Tak hanya akibat paceklik, tetapi juga dampak cuaca, akumulasi imbas kenaikan harga bahan bakar minyak dan pupuk, bahkan korporasi besar yang memengaruhi pembentukan harga komoditas tertentu di dalam negeri.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
Di tengah tren penurunan harga pangan global, harga sejumlah pangan pokok di dalam negeri justru naik. Bukan hanya akibat paceklik, tetapi juga dampak cuaca, akumulasi imbas kenaikan harga bahan bakar minyak tahun lalu, bahkan korporasi besar yang memengaruhi pembentukan harga komoditas tertentu di dalam negeri.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat, setelah berada di puncaknya sebesar 159,7 pada Maret 2022, indeks harga pangan dunia turun terus selama 11 bulan terakhir. Per Februari 2023, indeks tersebut sudah turun menjadi 129,8.
Penurunan indeks harga pangan itu ditopang oleh penurunan harga serealia, minyak nabati, dan susu. Di kelompok serealia, harga gandum dan jagung naik tipis masing-masing 0,3 persen dan 0,1 persen secara bulanan.
Adapun harga beras internasional turun 1 persen secara bulanan. Hal itu dipengaruhi perlambatan aktivitas sebagian besar eksportir utama di Asia baik lantaran dampak cuaca maupun musim paceklik.
Di Indonesia, harga sejumlah komoditas pangan yang bergantung pada impor, seperti kedelai, bawang putih, dan tepung terigu, saat ini, masih tinggi. Berdasarkan Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok (SP2KP) Kementerian Perdagangan, per 10 Maret 2023, harga rata-rata nasional kedelai impor Rp 15.600 per kilogram (kg), bawang putih honan Rp 32.000 per kg, dan tepung terigu Rp 13.300 per kg. Dalam setahun, harga kedelai impor naik 16,42 persen, bawang putih honan 7,38 persen, dan tepung terigu 22,02 persen.
Di Indonesia, harga sejumlah komoditas pangan yang bergantung pada impor, seperti kedelai, bawang putih, dan tepung terigu, saat ini, masih tinggi.
Hal serupa juga terjadi pada telur ayam ras yang naik 13,33 persen secara tahunan menjadi Rp 28.900 per kg. Pada Januari 2023, harga telur tersebut pernah tembus Rp 30.800 per kg. Kenaikan harga komoditas ini disebabkan lonjakan harga jagung pakan dan bahan baku lain yang berasal dari impor.
Tidak hanya itu, harga pangan pokok yang diproduksi dari dalam negeri, seperti beras, cabai merah, bawang merah, dan minyak goreng, juga naik. Secara umum, kenaikan harga pangan pokok tersebut dipengaruhi akumulasi imbas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 3 September 2022 dan pupuk. Hal itu membuat biaya pokok produksi menjadi bertambah tinggi.
Di luar itu, ada faktor-faktor lain yang menyebabkan masing-masing komoditas itu harganya naik. Beras medium, misalnya. Kenaikan harganya sudah terjadi sejak Juli 2022. Kenaikan harga beras tersebut bukan hanya dipengaruhi musim paceklik (masa rentang tanam padi hingga panen raya), serta kenaikan harga BBM dan pupuk, tetapi juga oleh curah hujan yang tinggi dan korporasi besar yang membeli gabah petani dengan harga sangat tinggi.
Per 10 Maret 2023, harga rata-rata nasional komoditas tersebut naik 12,38 secara tahunan menjadi Rp 11.800 per kg per 10 Maret 2023. Bahkan, beras menyumbang inflasi tahunan pada Januari dan Februari 2023 masing-masing sebesar 0,24 persen dan 0,32 persen. Tingkat inflasi tahunan pada Januari 2023 mencapai 5,28 persen dan Februari 2023 sebesar 5,47 persen.
Kenaikan harga beras tersebut bukan hanya dipengaruhi musim paceklik dan kenaikan harga BBM, tetapi juga oleh curah hujan yang tinggi dan korporasi besar yang membeli gabah petani dengan harga sangat tinggi.
Pemerintah bahkan telah mengimpor beras sebanyak 500.000 ton, tetapi harga beras medium masih tinggi, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah berdasarkan wilayah, yakni Rp 9.450-Rp 10.250 per kg. Pemerintah, melalui Badan Pangan Nasional (National Food Agency/NFA), juga berupaya meredam aksi konglomerasi beras membeli gabah petani dengan harga tinggi. Salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan batas atas dan bawah harga pembelian gabah dan beras.
Dari sisi mengendalikan pembelian gabah petani dengan harga terlalu tinggi memang relatif berhasil. Penggilingan-penggilingan kecil mulai turut menyerap gabah petani. Namun, dari sisi petani, harga gabah kering panen justru anjlok, bahkan ada yang di bawah biaya pokok produksi.
Hal itu membuat NFA mencabut kebijakan yang baru berumur dua pekan tersebut. Kebijakan itu nantinya akan digantikan dengan kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras yang baru.
NFA telah memberikan sinyal, HPP gabah kering panen lama, yakni Rp 4.200 per kg, tidak akan dipakai lagi. NFA juga berkomitmen menetapkan HPP yang wajar dengan mempertimbangkan kenaikan biaya pokok produksi pertanian, penggilingan, serta konsumen dan inflasi.
Di tengah berbagai macam faktor yang menyebabkan kenaikan harga pangan di sektor pertanian dan perkebunan, kenaikan harga BBM dan pupuk paling sangat berpengaruh terhadap kenaikan biaya pokok produksi. Saat ini, harga pangan dari ladang dan sawah itu tengah bergerak menuju keseimbangan baru.
Sekali lagi terkait beras, kenaikan harganya tidak dipengaruhi oleh musim paceklik saja. Selain kenaikan harga pupuk dan BBM, serta cuaca, konglomerasi beras juga turut andil terhadap pembentukan harga beras. Oleh karena itu, penentuan HPP gabah dan beras yang wajar yang tidak merugikan petani, penggilingan, hingga konsumen sangat diperlukan.
Di sisi lain, pemerintah berencana menyalurkan bantuan sosial (bansos) kepada keluarga penerima manfaat program Keluarga Harapan dan Bantuan Pangan Nontunai. Pemberian bansos pangan, termasuk beras, itu akan digulirkan selama tiga bulan, yakni Maret, April, dan Mei 2023.
Langkah tersebut sudah tepat lantaran bisa meredam terjadinya “paceklik” dompet masyarakat berpenghasilan bawah yang pendapatannya belum sepenuhnya pulih dari imbas pandemi Covid-19. Namun, pemerintah harus mengawalnya agar penyaluran bansos tersebut tepat sasaran.