Impor Beras 500.000 Ton Segera Direalisasikan, Petani Dijamin Akan Dilindungi
Produksi beras tahun ini diperkirakan turun 5 persen daripada produksi tahun lalu. Pemerintah memutuskan impor 2 juta ton beras dan menjamin GKP di tingkat petani tidak anjlok di bawah harga pembelian pemerintah.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan segera merealisasikan impor beras sebanyak 500.000 ton dari rencana 2 juta ton melalui Perum Bulog. Pemerintah tetap akan melindungi petani dengan menjamin harga gabah kering panen tidak anjlok di bawah harga pembelian pemerintah atau HPP, yakni Rp 5.000 per kilogram.
Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) Arief Prasetyo Adi mengatakan, NFA telah meminta Bulog segera merealisasikan impor beras sebanyak 500.000 ton. Beras impor itu akan digunakan untuk program stabilisasi pasokan dan harga pangan beras (SPHP) dan bantuan beras kepada 21,35 juta keluarga penerima manfaat Program Keluarga Harapan dan bantuan pangan nontunai.
”Kami juga akan menjaga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani tidak di bawah HPP. Tidak perlu khawatir akan kelebihan beras di pasar karena beras impor benar-benar untuk kegiatan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat kurang mampu,” kata Arief ketika dihubungi di Jakarta, Minggu (26/3/2023).
Rencana impor 2 juta ton beras pada tahun ini merupakan hasil keputusan pemerintah dalam rapat Ketersediaan Bahan Pokok dan Persiapan Arus Mudik Idul Fitri 1444 H pada 24 Maret 2023. Rapat tersebut dipimpin langsung Presiden Joko Widodo.
Kami juga akan menjaga GKP di tingkat petani tidak di bawah HPP. Tidak perlu khawatir akan kelebihan beras di pasar karena beras impor benar-benar untuk kegiatan pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat kurang mampu.
Arief menjelaskan, impor beras perlu dilakukan karena produksi beras tahun ini diperkirakan turun. Merujuk data Kerangka Sampel Area (KSA) Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras pada Februari 2023 sebanyak 2,86 juta ton atau turun sebanyak 820.000 ton dibandingkan estimasi periode sebelumnya karena banjir dan gagal panen di 31.000 hektar sawah.
Hal itu akan berpengaruh pada penurunan produksi beras sepanjang Januari-April 2023 meskipun akan ada tambahan dari panen Maret dan April 2023. Produksi beras pada Januari-April 2023 sebanyak 13,37 juta ton atau lebih rendah daripada estimasi sebelumnya yang sebanyak 13,79 juta ton.
Selain itu, lanjut Arief, stok beras di Bulog per 26 Maret 2023 diperkirakan tinggal 220.000 ton. Bulog masih belum dapat menyerap beras atau gabah lantaran harga GKP di tingkat petani masih di atas Rp 5.000 per kg.
”Kami sudah memberikan fleksibilitas harga serapan gabah atau beras kepada Bulog. Kami juga meminta Bulog menyerap beras premium yang nanti bisa dikonversi sebagai CBP (cadangan beras pemerintah). Namun, serapan itu masih belum mencukupi,” ujarnya.
Arief menambahkan, NFA bahkan telah berupaya meminta 27 penggilingan beras di 10 provinsi untuk memasok beras ke Bulog dengan total komitmen pasokan beras sebanyak 60.000 ton. Para pemilik penggilingan itu tidak dapat memasok lebih dari 60.000 ton lantaran mereka membutuhkannya untuk memproduksi beras kemasan merek sendiri.
Sebelumnya, BPS mencatat, harga beras mengalami inflasi selama delapan bulan berturut-turut hingga Februari 2023. Bulan lalu, andil beras pada inflasi tahunan mencapai 0,32 persen, sedangkan pada inflasi bulanan 0,08 persen.
Timbang matang
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University Dwi Andreas Santosa memperkirakan produksi beras nasional pada tahun ini bakal turun sebesar 5 persen dari produksi beras tahun lalu sebanyak 31,54 juta ton. Hal itu terjadi lantaran La Nina pada awal tahun ini dan El Nino yang diperkirakan bakal datang lebih awal.
La Nina menyebabkan curah hujan tinggi sehingga sejumlah daerah di Indonesia kebanjiran. Banjir tersebut melanda sawah-sawah yang siap panen dan baru tanam.
”Setelah La Nina mereda, El Nino yang membuat cuaca jadi lebih kering diperkirakan bakal menghampiri Indonesia pada musim kemarau tahun ini. Hal ini juga berpotensi mengganggu produksi,” kata Andreas.
Akan tetapi, Andreas meminta pemerintah tidak menjadikan gangguan cuaca itu sebagai alasan utama untuk mengimpor beras. Di tengah potensi El Nino nanti, pemerintah bersama petani harus bekerja ekstra keras untuk memproduksi gabah atau beras minimal sama dengan realisasi produksi tahun lalu.
Impor juga perlu dipertimbangkan dengan matang, yakni mengacu pada data akumulasi hasil panen musim tanam pertama dan kedua yang biasanya dilaporkan BPS pada Agustus 2023. Data itu juga harus dibarengi dengan rasio produksi terhadap konsumi beras sepanjang 2023.
”Dengan menunda atau bahkan membatalkan impor, petani justru akan lebih bersemangat menanam padi. Tentu saja hal ini perlu dibarengi dengan menjaga GKP di tingkat petani sesuai dengan HPP,” ujarnya.
Dengan menunda atau bahkan membatalkan impor, petani justru akan lebih bersemangat menanam padi. Tentu saja hal ini perlu dibarengi dengan menjaga GKP di tingkat petani sesuai dengan HPP.
Pada 6 Maret 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau pada tahun ini akan tiba lebih awal dari sebelumnya dan memuncak pada Agustus 2023. Selain itu, El Nino lemah juga akan melanda Indonesia pada semester II-2023.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menuturkan, musim kemarau diperkirakan datang lebih awal, yakni pada April 2023, di sejumlah daerah di Indonesia. Daerah-daerah itu antara lain Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan sebagian besar Jawa Timur.
Adapun wilayah yang memasuki musim kemarau pada Mei 2023 meliputi sebagian besar Jawa Tengah, Yogyakarta, sebagian besar Jawa Barat, sebagian besar Banten, sebagian Pulau Sumatera bagian selatan, dan Papua bagian selatan. Puncak musim kemarau tahun ini akan terjadi pada Agustus 2023.
”Untuk La Nina diperkirakan akan melemah dan beralih ke fase netral pada Maret 2023. Kondisi itu akan bertahan hingga semester I-2023. Kemudian pada semester II-2023 terdapat peluang sebesar 50-60 persen, kondisi netral La Nina itu akan beralih menuju El Nino,” tuturnya melalui siaran pers di Jakarta.
Oleh karena itu, BMKG meminta kementerian/lembaga, pemerintah daerah, institusi terkait, dan masyarakat mengantisipasi kemungkinan dampak musim kemarau di wilayah yang mengalami sifat musim kemarau bawah normal atau lebih kering. Diperlukan aksi mitigasi secara komprehensif untuk mengantisipasi dampak musim kemarau yang diperkirakan akan jauh lebih kering daripada tiga tahun terakhir.