Pemerintah mendorong kepatuhan perizinan dalam pemanfaatan perairan dan pulau-pulau kecil. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenai sanksi administratif berupa berupa penghentian operasi sementara.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA
Karang biru di perairan Pulau Jemaja, salah satu pulau di Anambas, Kepulauan Riau. Dari 4,6 juta hektar perairan Anambas, 1,2 juta ditetapkan sebagai Taman Nasional Perairan (TNP) pada 29 Maret 2017.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan menyegel resor, wisata, dan fasilitas komersial milik PT PB di Kabupaten Anambas, Kepulauan Riau. Penghentian sementara kegiatan operasional perusahaan itu karena ada indikasi perusahaan memanfaatkan pulau-pulau kecil tanpa dokumen perizinan yang lengkap.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PSDKP-KKP) Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin mengemukakan, penghentian sementara operasional PT PB sejak 10 Maret 2023 merupakan tindak lanjut atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap PT PB yang terindikasi telah memanfaatkan pulau-pulau kecil yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Perusahaan diduga tidak memiliki empat dokumen perizinan, yaitu persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL), perizinan berusaha, izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dalam rangka penanaman modal asing, dan izin pengusahaan pariwisata alam perairan pada kawasan konservasi.
”KKP secara paksa menghentikan sementara seluruh kegiatan PT PB di Kabupaten Anambas,” ujar Adin dalam keterangan pers, Sabtu (11/3/2023), seusai melakukan penyegelan terhadap PT BP di Pulau Bawah, Kabupaten Anambas, Kepulauan Riau.
PT PB merupakan perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang mengelola gugusan pulau di Kabupaten Anambas Kepulauan Riau, meliputi Pulau Bawah seluas 46,16 hektar, Pulau Elang seluas 3,15 hektar, Pulau Murba 1,22 hektar, dan Pulau Sangga 20,40 hektar. Terdapat sebanyak 30 resor dengan tingkat hunian atau okupansi sebesar 30 persen setiap bulan. Umumnya, turis datang dari Batam ke Pulau Bawah menggunakan moda pesawat air berkapasitas delapan orang yang dimiliki pihak perusahaan.
Adin menambahkan, pada pertengahan tahun 2022, KKP telah memberikan peringatan I dan II kepada PT BP. Namun, perusahaan dinilai belum memiliki itikad baik menyelesaikan PKKPRL serta mengajukan izin berusaha, izin pemanfaatan pulau-pulau kecil, dan izin pemanfaatan kawasan konservasi. KKP selanjutnya memanggil kembali pengelola PT PB.
Atas pelanggaran yang dilakukan, Adin menegaskan, PT PB dikenai sanksi administratif di bidang kelautan dan perikanan, yaitu berupa paksaan pemerintah atau penghentian sementara operasional. Penghentian itu dilakukan sampai PT PB dapat memenuhi kewajiban perizinan-perizinan sesuai aturan yang berlaku dalam melaksanakan kegiatan berusaha.
Pengenaan sanksi administratif mengacu pada Pasal 18 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 31 Tahun 2021 tentang Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kelautan dan Perikanan, yaitu berupa paksaan pemerintah atau penghentian sementara kegiatan.
ISMAIL ZAKARIA
Laman daring privateislandonline.com, Rabu (10/2/2021), masih menampilkan Pulau Tangkong, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Pemerintah daerah setempat memastikan, tidak ada penjualan pulau, melainkan pada kawasan milik perorangan di pulau kecil itu.
Pemanfaatan ruang laut mengacu, antara lain, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 53 Tahun 2020 tentang Penatausahaan Izin Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dalam Rangka Penanaman Modal Asing (PMA). ”Pelaksanaan pemanfaatan ruang laut harus dilakukan sesuai aturan yang berlaku supaya tidak menimbulkan kerusakan ekologi,” ujar Adin.
Izin tambang
Sebelumnya, KKP menerbitkan delapan dokumen Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dalam bentuk Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) kepada PT Timah Tbk, Rabu (8/3). Penerbitan KKPRL itu sebagai tindak lanjut terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo mengemukakan, hingga kini KKP telah menerbitkan 95 dokumen KKPRL di wilayah perairan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang terdiri atas 85 persetujuan dan 10 konfirmasi. Total nilai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari penerbitan KKPRL tersebut mencapai Rp 12 miliar.
Dokumen KKPRL itu meliputi kegiatan perikanan, pemasangan kabel bawah laut, kepelabuhanan/terminal khusus, serta pertambangan bijih timah. Penerbitan dokumen KKPRL dimaksudkan untuk tertib administrasi dalam membangun iklim usaha di sektor kelautan dan perikanan dengan tetap menjaga kesehatan laut untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ekonomi dan ekologi sesuai dengan prinsip ekonomi biru.
”Sesuai dengan amanat undang-undang, setiap kegiatan termasuk aktivitas pertambangan yang dilakukan secara menetap di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi wajib memperoleh KKPRL,” ujar Victor.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengemukakan, nilai ekonomi yang dihasilkan melalui kegiatan pengelolaan ruang laut oleh PT Timah harus dapat dimanfaatkan dengan baik dengan tetap memperhatikan prinsip keberlanjutan ekologi serta manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Direktur Utama PT Timah Tbk Achmad Ardianto mengungkapkan, sebanyak 80 persen cadangan timah berada di laut. PT Timah Tbk mendapatkan mandat untuk melakukan penambangan timah kelas dunia, tetapi tetap harus dapat menjaga lingkungan laut. Oleh karena itu, sebagai salah satu pemanfaat ruang laut, PT Timah Tbk berkomitmen untuk mematuhi dan memiliki PKKPRL dari KKP.
Secara terpisah, Koordinator Ekomarin, Marthin Hadiwinata, menyatakan keberatan terhadap kebijakan KKP yang menerbitkan dokumen PKKPRL. Tindakan tersebut dinilai melegalisasi perusakan sumber daya dan lingkungan hidup kelautan. Selain itu, hal itu juga bertentangan dengan prinsip perlindungan lingkungan laut di mana terdapat prinsip pencegahan kerusakan dan prinsip kehati-hatian terhadap setiap aktivitas usaha yang berdampak meluas.
Salah satu warga Pulau Sangihe berorasi di depan gedung Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Kamis (17/11/2022).
Ia menilai, studi terhadap tambang di perairan dalam lautan menghasilkan dampak yang tidak dapat dipulihkan. Adapun masyarakat dunia saat ini tengah menghadapi krisis iklim. Legalisasi tambang di laut dinilai mempercepat krisis iklim. Salah satu dampak buruk dari krisis iklim adalah anomali iklim dan intensitas bencana yang meningkat. Dampak itu juga akan dirasakan nelayan kecil yang merupakan mayoritas pelaku perikanan nasional.
”Pertambangan di perairan laut menyebabkan dampak yang tidak dapat dipulihkan seperti semula dan akan terjadi dalam jangka waktu lama. Pemulihannya memakan waktu yang panjang. Di sisi lain, keanekaragaman hayati di laut juga belum di eksplorasi dan dipetakan sepenuhnya”, ujar Marthin.
Rachmi Hertanti, Peneliti dari Transnational Institute, menjelaskan, legalisasi pertambangan di laut Indonesia didorong oleh perlombaan untuk menguasai bahan baku mineral penting di dunia untuk akselerasi transisi energi hijau dan digitalisasi. Hal ini diklaim untuk memperkuat agenda hilirisasi industri untuk nilai tambah produksi produk tambang Indonesia. Namun, yang terjadi adalah legalisasi kebijakan yang memprioritaskan investasi tanpa adanya penilaian dampak keberlanjutan lingkungan jangka panjang bagi kehidupan rakyat.