Upaya memenangi persaingan dagang komoditas tuna di tingkat global dinilai memerlukan strategi negosiasi dan konsolidasi seluruh pemangku kepentingan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai tambah produk tuna Indonesia perlu ditingkatkan untuk memenangi persaingan di pasar global. Selain itu, mutu produk, ketertelusuran, dan sertifikasi yang memudahkan akses pasar juga harus dioptimalkan.
Ketua Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Hand Line Indonesia (AP2HI) Janti Djuari mengemukakan, komoditas tuna Indonesia tengah menghadapi persaingan ketat di tingkat global. Indonesia merupakan pemasok tuna terbesar dunia dengan alat tangkap huhate (pole and line) dan pancing ulur (handline). Labelisasi produk ”Indonesian Tuna” yang mengantongi sertifikasi ekolabel dari Marine Stewardship Council (MSC) dan fairtrade menandai produk tuna ramah lingkungan dan telah memenuhi standardisasi internasional. Namun, sertifikasi itu dinilai belum cukup untuk memenangi persaingan dagang.
”Untuk memenangi persaingan (pasar), kita harus menghasilkan produk yang kreatif serta inovatif untuk meningkatkan nilai tambah,” kata Janti dalam Diskusi Ocean Talk: ”Menghadapi ’Perang Tuna’: Catatan Putaran Negosiasi IOTC”, yang digelar Ocean Solutions Indonesia, secara daring, akhir pekan lalu.
Ia menambahkan, sertifikasi internasional yang didapat untuk produk Indonesian Tuna masih menyisakan catatan untuk pembenahan strategi penangkapan guna jaminan stok ikan. Pelatihan harus terus dilakukan agar Indonesia menerapkan perikanan yang berkelanjutan.
”Jika (strategi penangkapan) tidak bisa diselesaikan, tahun depan dikhawatirkan Indonesia tidak bisa lagi menggunakan sertifikasi ini,” ujar Janti.
Di sisi hilir, terdapat pula beberapa hambatan untuk mengisi pasar internasional, seperti sarana dan fasilitas unit pengolahan ikan yang masih belum optimal serta biaya logistik mahal yang belum terselesaikan. Akibatnya, ekspor tuna Indonesia masih kalah dengan Vietnam yang memiliki biaya produksi lebih murah. Hambatan tarif ekspor tuna selama belasan tahun juga belum bisa teratasi.
”Indonesia perlu negosiator andal agar tarif ekspor yang dikenakan di perdagangan internasional tidak membebani nelayan di sektor hulu. Tarif yang dibebankan berdampak pada pendapatan nelayan. Kalau masalah ini tidak diselesaikan, bagaimana bisa membuat nelayan sejahtera?” ujarnya.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, Indonesia merupakan negara produsen ikan tuna, cakalang, dan tongkol terbesar dunia dengan kontribusi sekitar 15 persen. Posisi ini diikuti Filipina 7,3 persen, Vietnam 6,6 persen, dan Ekuador 6,1 persen.
Meski menjadi produsen tuna terbesar dunia, Indonesia belum menjadi pengekspor tuna terbesar. Pada 2020, ITC Trademap mencatat Indonesia hanya di peringkat keenam eksportir tuna dunia. Eksportir tuna terbesar yakni Thailand dengan pangsa pasar 17,3 persen, diikuti China 8,45 persen dan Spanyol 8,2 persen.
Pada 2021, tangkapan tuna secara global sebanyak 48 juta ton, sekitar 56 persen berupa cakalang (skip jack) dan tuna sirip kuning (yellow fin tuna). Dari total tangkapan itu, sekitar 11 persen berasal dari stok yang bermasalah, antara lain komoditas tuna sirip kuning, tuna sirip biru, tuna mata besar (big eye) dan albacore yang cenderung mengalami penangkapan berlebih.
Ketua Kelompok Kerja Pengelolaan Sumber Daya Ikan Zona Ekonomi Eksklusif dan Laut KKP, Putuh Suadela, menuturkan, penangkapan tuna di Indonesia wajib mengacu pada ketentuan Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (RFMO). Di antaranya, Komisi Tuna Samudra Hindia (IOTC).
IOTC mencatat isu utama pengelolaan tuna di Indonesia, antara lain pembatasan tangkapan tuna sirip kuning, kriteria alokasi tangkapan, rekonstruksi data hasil tangkapan Indonesia di IOTC, dan pengelolaan rumpon.
Tantangan lain dalam pengelolaan tuna, di antaranya jumlah armada kapal penangkap ikan belum diketahui secara pasti. Selain itu, lokasi pendaratan ikan yang banyak dan menyebar serta pengisian logbook yang masih rendah.
Dicontohkan, terdapat perbedaan rekonstruksi data hasil tangkapan Indonesia di IOTC terkait komoditas tuna sirip kuning. Dalam data hasil tangkapan yang dilaporkan ke IOTC tercatat 45.122 ton, sedangkan data IOTC yang melalui proses reestimasi oleh Sekretariat IOTC berjumlah 25.275 ton. Reestimasi itu dilakukan untuk mengatur pembatasan tangkapan.
Konsolidasi
CEO Ocean Solutions Indonesia Zulficar Mochtar mengemukakan, strategi pemerintah untuk peningkatan daya saing komoditas tuna butuh konsolidasi dengan melibatkan pelaku usaha dan asosiasi. Strategi itu meliputi produk yang kompetitif, proses yang dapat ditelusuri dan memenuhi standar, jaminan keberlangsungan usaha dan stok, harga efisien, serta layanan. Proses pelayanan rumit dan berbelit akan berpengaruh pada tata kelola tuna.
Indonesia menghadapi tantangan sebagai negara produsen tuna terbesar dunia, tetapi ekspor tuna Indonesia tidak masuk dalam peringkat lima besar dunia. Oleh karena itu, kerangka strategi diperlukan agar produk tuna Indonesia tidak hanya menjadi nomor satu dari sisi produksi, tetapi ekspor bisa berdaya saing dan hilirisasi. Di sisi lain, peningkatan produksi tuna jangan sampai menghambat keberlangsungan dan lingkungan.
”Kebijakan harus bisa memberikan ruang yang cukup bagi pemangku kepentingan, pelaku usaha, dan nelayan untuk bisa meningkatkan kompetensi di dunia. Konsolidasi diperlukan dalam kerangka standardisasi, sertifikasi, dan kompetensi khas Indonesia yang bisa diterima di internasional,” katanya.
Salah satu persoalan yang juga perlu dituntaskan secara serius adalah hambatan tarif ekspor. Pajak yang terlalu tinggi membuat Indonesia sulit berkompetisi. Strategi negosiasi tarif ekspor tuna di tingkat internasional perlu melibatkan pelaku usaha dengan dukungan persiapan matang.