Jangan Tekan Impor demi Target Surplus dengan Thailand dan Laos
Dengan negara anggota ASEAN, neraca perdagangan Indonesia hanya defisit dengan Thailand dan Laos. Surplus neraca perdagangan Indonesia dengan ASEAN sepanjang 2022 mencapai 20,41 miliar dollar AS.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
KOMPAS/M PASCHALIA JUDITH J
Ketua ASEAN-Business Advisory Council (BAC) sekaligus Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid (keenam dari kanan), Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (ketujuh dari kanan), dan Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga (keempat dari kiri) setelah pertemuan konsultasi antara ASEAN-BAC dan ASEAN Economic Ministers (AEM) di Magelang, Jawa Tengah, Rabu (22/3/2023). Pertemuan itu merupakan rangkaian dari acara AEM Retreat ke-29 yang dihelat oleh Kementerian Perdagangan pada 20-22 Maret 2023 dalam rangka keketuaan Indonesia di ASEAN.
JAKARTA, KOMPAS — Memanfaatkan momentum keketuaan Indonesia dalam ASEAN, pemerintah menargetkan membalikkan defisit neraca perdagangan nonmigas dengan Thailand dan Laos menjadi bernilai surplus. Pelaku industri menilai target ini sebaiknya berorientasi pada peningkatan ekspor, bukan menekan impor yang sifatnya produktif bagi manufaktur.
Menurut Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani, impor dari Thailand dan Laos bersifat produktif karena didominansi oleh kebutuhan rantai pasok industri manufaktur. ”Surplus (neraca perdagangan) yang diharapkan pemerintah harus bersumber dari peningkatan kinerja ekspor, bukan menekan impor. Dengan demikian, target surplus itu tidak berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi nasional,” tuturnya saat dihubungi, Kamis (23/3/2023).
Dalam meningkatkan kinerja ekspor, lanjutnya, Indonesia perlu mengkaji isu perdagangan secara spesifik masing-masing pada kedua negara. Isu utama ekspor Indonesia dengan Thailand berkaitan dengan daya saing produk. Produk-produk ekspor unggulan Indonesia memiliki pesaing langsung di pasar Thailand. Oleh sebab itu, strategi peningkatan ekspor tidak hanya fokus di hilir, tetapi butuh perubahan struktural, seperti kenaikan efisiensi iklim usaha di sektor industri.
Sepanjang 2022, Kementerian Perdagangan mencatat, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit terhadap Thailand sebesar 3,95 miliar dollar AS. Defisit ini berasal dari nilai impor sebesar 10,84 miliar dollar AS, sedangkan nilai ekspor 6,89 miliar dollar AS. Defisit tersebut lebih dalam dibandingkan 2021 yang sebesar 3,21 miliar dollar AS.
Sementara itu, menurut Shinta, ketertarikan pelaku industri untuk melakukan ekspor ke Laos masih rendah karena batas langsung negara tersebut adalah daratan (landlocked country). Imbasnya, perdagangan langsung sulit dijalankan dan mesti melalui negara pihak ketiga. Perdagangan tidak langsung tersebut tidak efisien dan tidak kompetitif, apalagi dibandingkan dengan negara yang berbatasan langsung dengan Laos, seperti Vietnam dan Thailand.
Untuk mendorong ekspor ke Laos, dia menilai, pelaku industri Indonesia membutuhkan fasilitas perdagangan, utamanya yang mencakup peningkatan efisiensi logistik. Misalnya, menciptakan hub logistik di negara pihak ketiga atau bantuan untuk membentuk jalur ekspor yang lebih efisien ke Laos.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, defisit neraca perdagangan Indonesia terhadap Laos sepanjang 2022 mencapai 141 juta dollar AS yang terbentuk dari nilai impor 167,6 juta dollar AS dan ekspor 26,6 juta dollar AS. Defisit itu juga lebih dalam dibandingkan tahun 2021 yang sebesar 30,4 juta dollar AS.
Dari sisi jenis komoditasnya, Shinta berpendapat, Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan ekspor ke kedua negara tersebut. ”Hampir semua komoditas ekspor Indonesia tidak memiliki hambatan tarif atau kuota perdagangan yang signifikan ke Thailand dan Laos. Akses pasarnya sudah bebas karena ATIGA (ASEAN Trade in Goods Agreement) dan RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership). Khusus ke Thailand, sebaiknya Indonesia mengekspor produk setengah jadi. Ke Laos, Indonesia bisa mengekspor produk jadi atau yang bernilai tambah,” tuturnya.
Secara spesifik, peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Ariyo DP Irhamna, menambahkan, mengejar surplus ke Thailand terasa berat karena produk ekspornya tergolong produk bernilai tambah tinggi, termasuk ke Indonesia. Meskipun demikian, Indonesia berpeluang memperkuat ekspor ke Thailand dan Laos lewat produk turunan minyak kelapa sawit, nikel, aluminium, dan timah.
Sebelumnya, Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menyebutkan hendak mencapai surplus perdagangan dengan Thailand dan Laos. ”Dengan negara anggota ASEAN, Indonesia hanya defisit dengan Thailand dan Laos, sedangkan yang lainnya surplus. Ke depan, Indonesia bisa surplus dengan Thailand dan Laos. Saya pikir, hal ini menjadi salah satu yang dapat kita dorong serta kita bahas dalam forum ini,” katanya saat ditemui di sela-sela rangkaian pertemuan ASEAN Economic Ministers (AEM) Retreat ke-29 yang digelar di Magelang, Jawa Tengah, Selasa (21/3/2023).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Aktivitas pemuatan peti kemas ke dalam kapal barang di terminal peti kemas New Priok Container Terminal (NPCT) 1, Jakarta Utara, Selasa (17/1/2023). Menurut data Badan Pusat Statistik, total ekspor RI selama tahun 2022 mencapai 291,98 miliar dollar AS, sementara impornya 237,52 miliar dollar AS. Hal itu membuat neraca perdagangan RI tahun lalu surplus 54,46 miliar dollar AS.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, surplus neraca perdagangan Indonesia dengan negara-negara anggota ASEAN sepanjang 2022 mencapai 20,41 miliar dollar AS atau naik dari tahun sebelumnya yang sebesar 12,48 miliar dollar AS. Adapun pertemuan itu diadakan Kementerian Perdagangan selama 20-22 Maret 2023 sebagai bentuk keketuaan Indonesia di ASEAN pada 2023.
Demi mengejar surplus ke kedua negara tersebut, Jerry mengatakan, peningkatan ekspor akan mengedepankan kenaikan volume barang. Produk jadi dengan nilai tambah akan menjadi prioritas, seperti barang-barang elektronik dan makanan olahan.
Ketua ASEAN-Business Advisory Council (BAC) sekaligus Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid berpendapat, Thailand sebagai hub otomotif dapat menjadi peluang surplus perdagangan nonmigas Indonesia, khususnya dalam ekosistem kendaraan listrik. ”Di antara Indonesia dan Thailand, kami sudah mulai diskusi. Mereka (Thailand) butuh baterai dan Indonesia memilikinya. Indonesia juga punya aluminium agar (badan) kendaraan dapat makin ringan,” katanya saat ditemui setelah pertemuan konsultasi antara ASEAN-BAC dan AEM di Magelang, Rabu lalu.
Penguatan surplus, menurut dia, tak hanya dari perdagangan, tetapi juga dari investasi. Indonesia dapat mengundang negara mitra untuk berinvestasi di Tanah Air di sektor yang akan ditingkatkan perdagangannya.