Pengusaha Hadapi Kendala untuk Ambil Alih Pasar Pakaian Bekas Impor
Pengusaha konfeksi skala kecil menghadapi sejumlah kendala untuk meningkatkan daya saing produknya guna mengambil alih pasar pakaian bekas impor.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·3 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Pemerintah menawarkan solusi bagi penjualan pakaian bekas impor dengan menjual produk lokal lantaran baju bekas impor termasuk barang ilegal. Namun, sejumlah produsen industri rumahan menghadapi sederet kendala untuk menerima tawaran mengisi celah tersebut, mulai dari keterbatasan modal, bahan baku, hingga sumber daya manusia.
Salah satu pemilik usaha konfeksi yang memproduksi kaus, jaket, dan hoodie di Pasar Cipadu, Kota Tangerang, Banten, Dani (34), mengutarakan, dirinya siap mengisi pasar produk pakaian bekas impor jika diberi tawaran oleh pemerintah. Namun, kebanyakan konfeksi rumahan memiliki keterbatasan modal, bahan baku, dan peralatan.
Pengusaha yang memiliki empat penjahit tetap itu menilai, material produk lokal masih relatif mahal untuk diproduksi menjadi pakaian jadi untuk menggantikan produk impor bekas tersebut. Jika pemerintah dapat menyubsidi, kata dia, kemungkinan pasar pakaian bekas impor dapat diisi. Saat ini, subsidi bagi produsen industri kecil menengah belum merata, termasuk program kredit usaha rakyat (KUR) yang masih sulit diakses sebagian pengusaha kecil.
”Pemerintah fokus industri kecil menengah, entah itu lewat subsidi atau bantuan dana yang dipermudah. Promosi juga harus gencar dilakukan. Nantinya, masyarakat jadi punya banyak pilihan (untuk membeli) pakaian. Lama kelamaan, jika produk lokal lebih murah dari thrifting, sementara harga, bahan, dan kualitas bagus, orang akan beralih ke produk lokal,” kata Dani, Minggu (26/3/2023).
Beda dengan Dani, pemilik konfeksi rumahan T dan G yang berproduksi di belakang Pasar Cipadu Kota Tangerang, Taufik Hidayat, berpendapat, sulit menerima tawaran pemerintah tersebut. Hal itu karena konfeksi miliknya belum bisa bersaing dengan produk garmen yang diproduksi secara massal dengan mesin.
Selain itu, kata pengusaha yang memiliki 18 penjahit itu, sumber daya manusia menjadi kendala terbesar untuk menerima tawaran pemerintah itu. Pasalnya, saat ini tidak banyak anak muda yang tertarik untuk menjahit di industri konfeksi rumahan, tecermin dari penjahit berusia kurang dari 25 tahun yang semakin berkurang.
Taufik biasa membuat kemeja, tunik, dan gamis yang dipasarkan di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Menurut dia, saat ini bahan baku seperti kain untuk memproduksi pakaian masih relatif mahal sehingga produk tak bisa dijual dengan harga murah. ”Jika harga jual bagus, ongkos jahit juga akan bagus. Kalau harga pasarannya murah, kami juga ikuti alurnya sehingga jahit jadi ala kadarnya. Kualitas bagus harga murah itu sulit,” kata Taufik yang bisa memproduksi 2.000 buah pakaian per bulan.
Memiliki sistem
Salah satu pelaku usaha kecil menengah produk tekstil yang diajak kerja sama oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Febrary Surya Putra, mengungkapkan, pemerintah bekerja sama dengan produsen yang sudah memiliki sistem keagenan sehingga para penjual pakaian bekas impor ketika ingin memulai menjual produk lokal akan lebih mudah. Hal itu seperti dirinya yang telah menyiapkan sistem pemasaran produk, seperti foto dan video.
Febrary mengungkapkan, dirinya telah membangun sistem agen atau reseller yang bisa dimanfaatkan para pedagang baju bekas impor untuk beralih usaha menjual produk lokal produksinya. Pemilik usaha muslimgaleri.co.id itu menjual baju-baju muslim, seperti gamis, pakaian olahraga muslimah, ataupun baju koko. ”Hingga saat ini belum ada tindak lanjut lagi dari Kementerian Koperasi dan UKM, (sejauh ini) baru diskusi awal saja,” ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Koperasi dan UKM memberikan solusi bagi penjual baju bekas impor untuk beralih memasarkan produk lokal. Nantinya, mereka akan dipasok produk buatan lokal dengan sistem reseller atau menjual ulang dan dropshipper atau pemasar. Selain itu, perbankan juga akan membantu pembiayaan bagi pedagang dengan program kredit usaha rakyat.
”Bagi pelaku UMKM juga akan dibantu melalui pelatihan untuk mendesain produknya oleh desainer andal agar produk UMKM-nya bisa tampil lebih menarik lagi,” kata Deputi Bidang UKM Kementerian Koperasi dan UKM Hanung Harimba Rachman.
Solusi yang ditawarkan pemerintah disambut baik oleh Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja. Menurut dia, API akan mengupayakan agar industri kecil menengah dapat mempersingkat rantai pasok sehingga bisa menambah lapangan pekerjaan dan menghasilkan efek domino yang baik, seperti pada industri kain, serat, dan benang.
Ia berpendapat, industri dan pemerintah harus saling bekerja sama untuk memotong rantai pasok industri. Saat ini, di berbagai daerah sudah ada sentra industri kecil menengah sehingga tidak perlu jauh-jauh ke daerah lain.
API, kata Jemmy, akan mengusulkan business matching untuk mempertemukan industri kecil menengah dengan pedagang baju bekas impor. Mereka akan dipertemukan dalam satu platform elektronik dengan mendata pemasok industri kecil menengah dengan penjual untuk membeli dengan sistem pembayaran nontunai.
Tidak mudah
Salah satu penjual pakaian bekas impor di lokapasar, Deira (24) mengutarakan, menjual produk lokal dirasa tidak mudah. Terlebih harus memulai dari nol bersaing dan mencari target pasar. Saat ini, tantangan menjual produk lokal harus bisa meningkatkan kualitas sehingga produk tidak pasaran dan harga produk masih bisa diterima masyarakat.
”Untuk produk lokal harusnya membangun pola pikir yang memiliki daya saing sebab kompetitornya bukan lagi dari satu negara, tetapi juga luar negeri. Contohnya produk perawatan kecantikan lokal juga banyak yang bisa bersaing dengan produk luar karena mampu memberi produk bagus dengan harga yang masuk akal,” katanya.