Pertumbuhan UMKM Diperlukan untuk Jaga Momentum Pemulihan Ekonomi
Pertumbuhan UMKM dinilai penting untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi Indonesia tahun ini. Pemerintah perlu mendorong proporsi kredit dan membangun fasilitas produksi bersama agar sektor ini bisa tumbuh lebih kuat.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pertumbuhan sektor usaha mikro kecil dan menengah dinilai menjadi kunci penting menjaga momentum pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi Covid-19. Namun, pengembangannya masih dihadapkan pada sejumlah tantangan, seperti soal tata kelola data dan minimnya fasilitas produksi. Pemerintah berfokus membenahi dua hal itu agar sektor utama penyerap tenaga kerja ini bisa tumbuh optimal di tahun 2023.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, mendorong pertumbuhan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) menjadi syarat penting untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi Indonesia pascapandemi. Apalagi, struktur ekonomi Indonesia sangat ditopang oleh kontribusi sektor UMKM.
“Kontribusi UMKM terhadap produk domestik bruto (PBD) Indonesia hampir 61 persen dan menyerap sebanyak 97 persen tenaga kerja,” ujarnya pada Maybank Indonesia Economic Outlook 2023 di Jakarta, Rabu (15/3/2023).
Oleh karena peran krusial UMKM itu, pemerintah menambah jumlah kredit usaha rakyat (KUR) tahun ini menjadi Rp 450 triliun, dari Rp 360 triliun di tahun 2022. Penambahan jumlah KUR tersebut dinilai menandakan UMKM masih akan terus tumbuh di tahun pemulihan ekonomi ini.
Meski naik signifikan, secara keseluruhan, proporsi penyaluran kredit perbankan Indonesia ke sektor UMKM masih stagnan di angka 22 persen selama satu dekade terakhir. Pemerintah sendiri telah menargetkan agar porsi penyaluran kredit UMKM bisa mencapai angka 30 persen dari total kredit nasional atau sebesar Rp 1.800 triliun .
Porsi kredit UMKM khususnya untuk kelas menengah perlu diperkuat agar tidak habis diserap sektor besar.
Menurut Airlangga, perlu ada keseimbangan proporsi kredit antara kelas bawah, menengah, dan atas. Bila proporsi kredit selalu lebih banyak diserap oleh industri skala besar, kelas di bawahnya akan menjadi rapuh, sehingga dapat membuat struktur ekonomi terganggu bila terjadi krisis. Untuk itu, ia berharap agar porsi kredit antara kelas bisa semakin diseimbangkan.
“Untuk kredit, KUR didorong untuk kelas mikro dan kecil, lalu sisanya diserap sektor besar. Untuk yang kelas menengah menjadi bolong. Ini yang perlu kita tambal hole (lubang) ini. Jarak antara kelas bawah dan atas ini harus kita perkecil,” jelasnya.
Perbankan diharapkan dapat menyalurkan kreditnya ke sektor UMKM, khususnya untuk memperkuat rantai pasok dari hulu hingga hilir. “Vendor sampai offtaker perlu dibiayai. Proses pembiayaanya harus along the value chain (sepanjang rantai nilai),” ujarnya.
Salah satu tantangan pengembangan UMKM kini adalah data yang berantakan serta minimnya fasilitas produksi untuk menghasilkan barang bernilai tambah tinggi. Pemerintah sedang merapikan data agar tujuan program pengembangan UMKM menjadi lebih tepat sasaran.
Staf Khusus Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Bidang Ekonomi Kerakyatan (Kemenkop UKM), Muhammad Riza Damanik menerangkan, ketidaksesuaian serta data yang tidak rapi membuat program pendampingan dan pembiayaan yang dilakukan pemerintah kerap tidak tepat sasaran. Pemerintah pun kini berfokus pada pembenahan agar data mengenai UMKM dapat menjadi lebih teratur.
“Masalah data ini masalah puluhan tahun, tapi saat pandemi kita sadar perlu ada reformasi tata data yang lebih baik. Kami berharap data UKM dan Koperasi ini sudah lebih baik di 2024 nanti,” jelasnya.
Digitalisasi pun terus didorong, agar pelaku UMKM bisa menggunakan media digital untuk memasarkan produknya. Riza mencatat, sebelum pandemi covid-19 melanda, hanya ada 8-9 juta pelaku UMKM yang bergabung ke ekosistem digital. Setelah pandemi mulai melanda, angkanya naik menjadi 21 juta.
Ia berharap angka ini dapat terus naik, hingga mencapai target 2024 sebanyak 30 juta pelaku usaha UMKM bergabung di ekosistem digital.
Selain memerbaiki tata kelola data dan informasi, pemerintah juga tengah mengembangkan model bisnis UMKM yang berfokus pada penciptaan produk bernilai tambah tinggi. Pengembangan model bisnis dilakukan dengan mendorong hilirisasi produk di sektor unggulan, seperti pertanian, peternakan, dan perkebunan.
UMKM dinilai masih belum berfokus pada hilirisasi produk karena minim fasilitas.
Pengembangan ini akan dilakukan lewat program pembangunan Rumah Produksi Bersama. Kehadiran fasilitas produksi ini diharapkan membuat pengolahan produk UMKM menjadi lebih beragam sehingga meningkatkan keuntungan bagi masyarakat.
Riza mencontohkan, salah satu Rumah Produksi Bersama yang sedang dikembangkan adalah fasilitas pengolahan kelapa di Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Adanya fasilitas ini membuat setiap bagian buah kelapa dapat diolah menjadi produk-produk lainnya.
“Selama ini masyarakat hanya menjual buah bulatnya, tapi dengan adanya fasilitas ini kelapa memiliki nilai tambah. Serabutnya dimanfaatkan menjadi isian jok mobil, batoknya bisa menjadi balok pengganti arang yang sudah dieskpor ke Eropa dan Timur Tengah,” jelasnya.
Dalam beberapa waktu ke depan, Kementerian Koperasi dan UKM berencana membangun fasilitas ini di daerah lain, seperti pengolahan daging dan bambu di Nusa Tenggara Timur dan pengolahan cabe di Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara.
Ketua Bidang Hukum Asosiasi UMKM Indonesia Dyah Probondari menjelaskan, agar pendampingan dan pembiayaan sektor ini dapat berjalan, pelaku UMKM perlu mendaftarkan usahanya menjadi badan usaha atau perseroan perseorangan. Meski sudah cukup mudah, masih banyak pelaku yang tidak mengerti dan belum memiliki akses untuk melakukan hal tersebut.
“Kita harapkan ada bantuan dari pemerintah, selama ini masih di tahap sosialisasi. Masalahnya sosialisasi ini diadakan di tempat yang tidak terjangkau oleh para pelaku UMKM, semoga kedepannya bisa ada terobosan,” ujarnya.