Mengaku Terus Merugi, Asosiasi Perunggasan Mengadu ke Komnas HAM
Peternak mandiri dan peternak rakyat mengaku merugi dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para peternak yang tergabung dalam asosiasi perunggasan melakukan aksi dan mengadu kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terkait kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan usaha dan pendapatan peternak kecil. Sebab, peternak mandiri dan peternak rakyat merasa merugi dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Jawa Tengah Parjuni dalam orasinya di depan gedung Komnas HAM, Senin (13/3/2023), mengungkapkan, sejak 2017,perlindungan pemerintah terhadap peternak mandiri dan peternak rakyat tidak ada.
Hal itu karena kementerian atau lembaga terkait tidak melakukan langkah-langkah proaktif untuk mengatasi permasalahan yang dialami peternak mandiri dan peternak rakyat. Perusahaan konglomerasi peternakan besar, kata Parjuni, menguasai industri peternakan unggas tanpa memberikan peluang bagi peternak kecil untuk mengembangkan usahanya.
”Sudah lima tahun sampai sekarang peternak kecil makin habis dan tidak punya kekuatan. Kami mengadu ke Komnas HAM. Semoga tetap bisa hidup di negeri sendiri,” ujarnya.
Parjuni menceritakan, keluhan para peternak tersebut sudah sering disuarakan mulai dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Badan Pangan Nasional, hingga Presiden Joko Widodo. Namun, keluhan itu tidak membuahkan hasil.
Kementerian atau lembaga terkait dinilai para peternak tersebut tidak memiliki orientasi yang jelas untuk melindungi mereka. Adapun penyebabnya ialah Kementan, Kemendag, dan Badan Pangan Nasional tidak memiliki data yang valid mengenai kebutuhan dan konsumsi ayam broiler di Indonesia. Hal ini mengakibatkan supply and demand tidak dapat diproyeksikan secara tepat sehingga di pasaran ketersediaan ayam selalu berlebihan (oversupply).
Kondisi tersebut digunakan oleh perusahaan-perusahaan peternak besar untuk menguasai pasar dari hulu ke hilir yang berdampak secara langsung terhadap operasional dan kehidupan peternak mandiri dan peternak rakyat.
Akibatnya, ketersediaan ayam selalu melimpah, sedangkan permintaan dari konsumen tetap sama. Hal ini membuat harga jual ayam di pasaran jauh dari harga pokok produksi (HPP). Sementara harga ayam di tingkat konsumen dapat dikatakan relatif stabil.
Ketersediaan pasokan ayam yang melebihi permintaan konsumen tersebut menjadi penyebab kerugian besar yang dialami peternak. Permintaan pasar tidak menunjukkan kenaikan, sementara produksi ayam berlebih tidak diserap secara optimal.
Peternak dari Jawa Timur yang hadir dalam aksi tersebut, Darmadi, menyatakan, biaya produksi lebih besar dari harga jual ayam. Saat ini, biaya produksi Rp 19.000, sedangkan harga jual hanya Rp 18.000.
”Kami rugi. Harga di bawah Rp 19.000 sudah delapan bulan berturut-turut dari Agustus 2022. Naik hanya sampai Rp 17.000 turun lagi menjadi Rp 15.000. Kondisi itu mematikan kami pelan-pelan,” katanya.
Sementara Sekretaris Jenderal Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Sugeng Wahyudi mengungkapkan, harga ditingkat peternak berada di angka Rp 19.000 per kilogram. Namun, harga tersebut masih di bawah harga acuan pembelian produsen yang diatur dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 5 tahun 2022 dengan batas atas yakni Rp 23.000 per kg ayam hidup, sementara batas bawah Rp 21.000 per kg ayam hidup. Kemudian harga penjualan di konsumen Rp 36.750 per kg.
”Saat kondisi seperti ini (demo para peternak) ada kenaikan harga, tetapi ini berlaku satu minggu lalu turun lagi. Ini ada sesuatu yang tidak benar. Komnas HAM harus turun tangan dan terlibat terhadap keluhan kami sebagai peternak,” ujarnya.
Ketua Perhimpunan Peternakan Unggas Nusantara (PPUN) Wismarianto mengutarakan, walaupun saat ini harga sudah naik menjadi Rp 19.000, empat hari yang lalu harga berada pada kisaran Rp 16.000. Secara maraton empat tahun lebih peternak mengalami kerugian. Menurut dia, persaingan harga di antara perusahaan besar mengorbankan peternak kecil.
”HPP di perusahaan besar Rp 16.000, sementara HPP kami (peternak kecil) Rp 20.000. Selisih Rp 4.000. Jika harga di angka Rp 17.500 peternak rakyat habis, tetapi perusahaan konglomerasi atau besar masih ada untung,” ujarnya.
Wismarianto berharap, pemerintah dapat bertindak tegas dan adil dalam melaksanakan aturan terhadap peternak konglomerasi dan peternak mandiri atau peternak rakyat.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Nasrullah mengatakan, sudah ada Badan Pangan Nasional yang menangani hal tersebut. ”Nanti Badan Pangan Nasional yang punya otoritas,” katanya.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo mengatakan, pihaknya akan mengajak peternak ayam menyiapkan kebutuhan jagung untuk setahun ke depan dan melakukan kontrak dengan Bulog. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan cadangan pangan pemerintah (CPP) melalui BUMN pangan dalam bentuk frozen yang dibeli dari peternak rakyat.
”Sedang disiapkan offtaker dan market-nya. Saat harga rendah petani atau peternak menjerit, kebalikannya saat harga tinggi konsumen menjerit sehingga ini pentingnya HAP (harga acuan pemerintah). Pak Presiden meminta harga wajar di petani atau peternak, wajar di pedagang dan wajar di konsumen,” kata Arief saat dikonfirmasi.
Sementara Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengungkapkan, produksi peternak perusahaan besar, sedang, dan kecil harusnya dibatasi dan diatur seperti pemusnahan telur tetas fertil atau cutting hatched egg oleh Kementerian Pertanian sehingga supply ayam petelur atau pedaging dapat terkontrol dengan baik.
Di lapangan, kata Tauhid, para peternak mandiri dan peternak perusahaan besar bersaing untuk mendapatkan pasar. Peternak perusahaan besar dapat mendapatkan pasar lebih besar seperti supermarket, sementara peternak mandiri harus berjuang mencari pasarnya sendiri.
Daging ayam dan telur ayam menjadi bagian dalam penanganan inflasi. Ketika inflasi tinggi, peternak seharusnya mendapatkan keuntungan, tetapi permasalahannya pemerintah malah mengubah kebijakan cutting hatched egg agar produksi tinggi akibatnya harga akan turun.
”Di satu sisi pemerintah ingin mengendalikan inflasi dengan supply yang cukup dan harga terjangkau. Di sisi lain peternak kena imbasnya,” ujar Tauhid.