BI: Jatuhnya Tiga Bank AS Tak Berdampak Besar pada Indonesia
Perbankan Indonesia dinilai bisa lebih tahan gejolak karena punya karakteristik deposan yang terdiversifikasi dari beragam sektor. Selain itu perbankan Indonesia memiliki permodalan yang dinilai cukup.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS- Dari hasil uji ketahanan atau “stress test” yang dilakukan Bank Indonesia menyebutkan, bangkrutnya tiga bank Amerika Serikat tidak akan berpengaruh besar terhadap perekonomian dan sistem perbankan Indonesia. Sebab, karakteristik perbankan Indonesia berbeda dengan tiga bank tersebut. Selain itu, perbankan Indonesia memiliki kecukupan modal yang diperlukan.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menjelaskan, hasil stress test yang dilakukan BI juga menunjukkan ketahanan perbankan Indonesia dan tidak terdampak langsung oleh dinamika penutupan tiga bank AS, yaitu Silicon Valley Bank, Signature Bank, dan Silvergate Bank.
Ia menjelaskan, permodalan perbankan tercatat kuat dengan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) sebesar 25,88 persen pada Januari 2023. Risiko kredit juga terkendali, tercermin dari rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) bruto pada level 2,59 persen dan NPL neto pada level 0,76 persen. Likuiditas perbankan pada Februari 2023 terjaga didukung oleh pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 8,18 persen secara tahunan.
Selain itu, hasil asesmen BI, salah satu penyebab jatuhnya perbankan di AS adalah karena 93 persen dari deposan terkonsentrasi pada satu sektor tertentu, yakni perusahaan rintisan (start up)dan teknologi finansial (tekfin). Karena hanya terkonsentrasi pada sektor tertentu, hal ini sangat rentan bila terjadi gejolak karena tidak ada lagi sektor lain yang menopang.
Hal ini berbeda dengan karakteristik perbankan di Indonesia yang struktur deposannya terdiversifikasi dari beragam sektor ekonomi. Beragamnya sektor yang menjadi deposan, membuat perbankan Indonesia tidak bergantung pada sektor tertentu dan ditopang oleh beragam sektor.
“Berbagai kondisi tersebut menopang ketahanan perbankan Indonesia sehingga diperkirakan kinerjanya tidak terdampak langsung oleh penutupan tiga bank di AS,” ujar Perry dalam jumpa pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI Maret 2023, di Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Pada kesempatan berbeda, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, jatuhnya Silicon Valley Bank (SVB) dan Signature Bank yang terjadi belum lama ini tidak menimbulkan efek domino terhadap perbankan di Indonesia.
Senada dengan Perry, Purbaya menjelaskan, hal yang mendasari hal tersebut keyakinan ketahanan perbankan dalam negeri itu berasal dari sisi portofolio aset. Perbankan di Indonesia tidak ada yang memiliki karakteristik seperti SVB yang memiliki portofolio surat berharga sangat besar.
“Kami selalu mencermati setiap perkembangan baik perbankan nasional maupun internasional. Jadi, ketika kami mendengar kabar tersebut, kami segera melakukan investigasi terkait pengaruhnya kepada perbankan di Indonesia. Hasilnya dampak secara langsung relatif tidak ada,” ujarnya.
Menurutnya, selama Indonesia menjaga kebijakan dalam negeri dengan baik, perbankan nasional akan tetap aman dan stabilitasnya terjaga. Kondisi likuiditas perbankan saat ini juga dalam keadaan yang sangat memadai. Alat likuid/non-core deposit (AL/NCD) dan alat likuid/dana pihak ketiga (AL/DPK) per Januari 2023 masing-masing sebesar 129,64 persen dan 29,13 persen. Nilai ini sekitar 2,5 kali di atas ambang batas.
Purbaya juga mengungkapkan, sinergi dan kolaborasi antara anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terus berjalan dengan sangat baik untuk mendukung perekonomian Indonesia terus tumbuh. Ketika terdapat gangguan terhadap perekonomian, mekanisme peredam kejut akan dilakukan Kementerian Keuangan melalui kebijakan fiskal dan oleh BI melalui kebijakan moneter.
Kemudian, stabilitas sistem keuangan pada industri jasa keuangan dijaga melalui relaksasi regulasi ketentuan mikroprudensial oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan makroprudensial oleh BI. Lalu, kepercayaan masyarakat terhadap stabilitas sistem perbankan diperkuat dengan berbagai kebijakan LPS sebagai otoritas penjamin simpanan dan resolusi bank.
Sebelumnya keterangan senada juga dikemukakan oleh OJK. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan penutupan SVB diperkirakan tidak berdampak langsung terhadap perbankan Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis, facility line maupun investasi pada produk sekuritisasi SVB.
Selain itu, berbeda dengan SVB dan perbankan di AS umumnya, bank-bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan perusahaan rintisan teknologi maupun aset kripto.
“Oleh karena itu, OJK mengharapkan agar masyarakat dan Industri tidak terpengaruh terhadap berbagai spekulasi yang berkembang di kalangan masyarakat,” ujar Dian, Senin (13/3/2023).
Tetap waspada
Sementara itu, Ketua Steering Committee Indonesia Fintech Society (Ifsoc) Rudiantara mengatakan, berbagai spekulasi di berbagai kanal media sosial berkembang dengan sangat cepat pascapenutupan SVB oleh otoritas sektor keuangan di Amerika Serikat pada 10 Maret lalu. Menurut Rudiantara, di sektor keuangan termasuk fintech, spekulasi yang berkembang liar berpotensi memicu kepanikan masyarakat.
“Oleh karena itu kami mengapresiasi OJK yang dengan cepat mengeluarkan pernyataan yang menenangkan masyarakat terkait isu ini. Hal ini akan membantu memberikan kepastian informasi dan mengerem perkembangan berbagai spekulasi yang berpotensi mengganggu kekondusifan sektor keuangan dan fintech di Indonesia”, kata Rudiantara.
Meskipun begitu, Rudiantara juga menekankan, sektor keuangan digital di Indonesia harus tetap waspada dan terus mencermati perkembangan kasus yang terjadi. Dia berharap kondisi sektor keuangan digital dapat semakin stabil di tengah “tech winter” yang hingga saat ini masih bergulir.
Ekonom dan Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Muhamad Chatib Basri menambahkan, dampak jatuhnya bank besar di AS itu tidak akan berdampak besar pada perekonomian Indonesia. Sebab, perekonomian Indonesia tidak didominasi faktor eksternal, tetapi perekonomian dalam negeri. Artinya, gejolak di luar tidak menjadi faktor utama yang mampu memengaruhi perekonomian Indonesia.
Ia juga menambahkan, keputusan otoritas keuangan AS untuk menyelamat perbankan AS itu menenangkan pasar. “Dengan penilaian itu, saya tidak terlalu khawatir,” ucapnya.