Ekspektasi Kestabilan Sistem Keuangan Terus Dijaga
Ketika pasar memiliki persepsi dan ekspektasi Indonesia dalam posisi stabil, pelaku pasar tetap tenang. Sebaliknya, saat pasar memiliki persepsi dan ekspektasi buruk, gejolak justru bisa tercipta.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·2 menit baca
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia (BI) Firman Mochtar (kanan) memberikan materi dalam lokakarya BI dengan wartawan, di Yogyakarta, Sabtu (18/3/2023). Turut hadir memberikan materi, Kepala Ekonom BCA David Sumual (kedua dari kanan) dan Direktur Departemen Pengelolaan Moneter BI Ramdan Denny Prakoso (kedua dari kiri). Diskusi dimoderatori Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono (kiri).
YOGYAKARTA, KOMPAS — Pemangku kepentingan ekonomi di Indonesia terus berupaya menjaga ekspektasi bahwa perekonomian dan sistem keuangan dalam negeri berdaya tahan serta tetap stabil pascakolapsnya tiga bank besar Amerika Serikat. Dengan upaya menjaga sistem keuangan nasional tetap stabil, kecemasan pelaku pasar diharapkan mereda. Dengan begitu, tidak terjadi penarikan uang secara panik yang justru betul-betul bisa timbulkan gejolak keuangan.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi MoneterBank Indonesia (BI) Firman Mochtar mengatakan, pihaknya bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Kementerian Keuangan, bersama dalam koridor Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), terus menanamkan pemahaman bahwa perekonomian Indonesia dalam kondisi stabil dan mampu menahan gejolak pascabangkrutnya tiga bank AS. Ketiga bank tersebut adalah Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Bank, dan Signature Bank.
”Penting bagi kami untuk menyampaikan kepada pasar bahwa kolapsnya SVB itu tidak berdampak besar. Penting menjaga ekspektasi kepada pasar bahwa saat ini sistem keuangan tetap stabil dan berdaya tahan. Sebab, pengaruh ekspektasi (yang keliru) bisa ke mana-mana, termasuk jalur finansial,” ujar Firman dalam lokakarya BI dengan wartawan, Yogyakarta, Sabtu (18/3/2023).
Ketika pasar memiliki persepsi dan ekspektasi Indonesia dalam posisi kuat dan stabil, pelaku pasar tetap tenang dan tidak melakukan tindakan yang bersumber dari kepanikan.
Ketika pasar memiliki persepsi dan ekspektasi Indonesia dalam posisi kuat dan stabil, pelaku pasar tetap tenang dan tidak melakukan tindakan yang bersumber dari kepanikan. Sebaliknya, jika pasar memiliki persepsi dan ekspektasi yang buruk, justru betul-betul bisa tercipta gejolak keuangan karena terjadi penarikan uang secara berlebih.
Firman menjelaskan, dampak jatuhnya tiga bank AS tersebut tidak besar bagi perekonomian dan sistem keuangan lantaran paparan Indonesia terhadap tiga bank itu tidak banyak. Selain itu, secara internal, industri perbankan Indonesia dalam kondisi kuat. Hal ini ditunjukkan melalui indikator permodalan dalam posisi cukup memadai.
Pada Januari 2023, permodalan perbankan tercatat kuat dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) sebesar 25,88 persen. Angka ini tiga kali lipat di atas ambang batas minimal standar internasional pada level 8 persen.
Risiko kredit juga terkendali, tecermin dari rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) bruto pada level 2,59 persen dan NPL neto pada level 0,76 persen. Angka ini jauh di bawah ambang batas maksimal, yakni 5 persen. Likuiditas perbankan pada Februari 2023 terjaga didukung pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 8,18 persen secara tahunan.
”Secara umum, kondisi perbankan dalam negeri memang baik. Apabila kondisinya baik, pasti keyakinan pasar juga baik. Kami ingin jaga terus hal ini,” ujar Firman.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual mengatakan, jatuhnya SVB memberi pelajaran pentingnya mengelola ekspektasi.
Ia menjelaskan, sebanyak 85 persen simpanan di SVB tidak dijamin karena nilainya di atas 250.000 dollar AS. Itu adalah nilai maksimal rekening yang bisa dijamin oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), semacam Lembaga Penjamin Simpanan di AS.
Pada saat yang sama, terjadi kekeliruan pengelolaan kewajiban dengan aset pada bank itu. Para pemilik dana pun meragukan bahwa SVB bisa memiliki kecukupan modal yang diperlukan. Akhirnya, para deposan menarik dananya dan bank itu pun kolaps.
”Ekspektasi bahwa bank ini tidak memiliki kecukupan modal membuat deposan buru-buru menarik uangnya dan mengamankannya sendiri. Ini yang membuat limbung bank,” ujar David.
David menambahkan, pihaknya mengapresiasi otoritas yang cepat memberikan keterangan kepada pasar bahwa kondisi sistem keuangan Indonesia stabil. Hal ini menjaga kepercayaan pasar sehingga pasar betul-betul bisa tetap stabil.