Bank Indonesia Ajak Sinergi Kendalikan Inflasi
Kerja sama kementerian/lembaga serta pemerintah pusat dan daerah dinilai menjadi kunci pengendalian inflasi. Bank Indonesia mengajak seluruh pihak bersinergi mengendalikan harga menjelang Ramadhan dan Lebaran tahun ini.
JAKARTA, KOMPAS — Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengajak semua kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah bersinergi menghasilkan inovasi dalam mengendalikan inflasi. Kerja sama menjadi kunci mengendalikan inflasi, khususnya terkait harga pangan menjelang bulan puasa dan Lebaran.
Perry menilai sinergi antara pemerintah pusat dan daerah perlu diperkuat agar inflasi bisa lebih terkendali. Pihaknya mengajak untuk tetap optimistis karena ekonomi Indonesia bisa tumbuh antara 4,5-5,3 persen di tengah gejolak global tahun ini.
”Perkiraan kami (ekonomi bisa tumbuh) 4,9 persen, tetapi bisa naik ke 5,1 persen, kalau bisa mendorong konsumsi dan ketahanan pangan,” ujarnya dalam kick off Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) 2023 yang digelar secara daring dari Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (5/3/2023).
Dia memperkirakan, inflasi Indeks Harga Konsumen bisa di bawah 4 persen pada semester II-2023. Namun, pada semester I-2023, inflasi diperkirakan masih di atas 5 persen. Dengan demikian, semua pihak perlu bekerja keras untuk menekan inflasi, khususnya inflasi pangan.
Perry menekankan, Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) dan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) diharapkan dapat menjadi akselerator langkah konkret bersama untuk mengendalikan inflasi pangan. Ada tujuh program unggulan GNPIP 2023, antara lain terdiri dari dukungan pelaksanaan kegiatan operasi pasar atau pasar murah, penguatan ketahanan pangan strategis, dan perluasan kerja sama antardaerah.
Selain itu, program lainnya adalah subsidi ongkos angkut, peningkatan pemanfaatan alsintan (alat mesin pertanian) dan saprotan (sarana produksi pertanian), serta penguatan infrastruktur teknologi, informasi, dan komunikasi yang di antaranya neraca pangan daerah.
Baca Juga: Kerugian Mengintai Petani Jelang Panen Raya
Program unggulan itu disusun mengacu pada peta jalan pengendalian inflasi 2022-2024 dan strategi pengendalian inflasi GNPIP 2023 yang mengedepankan upaya stabilitas harga yang bersifat struktural, forward looking, dan berbasis digital untuk mendukung percepatan pemulihan ekonomi nasional.
Capaian GNPIP 2022 dinilai turut mendorong penurunan inflasi pangan di seluruh wilayah. Sebelum GNPIP Juli 2022, inflasi mencapai 11,47 persen, dan turun menjadi 5,61 persen setelah GNPIP pada Desember 2022.
Dalam jangka pendek, guna memastikan inflasi menjelang puasa dan lebaran terkendali, Bank Indonesia memberi dukungan pengendalian inflasi volatile foods melalui pasar murah, koordinasi penguatan dan perluasan kerja sama antardaerah, serta penguatan koordinasi dan komunikasi kebijakan pengendalian inflasi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, berbagai pihak harus tetap waspada dan mengantisipasi perlambatan ekonomi global meski proyeksi penurunan tak sedalam perkiraan sebelumnya. IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada 2022 mencapai 3,4 persen dan akan turun menjadi 2,9 persen pada 2023.
Sementara pada tahun 2024, IMF memperkirakan masih akan lambat pertumbuhannya. Airlangga menyebutkan, hal itu terjadi karena faktor cuaca. Di beberapa wilayah sumber utama padi di Jawa Barat, seperti Karawang dan Subang, sebagian terendam air. Selain itu, pengaruh suku bunga yang tinggi di tingkat global dan ruang kegiatan fiskal yang lebih sempit.
Baca Juga: Sejumlah Faktor secara Simultan Dorong Inflasi
Dalam memitigasi transmisi dari kenaikan harga komoditas global ataupun risiko domestik, kata Airlangga, pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun Bank Indonesia dalam wadah TPIP-TPID harus terus melakukan berbagai upaya ekstra untuk menjaga pencapaian inflasi tetap terkendali.
”Harga beras meningkat dan salah satu inflasi yang tertinggi faktornya harga beras. Maret dan April merupakan musim panen. Tentu tidak ingin pada saat produksi beras rendah harganya tinggi dan ada saat panen harga turun. Nantinya akan kehilangan nilai tukar petani dan inflasi. Hal ini perlu dijaga agar nilai tukar petani bisa baik dan nilai inflasi terkendali,” ujarnya.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat inflasi umum bulanan pada Februari 2023 tercatat 0,16 persen secara bulanan, lebih rendah dari Januari yang sebesar 0,34 persen. Beras menjadi komoditas pemicu tertinggi inflasi umum bulanan Februari 2023, dengan sumbangan inflasi mencapai 0,08 persen.
Untuk memitigasi potensi peningkatan harga pangan dan tarif angkutan memasuki bulan Ramadhan dan Idul Fitri 2023, beberapa program akan dilakukan, antara lain melalui pemantauan harga kebutuhan bahan pokok, mengoptimalkan pelaksanaan operasi pasar atau bazar pasar murah untuk komoditas pangan strategis, memastikan kelancaran distribusi, serta melakukan sinergi pengawasan baik untuk pangan maupun energi.
”Kami menargetkan inflasi di 2023, yaitu 3,6 persen, ini menjadi pondasi kuat menghadapi ketidakpastian perekonomian 2023 dan 2024. Kerja sama menjadi kunci untuk penanganan melalui program gerakan nasional pengendalian inflasi pusat,” ujarnya.
Deputi I Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ferry Irawan menyampaikan, langkah strategis yang ditempuh guna menjaga inflasi adalah dengan menjaga inflasi komponen volatile food, terutama pada hari besar keagamaan sehingga inflasi berada dalam kisaran 3-5 persen.
”Yang tidak kalah pentingnya adalah ketersediaan data pasokan. Apabila ada kenaikan harga, kesalahannya di mana, apakah dari pasokan yang kurang atau dari distribusi sehingga ketersediaan data pasokan menjadi hal krusial dibandingkan data harga,” ujarnya.
Strategi Ramadhan
Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional I Gusti Ketut Astawa mengutarakan, produksi beras pada 2023 diperkirakan mencapai 31 juta ton. Kebutuhannya antara 30 juta ton, sementara kebutuhan per bulan mencapai 2,5 juta ton.
”Saya ingin tekankan, posisi pangan untuk menghadapi bulan Ramadhan dan Lebaran secara umum aman. Namun, ada beberapa hal yang perlu diwaspadai, seperti curah hujan tinggi. Hal itu bisa menghambat prediksi kami, bisa saja berkurang atau surplus dari data yang kami miliki,” katanya.
Pada Ramadhan dan Lebaran tantangannya adalah harga. Menurut Ketut, strategi untuk jangka pendek akan dilakukan penguatan gerakan pangan murah serta distribusi dari daerah surplus ke daerah defisit dengan pengawasan. Sementara dalam jangka panjang, pihaknya sedang mempersiapkan peraturan sistem distribusi karena selama ini kelemahannya tidak ada data pada tingkat distributor.
”Contohnya minyak goreng. Di hulu sudah banyak mencurahkan DMO (kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri)-nya, bahkan lebih, tetapi di hilir harganya tinggi. Selama ini kami mengatur di tingkat hulu dan hilir, tetapi di tengah tidak diatur. Ke depannya kami akan mengatur margin penjualan dan pengangkutan. Minimal akan tahu ketika harga tinggi mitigasinya lebih mudah,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga akan mengatur penguatan legalitas harga pangan dengan menyusun harga pokok pembelian pemerintah untuk beras dan menata harga eceran tertinggi di tingkat hilir. Kolaborasi menjadi hal penting karena pihaknya tidak bisa bekerja sendiri dalam mengendalikan inflasi. Perlu tindak lanjut ke depannya dan tidak hanya gerakan saja.
Baca Juga: Beras Jadi Pemicu Inflasi Februari 2023