terbaik bagi pengadaan Bulog ada di panen raya. Kalau penyerapan saat panen raya terlewat atau tidak tercapai, target hampir dipastikan tak tercapai,” ujarnya.
Kalau mengandalkan penyerapan dari dalam negeri, kata Khudori, mustahil beras sebesar itu bisa disediakan lewat mekanisme pembelian yang ada. Badan Pangan Nasional memang telah menaikkan HPP untuk gabah di petani menjadi Rp 5.000 per kg dan beras di gudang Bulog Rp 9.950 per kg. Namun, harga di pasar masih lebih tinggi dari HPP.
Ke depan perlu ada upaya-upaya serius menggenjot produksi dan produktivitas beras nasional. Apalagi, produksi dari 2018 ke 2022 cenderung terus turun.