Resiliensi Jadi Modal Indonesia Hadapi Ketidakpastian
Ketidakpastian kondisi global bisa memicu resesi ekonomi yang dapat mengganggu target pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023. Meski demikian, Indonesia dinilai punya resiliensi yang tecermin dari kinerja 2022.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Peserta menyimak pemaparan Rektor Unika Atma Jaya A Prasetyantoko, Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto, dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu yang menjadi pembicara dalam webinar yang diadakan Kompas.id di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Senin (6/3/2023). Webinar yang dipandu oleh Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Andreas Maryoto ini bertajuk ”Resesi Global, Ancaman Riil atau Sekadar Gertakan”.
TANGERANG, KOMPAS — Catatan positif ekonomi tahun 2022 dinilai bisa menjadi bekal bagi Indonesia mengarungi tahun 2023 yang masih penuh dengan ketidakpastian. Sejumlah modal penting dimiliki Indonesia untuk tetap dapat tumbuh positif di tahun yang menantang.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu menjelaskan, ketidakpastian kondisi global yang bisa memicu resesi ekonomi masih akan membayangi upaya pencapaian target pembangunan ekonomi Indonesia di tahun 2023.
Ketidakpastian bersumber dari banyak hal. Di sisi geopolitik, sumber ketidakpastian datang dari belum adanya titik terang penyelesaian konflik Rusia-Ukraina, krisis iklim, serta dampak perang teknologi antara Amerika Serikat dan China.
Sementara itu, sumber ketidakpastian ekonomi datang dari agresivitas bank sentral AS, The Fed, yang diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga acuannya. Langkah The Fed ini bisa berdampak pada upaya Indonesia mencapai target-target ekonominya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Rektor Unika Atma Jaya A Prasetyantoko (kiri), Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto (kanan), dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu (hadir secara daring) menjadi pembicara dalam webinar yang diadakan oleh Kompas.id di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Senin (6/3/2023). Webinar yang dipandu oleh Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Andreas Maryoto (tengah) ini bertajuk ”Resesi Global, Ancaman Riil atau Sekadar Gertakan”.
Meski dihadapkan pada berbagai kegamangan situasi, Indonesia dinilai memiliki resiliensi untuk melewatinya. Hal ini didasarkan pada kinerja ekonomi tahun 2022 hingga awal 2023 yang tercatat cukup positif.
”Di antara negara ASEAN, kita salah satu yang terbaik. Saat masih ada perang dan harga pangan meroket, Indonesia masih tumbuh hingga 5,3 persen. Kita harapkan di 2023 juga tetap tumbuh di atas 5 persen,” ujarnya pada diskusi menyambut HUT Ke-6 Kompas.id, di Tangerang, Senin (6/3/2023).
Catatan positif di tahun 2022 harus dipertahankan di tahun 2023.
Pertumbuhan positif tahun lalu tercipta karena konsumsi yang membaik, dibarengi dengan kinerja ekspor yang positif. Pada tahun 2022, surplus neraca perdagangan Indonesia mencapai angka 54,4 miliar dollar AS. Surplus ini menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Adapun secara bulanan, surplus perdagangan telah berlangsung selama 33 bulan berturut-turut.
Raihan positif ini tidak terlepas dari melambungnya harga komoditas seperti migas dan kelapa sawit tahun lalu.
Selain itu, hilirisasi nikel menjadi salah satu penopang bagi neraca perdagangan Indonesia. Pada tahun 2022, nilai ekspor nikel dan turunannya meningkat menjadi 33 miliar dollar AS, dari tahun 2021 yang sebesar 22,2 miliar dollar AS.
Catatan surplus ini diharapkan terus naik, ditambah dengan adanya rencana hilirisasi bauksit pada Juni 2023. Catatan-catatan positif ini perlu dijaga untuk menghadapi tahun 2023 yang dinilai masih penuh dengan ketidakpastian.
Meski demikian, Indonesia tidak bisa terus-menerus mengandalkan tingginya harga migas, batubara, dan minyak sawit sebagai pendapatan negara karena harga komoditas diprediksi turun tahun ini. Investasi, konsumsi, serta mencari sumber penerimaan bukan pajak baru perlu digenjot untuk menjaga laju pertumbuhan ekonomi.
Keberhasilan Indonesia mengarungi 2022 dengan baik juga tidak lepas dari peran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai shock absorber. Melalui APBN, pemerintah memberikan subsidi agar daya beli masyarakat tetap terjaga di tengah volatilitas harga pangan dan energi akibat perang dan krisis pangan.
”Hal ini juga yang dilakukan dalam mendesain APBN 2023, bagaimana negara bisa menjaga daya beli dan inflasi. APBN kita siapkan menjadi stabilisator harga dan shock absorber. Kita punya modal yang kuat, tapi harus tetap waspada,” ucapnya.
Peluang pengembangan
Pengusaha dan Komisaris Bursa Efek Indonesia Pandu Sjahrir menerangkan, Indonesia memiliki resiliensi mengarungi ketidakpastian 2023 karena memiliki modal yang memadai dan strategi yang tepat. Senada dengan Febri, hilirisasi memang menjadi salah satu aspek yang bisa mendukung hal tersebut.
Untuk itu, pada tahun 2023, Indonesia perlu mengakselerasi pertumbuhan dan investasi di sektor-sektor bernilai tambah tinggi, seperti pertanian dan mineral. Dampak positif hilirisasi mineral, khususnya nikel, diharapkan berkontribusi positif pula bagi pengembangan industri kendaraan listrik yang kini menjadi ambisi pemerintah.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Rektor Unika Atma Jaya A Prasetyantoko (kiri) menjadi pembicara dalam webinar yang diadakan Kompas.id di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Senin (6/3/2023).
Ia menjelaskan, memperkuat industri di dalam negeri menjadi satu kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023.
Di samping hilirisasi, pemerintah juga perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan vokasi. Peningkatan kualitas harus dimulai sesegera mungkin agar pada 2045 Indonesia benar-benar bisa memperoleh manfaat dari bonus demografi.
Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko menjelaskan, ancaman resesi memang diprediksi melemah yang terlihat dari tingkat inflasi AS per Februari 2023 yang turun menjadi 6,4 persen dari angka 7 persen pada tahun lalu. Berkaca pada hal ini, The Fed dinilai hanya akan menaikkan suku bunga acuan ke angka 5,25 persen hingga akhir tahun.
Meskipun begitu, ancaman masih membayangi mengingat dengan sistem ekonomi yang terbuka, modal asing mudah masuk dan keluar dari Indonesia. Arus modal ini akan sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga acuan The Fed.
”Skenario resesi memang melemah, tapi ancamannya belum selesai karena target Pemerintah Amerika itu inflasi di 2 persen. Kalau bunga The Fed naik, modal keluar, rupiah akan melemah. Ini gejolak yang mungkin akan kita alami,” ujarnya.
Tantangan geopolitik
Faktor-faktor geopolitik masih menjadi penentu apakah jurang resesi akan semakin mendalam atau tidak. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto menjelaskan, pemerintah perlu mewaspadai beberapa hal pada tahun ini, salah satunya eskalasi perang Ukraina-Rusia, yang dalam skenario terburuk, dapat memicu penggunaan senjata nuklir.
Selain itu, beberapa penyelenggaraan pemilu di sejumlah negara dapat berpotensi menciptakan ketidakpastian di tingkat global. Pada tahun ini, ada beberapa pemilu yang akan dilaksanakan, yaitu di Ukraina, Nigeria, Myanmar, dan Turki.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Rektor Unika Atma Jaya A Prasetyantoko (kiri), Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto (kanan), dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu (hadir secara daring) menjadi pembicara dalam webinar yang diadakan Kompas.id di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Senin (6/372023). Webinar yang dipandu Wakil Redaktur Pelaksana Kompas Andreas Maryoto (tengah) ini bertajuk ”Resesi Global, Ancaman Riil atau Sekadar Gertakan”.
Hingga tahun 2030, perang juga berpotensi terjadi di kawasan Eropa Timur, Timur Tengah, Laut China, dan Semenanjung Korea.
”Sayangnya, ketidakpastian ini semua berada di luar Indonesia, seperti instabilitas politik menjelang pergantian kekuasaan. Analisis kami memang (konflik) antarnegara semakin tinggi. Ini perlu dimitigasi dengan menganalisis dampak luasnya akan seperti apa,” tuturnya.
Duta Besar Indonesia untuk Singapura Suryopratomo menyebutkan, ada beberapa tantangan global yang akan dihadapi banyak negara. Pertama, meningkatnya biaya hidup yang mengimpit kehidupan masyarakat. Kedua, ancaman datang dari cuaca ekstrem dan bencana alam.
Indonesia perlu membangun ekonominya dengan kuat untuk mengantisipasi dampak dari ancaman tersebut, salah satunya memperluas lapangan kerja dengan menarik investasi masuk.
”Tantangan-tantangan itu berpotensi memicu resesi global. Yang perlu dilakukan Indonesia, salah satunya, menciptakan kesejahteraan agar kehidupan masyarakat semakin baik. Reformasi birokrasi perizinan perlu dilakukan agar investasi bisa masuk,” ujarnya.