Penerapan Kecerdasan Buatan Perlu Payung Hukum yang Jelas
Pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan kian menggejala di segala sektor. Di Indonesia, dibutuhkan payung hukum yang jelas dan tegas tentang bagaimana mengatur penggunaan teknologi kecerdasan buatan tersebut.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
KOMPAS/ ESTER LINCE NAPITUPULU
Prof Widodo Budiharto dikukuhkan sebagai guru besar bidang kecerdasan buatan di Binus University di Jakarta,Rabu (23/8). Widodo menunjukkan salah satu aplikasi kecerdasan pada robot edukasi yang mampu mengajar matematika dalam bahasa indonesia.
Inovasi kecerdasan buatan berkembang pesat seiring dengan kucuran pendanaan pengembangan teknologi ini yang juga meningkat. Menyikapi fenomena ini, pemerintah perlu mengambil kebijakan yang mengedepankan penerapan teknologi yang etis, aman, dan melindungi data pribadi.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi publik ”Artificial Intelligence: Disrupsi Bagi Ekonomi?”, Kamis (9/3/2023), di Jakarta. Narasumber dalam diskusi ini adalah Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UKM di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha Maghfiruha; peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Deniey A Purwanto; dan AI Specialist Continuum Indonesia Imam Rachbini.
Menurut Eisha Maghfiruha, sesuai laporan Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa, peningkatan pendanaan kecerdasan buatan mulai tampak sejak akhir 2014. Secara global, nilai pendanaan kala itu sudah mencapai 800 juta dollar AS.
Nilai pendanaan kecerdasan buatan kian meningkat tajam, yakni di atas 1,2 miliar dollar AS pada 2016. Laporan yang sama memperkirakan, peningkatan nilai pendanaan terus terjadi pada tahun-tahun berikutnya seiring dengan implementasi revolusi industri keempat.
Dalam kurun tahun 2000-2015, paten teknologi kecerdasan buatan secara global juga meningkat. Hal ini terutama dihasilkan oleh negara-negara maju, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Di Indonesia juga terdapat paten teknologi kecerdasan buatan, tetapi Eisha menyebut jumlahnya sangat sedikit.
Segala bentuk inovasi teknologi kecerdasan mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam aktivitas industri. Eisha mengatakan bahwa pemakaian teknologi kecerdasan yang diikuti dengan teknologi tinggi lainnya terbukti mampu merevitalisasi kinerja manufaktur.
Pada tahun 2022, salah satu laporan riset Bank Dunia pernah menyebutkan perbandingan share nilai tambah industri manufaktur berbasis teknologi menengah-tinggi sejumlah negara. Contohnya, Vietnam 39,01 persen, Indonesia 37,32 persen, dan Malaysia 44,01 persen.
”Meski demikian, penerapan inovasi kecerdasan buatan bisa mengubah struktur ekonomi dan ketenagakerjaan. Kesenjangan pertumbuhan ekonomi bisa saja semakin melebar antarwilayah,” ujar Eisha.
Eisha menambahkan, beberapa negara yang lebih maju telah mengembangkan regulasi terkait teknologi kecerdasan buatan. Sebagai contoh, Uni Eropa sudah mempunyai kertas putih regulasi kecerdasan buatan. Uni Eropa juga memastikan kecerdasan buatan ditempatkan di pasar yang sah, aman, dan menghormati konstitusi. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat telah menetapkan peraturan implementasi kecerdasan buatan pada beberapa kasus pada tahun 2022 dan akan ada peraturan umum pada 2023. Adapun di India, pemerintah mempunyai program kecerdasan buatan untuk semua.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN (HAS)
Pemanfaatan aplikasi berbasis kecerdasan buatan (Artificial intelligence/AI), ChatGPT, di sebuah kantor di Jakarta, Selasa (7/3/2023). ChatGPT adalah chatbot AI berupa model bahasa generatif yang menggunakan teknologi transformer untuk memprediksi probabilitas kalimat atau kata berikutnya dalam suatu percakapan ataupun perintah teks.
Regulasi harus mendukung percepatan inovasi selanjutnya, alias tidak berhenti pada perkembangan terkini kecerdasan buatan. Bagaimanapun ada sejumlah sisi positif teknologi digital untuk pertumbuhan ekonomi. Eisha berpendapat sudah saatnya ada koordinasi lintas kementerian/lembaga untuk menyusun payung hukum kebijakan pemanfaatan kecerdasan buatan yang etis.
”Sebab, pada saat bersamaan, teknologi kecerdasan juga menyimpan risiko negatif. Misalnya, bias kaum minoritas dan data pribadi,” tuturnya.
Dari sisi ketenagakerjaan, Deniey A Purwanto berpendapat, secara umum penerapan teknologi kecerdasan berdampak pada pengurangan jam kerja, mobilitas tenaga kerja, penurunan pendapatan, dan pemutusan hubungan kerja. Derajat risiko tersebut bisa berbeda antarprofesi karena bergantung seberapa dalam paparan teknologi kecerdasan buatan terhadap profesi bersangkutan.
Deniey melanjutkan, dukungan kebijakan pemerintah yang dibutuhkan adalah untuk memastikan keseimbangan positif antara potensi hilangnya dan penciptaan lapangan kerja baru. Pemerintah Indonesia bisa mulai mengidentifikasi lapangan kerja baru beserta keahlian yang dibutuhkan. Lalu, pemerintah ikut menyiapkan angkatan kerja yang siap menghadapi teknologi kecerdasan buatan melalui program pelatihan kerja. Selanjutnya, pemerintah perlu mereformulasi payung hukum pengupahan, jam kerja, perjanjian kerja, dan menguatkan sistem jaminan sosial.
KURNIA YUNITA RAHAYU
Suasana pameran kecerdasan buatan dalam konferensi internasional "Responsible Artificial Intelligence in The Military Domain (REAIM) 2023)” di World Forum, Den Haag, Rabu-Kamis (15-16/2/2023).
”Hal yang tak kalah penting adalah pengusaha industri perlu ikut serta melakukan reskilling terhadap tenaga kerja yang ada,” kata Deniey.
Sentimen berbeda
Sementara itu, di kalangan masyarakat, menurut Imam Rachbini, terdapat tiga sentimen yang berbeda terhadap kecerdasan buatan. Sentimen pertama adalah masyarakat yang menganggap kecerdasan buatan sebagai teknologi yang keren. Kedua, kecerdasan buatan dianggap berbahaya. Adapun sentimen ketiga memandang kecerdasan buatan tidak perlu ditakuti karena teknologi ini tidak akan pernah memiliki emosi seperti manusia.
Saat memberikan sambutan pada pembukaan Rakernas Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Selasa (7/3), di Jakarta, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyatakan bahwa pemerintah berupaya meningkatkan produktivitas sumber daya manusia. Salah satu caranya melalui revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi.
”Kita perlu bersama-sama berkolaborasi untuk memberikan penguatan tenaga kerja, baik dalam meningkatkan kompetensi, konsistensi, adaptasi, inovasi, dan penguasaan teknologi,” kata Ida.