Korporasi besar dengan modal kuat memproses gabah menjadi beras premium, sedangkan penggilingan kecil yang hanya mampu mengolahnya menjadi beras medium akan tutup tak beroperasi.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aksi korporasi besar yang menawar gabah petani dengan harga lebih tinggi dari harga pembelian pemerintah dipandang mengkhawatirkan dalam jangka panjang. Penguasaan Perum Bulog terhadap pasar beras domestik, mulai dari hulu hingga hilir, bisa tergerus akibat aksi korporasi swasta tersebut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, rata-rata nasional harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sepanjang Februari 2023 mencapai Rp 5.711 per kilogram. Harga ini lebih tinggi 17,78 persen dibandingkan Februari 2022. Adapun harga pembelian pemerintah (HPP) GKP di tingkat petani yang diumumkan Badan Pangan Nasional sebesar Rp 5.000 per kg.
”Harga gabah yang tinggi saat ini mungkin hanya bisa dinikmati petani selama tiga tahun saja. Nanti, kalau korporasi besar sudah menguasai pasar, kami bisa saja seperti petani sawit. Harga minyak goreng tinggi, tetapi tandan buah segar tertekan,” ujar Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih saat dihubungi, Minggu (19/3/2023).
Harga GKP yang tinggi itu, kata Henry, disebabkan dua faktor. Pertama, biaya pokok produksi yang meningkat akibat kenaikan harga pupuk, biaya sewa lahan, upah buruh, dan sewa alat. Kedua, adanya korporasi swasta besar yang menawar gabah dengan harga tinggi.
Pasar beras domestik, menurut Henry, makin menarik lantaran selisih harga gabah dan harga eceran tertinggi (HET) beras premium berkisar Rp 8.000 per kg. Korporasi besar dengan modal kuat memproses gabah menjadi beras premium, sedangkan penggilingan kecil yang hanya mampu mengolahnya menjadi beras medium akan tutup tak beroperasi.
Kekhawatiran senada juga disampaikan oleh anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika. Menurut dia, penggilingan swasta besar akan menguasai pasar dengan memasang harga tinggi, bahkan bisa menembus Rp 6.000 per kg untuk GKP. Hal ini tampak dari harga gabah di pasar yang melebihi HPP.
”Skenario terburuknya adalah tugas impor beras tak lagi dipegang oleh Bulog, tetapi diserahkan pada swasta. Apalagi, produksi beras asal Vietnam dan Thailand lebih tinggi dibandingkan konsumsi di negara tersebut. Ongkos produksi beras di Indonesia juga masih lebih tinggi dibandingkan kedua negara itu,” tuturnya saat dihubungi, Minggu.
Hingga saat ini, terdapat tiga korporasi swasta besar yang terhitung baru muncul dan menawar gabah dengan harga tinggi. Ada yang membangun pabrik penggilingan dan menjual beras premium dengan jenama korporasi. Ada pula yang mengakuisisi penggilingan yang sudah ada, lalu menjual beras dengan jenama penggilingan tersebut, bukan dari korporasi.
Yeka berpendapat, komoditas beras yang amat strategis di Indonesia tidak boleh dikuasai mekanisme pasar yang pergerakan harganya tergantung dari besarnya modal korporasi. Apalagi, beras juga memiliki nilai politik. Jika skenario terburuk pasar beras terjadi, petani padi cenderung menanam hanya untuk kebutuhan konsumsi rumah tangganya.
”Pemerintah perlu menjaga pengaruh Bulog dalam pasar beras dari hulu ke hilir melalui instrumen cadangan beras pemerintah (CBP) yang diintegrasikan dengan program pupuk bersubdisi. Artinya, pemerintah menetapkan jumlah CBP dan alokasi penyalurannya. Dari kebutuhan CBP itu, jumlah gabah dan lahan yang diperlukan dapat diperkirakan. Lahan yang dialokasikan khusus untuk CBP mendapat alokasi pupuk subsidi,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso optimistis, HPP yang diumumkan pemerintah dapat membuat Bulog mampu bersaing dengan swasta. Terkait tren harga gabah yang tinggi, menurut dia, situasi tersebut dapat menguntungkan petani.
Sebelumnya, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan, pemutakhiran HPP dan HET bertujuan untuk menjaga keseimbangan harga gabah/beras dari hulu ke hilir. Pemutakhiran itu juga diharapkan dapat membuat Bulog dan penggilingan padi kecil memperoleh gabah untuk diproses menjadi beras. Oleh sebab itu, diskusi mengenai pemutakhiran HPP dan HET turut melibatkan organisasi petani, penggilingan, serta kementerian dan lembaga terkait.
Sebelumnya, Rabu (15/3/2023), Badan Pangan Nasional mengumumkan, HPP untuk GKP di tingkat petani Rp 5.000 per kg, sedangkan HPP beras di gudang Bulog Rp 9.950 per kg. Angka HPP GKP itu lebih rendah dibandingkan usulan sejumlah asosiasi petani di rentang Rp 5.400-Rp 5.800 per kg GKP.
Menurut Ketua Umum Penggerak Pembangunan Masyarakat Desa, Tani Suryadinata Wira Lodra, harga itu di bawah ongkos produksi yang sekitar Rp 5.200 per kg GKP.