Lokapasar didominasi oleh UMKM dengan proporsi 98,1 persen. Namun, barang yang diperjualbelikan oleh UMKM didominasi produk-produk dari merek besar dan barang-barang impor.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Pekerja merapikan kemasan kopi di Rumah Kopi 49, Lampung, Sabtu (18/3/2023). Rumah Kopi 49 dapat memproduksi 20 ton kopi dalam sebulan. Kopi tersebut dijual ke sejumlah daerah di Sumatera, Jabodetabek, Jawa Barat, hingga Jawa Tengah. Mereka mendapatkan buah kopi dari Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Tanggamus, dan Kabupaten Way Kanan.
Tidak banyak usaha berskala mikro kecil yang bisa naik kelas, berkembang menjadi lebih besar, karena kebanyakan usaha mikro kecil tidak memiliki kapasitas untuk melakukan diferensiasi produk. Menciptakan produk dengan keunikan memerlukan inovasi. Sementara inovasi butuh kapasitas, termasuk waktu dan biaya, yang menjadi tantangan besar bagi usaha mikro kecil.
Oleh karena itu, lembaga agregator diperlukan untuk membantu usaha mikro kecil (UMK) membuka pasar. Agregator juga dapat menyediakan input dan teknologi serta membantu melakukan inovasi.
Chaikal Nuryakin dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mengungkapkan, peningkatan daya saing produk lokal usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tidak cukup dilakukan dengan mendorong konsumen mencintai produk dalam negeri. UMKM produsen pun akan selalu dituntut meningkatkan kualitas produknya.
”Saat ini produk lokal di Indonesia belum merajai pasar lokal. Sebelum menjangkau lokapasar, UMKM perlu menghasilkan produk lokal yang berdaya saing tinggi,” ujar Chaikal dalam diskusi Gambir Trade Talk #9 yang mengangkat tema ”UMKM Menjadi Raja di Marketplace Lokal”, pekan lalu.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja memanggang roti di sebuah UMKM pembuatan roti di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Selasa (14/3/2023). Menurut data Bank Indonesia, penyaluran kredit perbankan ke sektor UMKM per Desember 2022 sebesar Rp 1.263,8 triliun atau 19,85 persen dari total kredit perbankan sebesar Rp 6.387 triliun.
Chaikal menyebutkan, berbagai upaya telah dilakukan oleh sejumlah pihak untuk meningkatkan daya saing UMKM, salah satunya melalui upaya onboarding. Proses onboarding merupakan bentuk pemberdayaan UMKM dengan memanfaatkan jaringan dan teknologi digital. Hal ini membuka peluang bagi UMKM untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
Namun, masih terdapat kendala pada segmen ultramikro atau UMK, misalnya terkait rendahnya kepemilikan dan kepiawaian menggunakan telepon seluler pintar (smartphone), rendahnya literasi digital dan keuangan, serta terbatasnya infrastruktur digital dan keuangan. Selain itu, juga ada kendala biaya internet bagi pelaku UMK.
Chaikal menilai, UMK penjual dan UMK produsen perlu dibedakan. Secara teori, bukan hal mudah bagi UMK untuk bisa naik kelas. Hal ini, antara lain, dikarenakan UMK yang memproduksi barang tanpa diferensiasi akan berada dalam situasi persaingan pasar yang sangat tinggi. Di situlah pentingnya keunggulan produk dari sisi kualitas ataupun keunikan. Dengan kata lain, diferensiasi produk berperan penting. UMK juga dituntut untuk memiliki merek dan hak kekayaan intelektual atas produk yang dibuat.
Diferensiasi produk berperan penting. UMK juga dituntut untuk memiliki merek dan hak kekayaan intelektual atas produk yang dibuat.
Adapun UMK penjual (bukan produsen) juga dituntut mendesain toko di platform daring agar berbeda dengan toko-toko pesaing. Merek yang berbeda sering kali tidak cukup jika produk yang disediakan tidak unik. Sementara produk yang unik memerlukan inovasi. Kapasitas berinovasi inilah yang menjadi tantangan besar bagi UMK.
Untuk itu, diperlukan adanya lembaga agregator yang memiliki modal besar untuk membuka pasar bagi UMK, menyediakan input dan teknologi, serta memfasilitasi UMK berinovasi. ”Misalnya kerupuk, mereka (agregator) tahu kerupuknya akan dibuat seperti apa. Usaha mikronya menyediakan produk tersebut,” katanya.
Berdasarkan data Badan Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan, nilai ekonomi digital Indonesia tumbuh 22 persen atau sebesar Rp 1.211 triliun pada 2022. Diproyeksikan nilai ekonomi digital ini mencapai Rp 2.045 triliun pada 2025. Pendorong utama peningkatan tersebut adalah lokapasar.
Jumlah UMKM di Indonesia hingga 2022 mencapai 64 juta unit atau 99 persen dari semua pelaku usaha di Indonesia. Adapun kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto sebesar 61 persen. Akan tetapi, baru 32 persen pelaku UMKM memanfaatkan platform lokapasar untuk meningkatkan produktivitasnya.
Sementara itu, berdasarkan data kontinum Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang melakukan penelitian pada 11 Maret 2023, toko di lokapasar (Shopee sebagai sampel data) didominasi oleh UMKM dengan proporsi 98,1 persen. Namun, barang yang diperjualbelikan oleh UMKM tersebut didominasi produk-produk dari merek besar dan juga barang-barang impor. Alhasil, indeks penetrasi produk UMKM lokal di lokapasar ini hanya 3,8 persen.
Barang yang diperjualbelikan oleh UMKM tersebut didominasi oleh produk-produk dari merek besar dan juga barang-barang impor.
Regulasi
Terkait pengembangan UMKM, pemerintah sedang menyempurnakan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 yang mengatur perdagangan dengan sistem elektronik. Direktur Perdagangan melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan Rifan Ardianto menyampaikan, penyempurnaan peraturan itu dimaksudkan untuk menciptakan keadilan antar-pelaku usaha dalam dan luar negeri serta antara sektor formal dan informal.
Selain itu, regulasi ini juga dimaksudkan untuk melindungi konsumen dan kepentingan nasional. Di samping itu, juga menjadi bentuk upaya penguatan pelaku usaha dan produk lokal serta mendorong pertumbuhan lokapasar Indonesia yang bermanfaat bagi pihak-pihak dalam ekosistem lokapasar.
Beberapa hal yang menjadi catatan, kata Rifan, adalah soal peredaran barang di lokapasar yang masih banyak belum memenuhi standar nasional ataupun standar lain. Ada pula indikasi perdagangan tidak sehat oleh pelaku usaha luar negeri yang menjual barang dengan sangat murah untuk menguasai pasar Indonesia.
Kesetaraan persaingan usaha (level playing field) serta ekosistem lokapasar yang sehat belum terwujud karena masih lemahnya daya saing UMKM dan produk dalam negeri.
Terkait onboarding UMKM, Rifan menyebutkan, hal itu tidaklah mudah bagi UMKM karena faktor keterbatasan sumber daya manusia. Pada usaha mikro kecil, misalnya, satu orang dapat mengerjakan berbagai jenis kegiatan, mulai dari mengelola dan memasarkan produk hingga mengelola keuangan. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah untuk mengembangkan UMKM masuk ke pasar digital.
Oleh karena itu, dibutuhkan adanya fasilitator di daerah yang mampu berbagi ilmu dan pengalaman untuk membantu UMKM melek teknologi. Pada 2023, Kemendag akan melatih 150 fasilitator untuk membangun kesadaran dan keahlian di bidang perdagangan melalui sistem elektronik. Hal itu, antara lain, mencakup pemahaman terkait legalitas, branding, pemasaran, ekspor, dan lainnya.