UMKM pertekstilan di dalam negeri mesti bersaing dengan produk impor baju bekas. Kendati dalam aturan dinyatakan terlarang, serbuan impor baju bekas bisa mematikan lini usaha UMKM di dalam negeri yang padat karya.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
DAHLIA IRAWATI
Baju Bekas Untuk Lebaran - Masyarakat menyerbu stan penjualan baju bekas di Pasar Murah Ramadhan Kota Malang, Senin (27/05/2019) di lapangan luar Stadion Gajayana Malang. Baju bekas itu akan digunakan oleh mereka untuk berlebaran. KOMPAS/DAHLIA IRAWATI 2019-05-2019
JAKARTA, KOMPAS — Menjamurnya impor pakaian bekas di dalam negeri dapat mematikan usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM perajin tekstil. Pelaku UMKM ini menjadi kehilangan pendapatan karena pasarnya tergerus produk impor pakaian bekas. Lantaran gangguan penjualan pada bagian hilir industri tekstil, bagian hulu juga akan terdampak hingga berpotensi terjadi pengurangan tenaga kerja.
”Ini ilegal. Ini tidak bisa dibenarkan. Impor pakaian bekas menggerus pasar sehingga mematikan UMKM,” ujar Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki dalam diskusi dengan media di Jakarta, Senin (13/3/2023).
Menurut Teten, fenomena menjamurnya impor pakaian bekas juga melanda di sebagian negara di kawasan Afrika. Dalam sebuah studi, menjamurnya impor pakaian bekas ini tak hanya mematikan UMKM yang kalah bersaing di pasar domestik, tetapi juga memicu hilangnya potensi tenaga kerja di sana hingga puluhan ribu orang.
Teten menambahkan, salah satu yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan produk tekstil UMKM adalah mengedukasi konsumen bahwa pakaian bekas hasil impor itu lebih banyak mudaratnya. Selain berpotensi mematikan bisnis UMKM, impor pakaian bekas juga tidak sejalan dengan semangat bangga produk buatan dalam negeri.
”Dengan permintaan (impor baju bekas) menurun, pasokannya pun akan ikut menurun. Pasokan pakaian murah bisa kembali diisi produk UMKM dalam negeri,” kata Teten.
PUTU FAJAR ARCANA
Pakaian bekas berbal-bal yang siap diedarkan di Pasar Kodok, Tabanan, Senin (30/1/2023).
Teten menambahkan, argumen pencinta lingkungan bahwa penggunaan pakaian bekas impor untuk menjaga lingkungan karena bersifat daur ulang juga tidak tepat. Ia menjelaskan, memang ada kreasi dari industri tekstil dan garmen yang memanfaatkan sisa bahan atau pakaian untuk diolah lagi menjadi pakaian jadi. Namun, itu produk dalam negeri, bukan hasil impor pakaian bekas.
Pakaian bekas impor, lanjut Teten, juga memiliki permasalahan kebersihan. Sebab, pembeli tidak pernah tahu sebelumnya pakaian ini dipakai siapa dan bisa saja membawa suatu penyakit tertentu karena tidak terjamin kebersihannya.
Dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja membenarkan, menjamurnya impor pakaian bekas ini mengganggu penjualan tekstil hasil UMKM. Sebab, keduanya berada di segmen target pasar yang sama, yakni kalangan menengah ke bawah yang mencari pakaian dengan harga murah.
Baca juga:
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Pekerja memproduksi pakaian berbahan kain batik di usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) Dewi Sambi di kawasan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Sabtu (14/9/2019). UMKM tersebut mampu memproduksi 1000 potong pakaian batik berbagai model yang dijual hingga pasar Singapura dan Malaysia. Perkembangan bisnis digital turut membantu UMKM dalam memasarkan produk mereka.
”Maraknya impor pakaian bekas ini membuat penjualan hasil tekstil produk UMKM terganggu. Ini bisa mematikan UMKM,” ucap Jemmy.
Ia menjelaskan, tak hanya mematikan UMKM, menjamurnya impor pakaian bekas juga berdampak panjang hingga ke sisi hulu. Ketika di bagian hilir tekstil atau penjualan produk barang jadi terganggu, rantai industri antara dan hulu pun ikut terdampak.
Dengan menurunnya penjualan di hilir produk tekstil UMKM, penjualan bahan baku pasokan dari industri antara dan hulu juga ikut menurun. Padahal, industri ini tergolong padat karya yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Artinya, penurunan penjualan akan menurunkan produksi yang berpotensi tidak memerlukan lebih banyak tenaga kerja.
”Penurunan produksi ini juga berarti akan ada tenaga kerja yang berkurang karena tidak ada pekerjaan,” kata Jemmy.
Jemmy menambahkan, menjamurnya impor pakaian bekas berdampak pada industri UMKM tekstil yang fokus menjual di dalam negeri. Adapun korporasi besar industri tekstil yang berorientasi ekspor tidak terganggu impor pakaian bekas. Padahal, lanjut dia, sekitar 70 persen produk tekstil nasional diarahkan untuk pasar dalam negeri, sedangkan 30 persen sisanya untuk ekspor.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Uthie pemilik usaha Butik Dewi Sambi merapikan koleksi pakaian batik karyanya di kawasan Larangan, Kota Tangerang, Banten, Selasa (29/2/2020). UMKM yang memproduksi pakaian resmi berbahan dasar batik ini awalnya terdampak pandemi Covid-19 karena kesulitan bahan baku batik dan menurunnya permintaan. Pemilik usaha mengakui, kini mereka memproduksi berbagai macam model pakaian, hijab, hingga masker pesanan serta menerima orderan jahit dengan jumlah tertentu. Hingga saat ini, UMKM dengan 30 orang pekerja tersebut mampu bertahan. Bahkan, menggerakkan kembali UMKM konveksi sekitar yang terdampak Covid-19 karena banyaknya permintaan.
Penegakan aturan
Jemmy menambahkan, fenomena impor pakaian bekas sebetulnya sudah lama terjadi di pasar dalam negeri. Namun, baru 1-2 tahun belakangan ini begitu menjamur. Bahkan para penjualnya secara terang-terangan menjajakannya di berbagai situs e-dagang dan media sosial.
Padahal, menurut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor, pakaian bekas termasuk dalam barang yang dilarang impornya. Dalam Permendag No 40/2022 disebutkan, pakaian bekas dengan harmonized system (HS) code atau kode impor internasional 6309.00.00 dilarang untuk diimpor ke Indonesia.
”Aturan yang melarang hal ini sudah ada. Tinggal bagaimana penegakan hukumnya di lapangan,” ucap Jemmy.