Tekanan inflasi diperkirakan meningkat pada April 2023 seiring meningkatnya kebutuhan pada bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Sejumlah warga bersiasat di tengah kenaikan harga beberapa bahan pangan pokok.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tekanan inflasi pada April 2023, berdasarkan hasil survei penjualan eceran Bank Indonesia, diperkirakan meningkat. Tekanan inflasi tersebut disebabkan oleh kenaikan harga selama periode Ramadhan dan Idul Fitri 2023. Sejumlah warga bersiasat karena harga kebutuhan pokok cenderung naik menjelang Ramadhan.
Mengutip Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dirilis Bank Indonesia (BI) pada Kamis (9/3/2023), Indeks Ekspektasi Harga (IEH) Umum April 2023 tercatat sebesar 145,1 atau meningkat dibandingkan dengan indeks pada Maret 2023 yang tercatat 139,1.
Direktur Departemen Komunikasi BI Fadjar Majardi mengatakan, hasil survei tersebut menunjukkan, responden memperkirakan tekanan inflasi akan meningkat pada April 2023, sedangkan indeks pada Juli 2023 diperkirakan menurun. ”Responden menginformasikan kenaikan harga diperkirakan terjadi selama periode Ramadhan dan Idul Fitri 2023,” ujar Fadjar.
Menjelang awal Ramadhan yang jatuh pada 23 Maret 2023, harga sejumlah harga barang kebutuhan pokok meningkat. Hal itu dirasakan Cynthia Andrean (31), warga Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Cynthia mengungkapkan, dirinya telah mempersiapkan kebutuhan pokok dua pekan sebelum bulan Ramadhan karena harga kebutuhan pokok dirasa cukup mahal jika dibeli saat bulan Ramadhan.
”Harga biasanya naik semua, seperti minyak goreng, beras, bawang, cabai, gula, daging, dan mi instan. Saya sudah ke pasar dan supermarket untuk membeli (bahan pangan sebagai) persiapan (menghadapi) bulan Ramadhan karena kebetulan dapat bonus dari kantor. Sementara (untuk) kebutuhan Lebaran, kami beli 10 hari sebelumnya,” tuturnya, Sabtu (11/3).
Cynthia pun telah membagi keuangannya berdasarkan kebutuhan. Seperti ketika nanti mendapatkan tunjangan hari raya (THR), dananya akan digunakan untuk apa saja, seperti untuk orangtua ataupun kebutuhan belanja kue kering.
Berbeda dengan Cynthia, Della Putri Fernandes (28), warga Serpong, Tangerang Selatan, menyiasati kenaikan harga bahan kebutuhan pokok dengan mengurangi jumlah barang yang dia beli. ”Biasanya beli cabai 1 kilogram (kg) satu minggu. Kalau harga cabai mahal, beli 0,5 kg dulu,” ujarnya.
Selain itu, hal yang berbeda di bulan Ramadhan dibandingkan dengan bulan lainnya adalah saat berbuka puasa. Della pun lebih nyaman membuat hidangan takjil sendiri ketimbang harus membelinya. Selain lebih hemat, takjil yang dibeli belum tentu enak rasanya.
Sementara Adhe Nenny (48), warga Ciledug, Tangerang, Banten, mengungkapkan, saat bulan Ramadhan, kebutuhan konsumsinya meningkat sekitar 20 persen. Namun, dia tetap membeli kebutuhan dengan sewajarnya dan memprioritaskan kebutuhan pokok serta kebutuhan anak.
”Misalnya anak membeli baju Lebaran, saya tidak perlu karena kondisi ekonomi belum cukup stabil saat ini,” ujarnya.
Perencana keuangan, Mike Rini, dari Mitra Rencana Edukasi mengungkapkan, bulan Ramadhan berbeda dari bulan lainnya karena ada beberapa faktor yang mendorong perubahan dan frekuensi konsumsi yang khas serta melekat di bulan Ramadhan dan Idul Fitri.
Mike mengatakan, pengeluaran sepanjang Ramadhan perlu difokuskan pada pengeluaran utama saja. Sebab, ketika berpuasa, berbagai aktivitas mendorong masyarakat menjadi konsumtif, seperti penambahan makanan kecil yang berlebihan dan makan di luar rumah (buka puasa bersama). Aktivitas itu dapat meningkatkan biaya rumah tangga secara signifikan.
Masyarakat dirasa tidak perlu belanja dalam jumlah besar di awal Ramadhan, seperti memborong minyak goreng dan terigu. Masyarakat perlu berhati-hati membeli kebutuhan dalam jumlah banyak. Hal itu dapat berdampak pada kapasitas penyimpanan barang. Jika tidak cepat dikonsumsi, barang yang berlebih akan mubazir.
”Kecuali untuk bisnis; kalau untuk pribadi, tidak harus menyimpan makanan dalam jumlah besar karena perbedaannya tidak signifikan. Agar tidak terjadi lonjakan pengeluaran, untuk rumah tangga, sesuaikan belanja dengan kebutuhan yang dikonsumsi saja,” ujarnya.
Selain itu, tambah Mike, peningkatan konsumsi juga terjadi saat Idul Fitri karena warga mesti menyediakan makanan hari raya serta ada kebiasaan serba baru. Hal ini mendorong masyarakat mengeluarkan biaya tambahan serta biaya lain, seperti zakat dan sedekah. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengatur keuangan dengan cerdik saat Ramadhan dan Idul Fitri.
Kepala Ekonom Bank Permata Tbk Joshua Pardede mengatakan, saat Ramadhan dan Idul Fitri, rumah tangga perlu berhemat karena inflasi selama Ramadhan cenderung meningkat. Hal ini dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan. Selain itu, menjelang Idul Fitri, masyarakat akan mendapat THR sehingga belanja masyarakat juga akan meningkat.
Akan tetapi, Joshua menilai, inflasi saat Ramadhan bersifat sementara dan setelah Idul Fitri harga barang kebutuhan pokok biasanya akan kembali normal.
Merujuk survei konsumen BI, kepercayaan konsumen masyarakat masih tinggi, yakni di atas 100, sementara penjualan eceran cendurung mengalami pertumbuhan yang positif.
Walaupun pertumbuhan ekonomi global melambat, konsumsi rumah tangga relatif solid. Harapannya, momentum tersebut tetap bisa mempertahankan pertumbuhan ekonomi karena konsumsi masih berkontribusi paling besar terhadap pertumbuhan perekonomian Indonesia.
”Yang paling penting adalah bagaimana pengendalian inflasi pangan karena pada Maret-April bersamaan dengan panen raya padi. Semoga bisa membatasi harga kenaikan pangan dan stabilisasi harga beras dapat terkendali sehingga dapat menjaga daya beli masyarakat,” ujarnya.
Menurut Joshua, inflasi akan kembali normal di bawah 4 persen karena pada September 2023 dampak kenaikan harga bahan bakar minyak diperkirakan akan hilang. Biasanya akan terlihat selama satu tahun sejak kenaikan harga bahan bakar minyak pada September 2022.