Pembangunan Infrastruktur Destinasi Wisata Perlu Kolaborasi
Menurut rencana, akan dikucurkan dana sekitar Rp 32 triliun untuk membangun infrastruktur dasar. Salah satunya berkaitan dengan pariwisata.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Warga Lombok ngabuburit atau menunggu waktu berbuka dengan bersantai menikmati suasana sore di kawasan Senggigi di Batulayar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (25/3/2023). Kawasan Senggigi menjadi salah satu favorit warga untuk dikunjungi setiap sore menjelang buka puasa selama bulan Ramadhan.
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggaraan acara di daerah akan bisa menjadi media promosi potensi pariwisata. Amenitas dan infrastruktur dasar harus memadai agar penyelenggaraan acara optimal.
Pembangunan amenitas ataupun infrastruktur dasar di destinasi pariwisata dapat dikerjakan secara kolaboratif.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf/Kepala BPEK) Sandiaga S Uno, dalam siaran pers, Jumat (24/3/2023), di Jakarta, mengatakan, pihaknya berharap pemerintah daerah mau berkolaborasi dengan Kemenparekraf dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk membangun infrastruktur dasar di daerah. Dia juga mendorong pemerintah daerah untuk menyiapkan sarana-sarana amenitas berbasis ekowisata sembari menyiapkan atraksi di daerah melalui pelaksanaan acara (event).
”Sudah ada instruksi Presiden dan pendanaan dari Kementerian Keuangan yang jumlahnya Rp 32 triliun untuk membangun infrastruktur dasar yang ada hubungannya dengan pusat produksi, pariwisata, dan juga infrastruktur yang berhubungan dengan perhubungan. Jadi, jika ingin agar akses menuju destinasi wisata di daerahnya (pembangunannya) dapat diprioritaskan, silakan (pemerintah daerah) bersurat ditujukan ke saya dan ke Menteri PUPR,” papar Sandiaga.
MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF SANDIAGA S UNO
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S Uno
Menanggapi hal itu, peneliti ekonomi di Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, saat dihubungi pada Sabtu (25/3), di Jakarta, berpendapat, kolaborasi pemerintah pusat dan daerah merupakan hal yang bagus di tengah birokrasi dan proses perencanaan pembangunan yang tidak mudah. Anggaran dari pemerintah daerah bisa bersifat komplementer atas anggaran dari pemerintah pusat sekaligus anggaran untuk menciptakan program pascaterbangunnya infrastruktur dasar.
”Cara tersebut bisa efektif jika pemerintah daerah beserta masyarakatnya siap menjadi bagian dari ekosistem pariwisata itu sendiri. Pemerintah pusat tidak asal menyetujui permintaan pemerintah daerah, tetapi menelaah lebih detail kesiapan pemerintah daerah dulu,” tuturnya.
Ketua Umum Asosiasi Desa Wisata Indonesia (Asidewi) Andi Yuwono memandang, selama ini kehadiran infrastruktur dasar menjadi salah satu syarat sukses sebuah destinasi wisata. Jika kondisi infrastruktur dasar bagus, wisatawan akan mudah menuju lokasi.
Namun, destinasi pariwisata berada di kondisi geografis Indonesia yang luas dan berpulau-pulau. Dia mengkritisi apakah kucuran dana sekitar Rp 32 triliun sepadan untuk memeratakan pembangunan infrastruktur dasar sesuai kondisi geografis itu.
”Pengamatan kami, beberapa proyek pembangunan infrastruktur dasar dilakukan dengan sangat bagus, tetapi upaya itu tidak dilengkapi dengan peningkatan mutu sumber daya manusia. Akibatnya, infrastruktur dasar jadi terbengkalai,” kata Andi.
Wakil Ketua Perkumpulan Hiduplah Indonesia Raya (Hidora) Bachtiar Djanan Machmoed memandang, pembangunan infrastruktur dasar sangat bagus jika didukung oleh pemerintah pusat, terutama untuk infrastruktur yang butuh dana besar. Misalnya, aksesibilitas pembangunan jalan.
Kendati demikian, pemerintah pusat perlu jeli dan kritis dalam menganalisis pemerintah daerah yang mengajukan permohonan infrastruktur dasar. Mereka perlu mengkaji potensi ekonomi dan kesesuaian kondisi obyek wisata yang dibangun.
”Ada sejumlah kasus bantuan sarana diberikan oleh pemerintah pusat ataupun lewat program aksi tanggung jawab korporasi, tetapi malah ’merusak’ atmosfer tematik yang sudah ada di destinasi wisata,” ujarnya.
Bachtiar lantas mencontohkan pengalaman di Desa Bawomataluo (Fanayama, Nias) saat mendapat bantuan pembuatan toilet dan kamar mandi umum dari pemerintah provinsi pada 2021. Awalnya, desainnya normatif, lokasinya pun berada di area utama cagar budaya. Rencana ini bisa dicegah oleh warga desa. Akhirnya, desain menyesuaikan tematik desa wisata dan lokasi toilet ataupun kamar mandi umum diubah.
”Masih banyak pula terjadi destinasi wisata di daerah tidak dibuat desain besar. Jadi, tidak ada kajian yang komprehensif. Pembangunan infrastruktur dasar ataupun sarana amenitas akhirnya berdasarkan selera proyek,” tutur Bachtiar.