Xi Jinping Tunjuk Loyalisnya Jadi Orang Nomor Dua di China
Kabinet baru yang terdiri dari para loyalis Xi menghadapi pekerjaan rumah berat di tengah tantangan kompleks yang dihadapi China pascapandemi, terutama risiko ekonomi dan tekanan geopolitik yang menguat.
Oleh
AGNES THEODORA dari Beijing
·4 menit baca
BEIJING, KOMPAS – Presiden China Xi Jinping yang kembali menjabat untuk periode ketiga resmi menunjuk loyalisnya, Li Qiang, sebagai perdana menteri China yang baru dalam sidang pleno Kongres Rakyat Nasional, Sabtu (11/3/2023). Konsolidasi politik besar dijalankan Xi untuk menghadapi berbagai tantangan kompleks yang dihadapi China, dari risiko ekonomi sampai tekanan geopolitik.
Li Qiang (63) mengambil sumpahnya dalam sidang pleno Kongres Rakyat Nasional China (National People’s Congress) Ke-14 di Aula Besar Rakyat, Beijing, China, Sabtu. Ia dipilih oleh sidang sebagai perdana menteri yang baru, setelah nominasi oleh Xi Jinping di hari yang sama. Li Qiang dipilih dengan total 2.936 suara, dengan tiga orang menolak pencalonannya dan delapan orang memilih abstain.
“Saya bersumpah untuk setia pada konstitusi Chinia dan bekerja keras untuk membangun negara sosialis modern yang sejahtera, kuat, demokratis, beradab, dan harmonis,” ucap Li.
Dengan pengambilan sumpah itu, ia resmi menggantikan perdana menteri sebelumnya, Li Keqiang, yang menjabat selama dua periode atau 10 tahun. Li Keqiang sebelumnya telah menyampaikan pidato terakhirnya sebagai perdana menteri saat menyampaikan laporan kerja pemerintah dalam pembukaan sidang pleno Kongres Rakyat Nasional, pekan lalu.
Li Qiang adalah orang dekat Xi, yang pernah mendampingi Xi sebagai kepala staf selama periode 2004-2007. Saat itu, Xi masih menjabat sebagai sekretaris Partai Komunis China di Provinsi Zhejiang. Namanya mulai disebut-sebut sebagai pengganti Li Keqiang, setelah Xi menunjuknya untuk menduduki posisi nomor dua di partai pada Kongres Partai Komunis China, Oktober 2022 lalu.
Sebagai loyalis Xi, Li Qiang sering disebut-sebut memiliki reputasi berbeda dengan pendahulunya, Li Keqiang. Kepemimpinan Li Qiang dikenal atas langkah ekstrem yang ia ambil untuk menegakkan penguncian wilayah atau Kebijakan Nihil Covid ala Xi di Shanghai, tahun lalu. Kebijakan itu memicu amarah rakyat yang tertekan secara ekonomi hingga menyulut terjadinya aksi unjuk rasa di China.
Konsolidasi politik Xi tidak berhenti sampai pada Li Qiang. Ia juga menunjuk sejumlah loyalis lain untuk menduduki posisi strategis di kabinet barunya. Di hari yang sama dengan pelantikan Li Qiang, Xi menominasikan Liu Jinguo sebagai Direktur Komisi Pengawasan Nasional (National Commision of Supervision), badan anti-korupsi di China.
Ia juga menunjuk Zhang Jun sebagai pimpinan Mahkamah Agung Rakyat China (Supreme People’s Court), lembaga pengadilan tertinggi di China, serta Ying Yong sebagai pemimpin Kejaksaan Agung Rakyat (Supreme People’s Procuratorate), lembaga penuntut dan investigasi tertinggi di China.
Li Qiang dipilih dengan total 2.936 suara, dengan tiga orang menolak pencalonannya dan delapan orang memilih abstain.
Pada sesi yang sama, Xi juga menunjuk Zhang Youxia dan He Weidong sebagai Wakil Komisi Militer Pusat (Central Military Commision), badan pertahanan tertinggi di China. Komisi ini dikepalai secara langsung oleh Xi.
Tugas berat
Kabinet baru Xi menghadapi pekerjaan rumah berat di tengah tantangan kompleks yang dihadapi China pascapandemi, baik risiko ekonomi maupun tekanan geopolitik yang semakin kuat.
Analis dan Wakil Ketua Center for China and Globalisation Victor Gao mengatakan, kabinet baru Xi harus memiliki satu visi untuk memastikan China tumbuh stabil dan berkualitas di tengah kondisi ekonomi dan geopolitik yang tak pasti. “Bagaimana kita bisa menavigasi tantangan global sambil tetap membuka diri dengan seluruh dunia,” ujarnya kepada media lokal berbahasa Inggris, China Global Television Network.
Tidak hanya kondisi global yang naik-turun, Victor juga mengungkit risiko domestik yang dihadapi China, khususnya di bidang sosial-ekonomi. Untuk jangka pendek, sepak terjang kabinet baru dinantikan untuk membangkitkan kembali ekonomi China yang sempat terpuruk akibat tiga tahun pandemi dan kebijakan penguncian wilayah yang ekstra ketat.
Kabinet baru ini harus sadar bahwa masyarakat China dan dunia mengawasi mereka dengan ketat, mereka harus bekerja keras.
“Kita sekarang punya momentum karena pandemi sudah lewat dan ekonomi mulai kembali normal. Tapi tantangannya adalah bagaimana pemerintah baru ini bisa mengembalikan keyakinan semua sektor usaha, dari perusahaan besar, UMKM, sektor publik, sektor swasta, sampai investor asing,” katanya.
Sementara, dalam jangka menengah-panjang, ada isu depopulasi yang bisa mengancam kedigdayaan ekonomi China dalam beberapa tahun mendatang.
“Sepuluh tahun ke depan, China bisa menjadi negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Apakah kita siap untuk itu dan apakah pemimpin saat ini bisa membawa kita ke situ? Kabinet baru ini harus sadar bahwa masyarakat China dan dunia mengawasi mereka dengan ketat, mereka harus bekerja keras,” kata Victor.
Pemulihan drastis
Sementara itu, dalam wawancara terpisah secara daring, Anggota Konferensi Permusyawaratan Politik Rakyat China (CPPCC) Zhang Bin meyakini, tahun ini, perekonomian China akan mengalami pemulihan drastis. China akan bergantung erat pada kebangkitan di sektor domestik, baik lewat konsumsi masyarakat maupun investasi dalam negeri.
Ia mengatakan, target pertumbuhan ekonomi China tahun ini di kisaran 5 persen sudah dipertimbangkan matang-matang untuk menjaga laju pemulihan ekonomi China tetap stabil dan berkualitas, tidak semata-mata mengejar angka yang tinggi. Menurutnya, figur itu juga sudah sesuai dengan kompleksnya tantangan global dan domestik tahun ini.
“Namun, saya secara pribadi yakin, ekonomi China tahun ini akan tumbuh jauh lebih tinggi dari target itu, dan ini tidak hanya menguntungkan warga China, tetapi negara lainnya di dunia,” kata Zhang.