Pengembangan industri asuransi terganjal masih rendahnya inklusi keuangan di masyarakat, akibat masih adanya ketidakpercayaan terhadap asuransi. Hal ini berkaca pada beberapa kasus gagal bayar yang pernah terjadi.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Industri asuransi di tahun 2023 diproyeksikan dapat tumbuh seiring membaiknya kondisi perekonomian. Namun, tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap asuransi bisa menghambat pengembangan industri ini. Transparansi keuangan dan kinerja perusahaan asuransi diperlukan untuk mengatasi hal tersebut.
Peneliti senior Indonesian Financial Group (IFG) Progress Ibrahim Rohman menerangkan, industri asuransi tahun ini diproyeksikan bisa tumbuh sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 di angka 5,3 persen. Peningkatan juga diprediksikan terjadi sebagai dampak dari implementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) untuk mengakselerasi inklusi dan reformasi sektor keuangan.
IFG Progress memproyeksikan, premi asuransi jiwa tahun 2023 akan meningkat 2-5 persen menjadi Rp 173 triliun, sedangkan klaim akan meningkat sebesar 5,5 persen menjadi Rp 166 triliun. Dengan ini, tingkat premi dan klaim masih berada dalam titik yang seimbang dan stabil.
Selain peningkatan di asuransi jiwa, asuransi umum juga diproyeksikan turut meningkat. Adapun premi asuransi umum tahun 2023 diprediksi meningkat 6 persen menjadi Rp 95 triliun, sedangkan klaim akan meningkat 10 persen menjadi Rp 45 triliun.
“Kondisi ekonomi yang cukup stabil hingga triwulan pertama ini diharapkan terus berlanjut, sehingga kami prediksikan industri asuransi dalam negeri terus meningkat,” ujarnya di Jakarta, Selasa (21/3/2023).
Meski tumbuh, lanjut Ibrahin, proporsi asuransi dalam aset sektor keuangan di Indonesia dinilai masih stagnan setidaknya dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 2021, mayoritas proporsi aset sektor keuangan dipegang oleh perbankan sebesar 80 persen, sementara asuransi berada di angka 12 persen. Bila ditarik ke tahun 2015, angkanya tidak jauh berbeda, yaitu proporsi aset sektor keuangan tetap dikuasai perbankan sebesar 75 persen, sedangkan asuransi hanya 17 persen.
Selain sebagai instrumen bagi masyarakat untuk melindungi diri dari risiko di masa depan, sektor asuransi juga penting untuk perekonomian. Dengan mendorong industri asuransi, Indonesia bisa mendapatkan sumber pembiayaan jangka panjang lain, sehingga tidak hanya bergantung pada pembiayaan perbankan yang relatif pendek.
Walaupun dibutuhkan, pengembangan industri asuransi terganjal masih rendahnya inklusi keuangan di masyarakat, akibat masih adanya ketidakpercayaan terhadap asuransi. Hal ini berkaca pada beberapa kasus gagal bayar yang membuat masyarakat kerap ragu membeli produk asuransi.
Sejak 2019, tingkat pemahaman masyarakat Indonesia terhadap asuransi sebenarnya mengalami peningkatan, dari 19,4 persen di 2019 menjadi 31,7 persen di 2022. Namun, hal tersebut hanya sebatas pemahaman karena tidak dibarengi dengan inklusi yang hanya meningkat dari 13,2 persen di 2019 menjadi sebesar 16,6 persen di 2022.
Untuk meningkatkan kepercayaan, OJK pun akan meminta industri asuransi menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 74 yang akan berlaku pada 1 Januari 2025. Dengan penerapan PSAK 74, setiap kontrak asuransi yang dibuat akan dilihat sebagai kontrak yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Ibrahim menganalogikan, melalui PSAK 74, kontrak perusahaan asuransi dengan PT A berdurasi 5 tahun, akan dibedakan dengan kontrak asuransi dengan PT B yang berdurasi 10 tahun. Sebelumnya, masih terdapat celah yang memungkinkan perusahaan menumpuk kontrak dengan durasi berbeda di tahun yang sama, sehingga profit perusahaan terlihat besar.
Aturan ini diharapkan memberikan transparansi karena kinerja setiap kontrak dapat dipantau dan dievaluasi secara terpisah. “PSAK 74 diharapkan dapat membuat perusahaan asuransi transparan dalam menjelaskan kinerja keuangan dan perusahaan mereka,” ujarnya.
Penjamin simpanan
Selain perubahan metode pencatatan, dengan berlakunya UU P2SK, pemerintah kini memberikan mandat tambahan bagi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai lembaga penjamin polis. Peran lembaga penjaminan dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat serta memperkuat stabilitas sistem keuangan.
Kehadiran lembaga penjamin polis diharapkan memberikan rasa aman bagi pemegang polis bila perusahan asuransi gagal memenuhi kewajibannya sebagai pihak penanggung resiko.
Kepala Departemen Komunikasi Korporat IFG Gede Suhendra menerangkan, pihak IFG menyambut baik aturan ini, karena menjadi terobosan untuk mengembalikan kepercayaan publik. Secara umum, perusahaan asuransi yang berada di bawah IFG akan mematuhi aturan yang mewajibkan perusahaan asuransi turut serta dalam lembaga penjamin polis.
“Kami menyambut baik upaya ini sebagai cara untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap industri asuransi,” jelasnya.