Pasar properti menghadapi tantangan akibat kenaikan suku bunga kredit dan inflasi. Langkah dan strategi diperlukan untuk menggarap pasar perumahan yang dinilai masih potensial.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
KOMPAS/MADINA NUSRAT
Rumah sederhana dan bersubsidi menjadi unit utama yang dipasarkan perumahan The Leaf, Desa Cibunar, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, seperti tampak pada Selasa (10/11/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Laju inflasi dan kenaikan suku bunga kredit menjadi tantangan bagi konsumen dan pelaku industri properti. Pengajuan kredit pemilikan rumah atau KPR menjadi semakin sulit jika konsumen berstatus karyawan kontrak atau terlilit pinjaman daring.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi pada Februari 2023 mencapai 5,47 persen secara tahunan, naik dibandingkan bulan sebelumnya yang 5,28 persen. Inflasi bulan lalu dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti mulai masuknya masa panen, curah hujan tinggi, dan bencana banjir di sejumlah wilayah. Selain itu, turunnya harga bahan bakar avtur, kebijakan suku bunga Bank Indonesia (BI), serta kenaikan tarif cukai rokok 10 persen sejak awal tahun.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Real Estat Broker Indonesia (AREBI) Lukas Bong, Rabu (1/3/2023), berpendapat, kenaikan suku bunga kredit pemilikan rumah dan tingkat inflasi berpotensi menekan pembelian rumah. Meski demikian, masih ada beberapa bank yang menawarkan tingkat suku bunga kredit yang menarik.
Ia menilai, kebutuhan rumah masih sangat besar dan potensi ini perlu digarap. Pascapandemi, ada kecenderungan konsumen mulai melirik hunian yang dekat pusat kota atau terintegrasi dengan pusat transportasi (TOD). Penjualan apartemen di pusat kota atau apartemen berkonsep TOD yang lesu di masa pandemi diprediksi mulai bergeliat tahun ini.
Di sisi lain, konsumen milenial yang mendominasi pasar properti perlu menghindari pinjaman daring (pinjol) untuk kebutuhan konsumtif. Riwayat pinjaman daring cenderung berdampak menyulitkan akses kredit pemilikan rumah (KPR) atau kredit pemilikan apartemen (KPA).
”Pinjol memengaruhi kriteria kelayakan pinjaman dari bank. Riwayat pinjol menyebabkan pengajuan kredit rumah oleh konsumen kerap ditolak karena dianggap tidak layak (kredit) bank,” kata Lukas saat dihubungi pada Rabu (1/3).
Sebelumnya, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Real Estat DKI Jakarta Arvin F Iskandar berpandangan, persyaratan pengajuan KPR kini cenderung semakin ketat sehingga menyulitkan masyarakat untuk bisa memiliki rumah. Di saat bersamaan, tekanan ekonomi menyebabkan sebagian konsumen terlilit utang pinjol sehingga mengalami penolakan kredit. Selain itu, pekerja beralih status dari karyawan tetap menjadi kontrak juga sulit mengakses pembiayaan.
Pihaknya berharap solusi kebijakan berupa relaksasi pembiayaan untuk menggerakkan industri properti tanpa mengurangi mitigasi risiko. Pertumbuhan sektor properti diyakini menggerakkan perekonomian nasional.
Sekarang pengajuan KPR banyak ditolak karena calon debitur terlilit utang pinjaman daring.
”Kalau dulu pengajuan KPR banyak ditolak karena kartu kredit, sekarang pengajuan KPR banyak ditolak karena calon debitur terlilit utang pinjaman online. Belum lagi kesulitan konsumen yang statusnya berubah dari karyawan tetap menjadi kontrak akibat kondisi perusahaan,” ungkap Arvin, dalam keterangan pers, pada temu anggota REI DKI Jakarta ”Relaksasi Kebijakan Vs Mitigasi Perbankan Paska Endemi untuk Kebangkitan Industri Properti”, di Jakarta, Selasa (28/2/2023).
Wakil Ketua DPD REI DKI Jakarta Bidang Pembiayaan dan Perpajakan David Iman Santosa mengemukakan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan perbankan perlu melakukan identifikasi persoalan lapangan yang terus berubah. Pihaknya meminta pemegang otoritas terus berkoordinasi sehingga bisa menghasilkan terobosan berupa relaksasi pembiayaan yang tepat bagi pertumbuhan bisnis properti. ”Jangan (justru) sampai menghambat (kredit), tetapi tetap dalam koridor memitigasi risiko yang ada,” ujar David.
Prinsip kehati-hatian
Menurut Peneliti Eksekutif (Deputi Direktur) Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Woro Kusumaningrum, OJK tetap memberikan dukungan terhadap pengembangan sektor properti dari sisi suplai dan permintaan agar lebih optimal dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian. Risiko kredit hingga kini relatif terkendali.
KOMPAS/ALIF ICHWAN (AIC)
Pengunjung mencari informasi di salah satu stan pameran perumahan bertajuk Indonesia Properti Expo (IPEX) 2019 di Hall Adan B Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (3/2/2019).
Dukungan terhadap sektor properti di antaranya melalui Peraturan OJK Nomor 27/2022 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Beleid itu menyebut tidak ada larangan bagi bank untuk menyalurkan kredit atas pengadaan atau pengolahan tanah terhadap pengembang. Hal ini dengan tetap memperhatikan manajemen risiko, termasuk menghindari spekulasi.
Woro menilai, perkembangan kredit properti pascapandemi Covid-19 dari sisi suplai dan permintaan terus menunjukkan pemulihan. Dari sisi suplai, kredit sektor real estat per Januari 2023 tumbuh 18,6 persen secara tahunan. Dari sisi permintaan, kredit properti tumbuh 7,38 persen secara tahunan. Adapun kredit bermasalah (NPL) sektor real estat tercatat 2,02 persen dan kredit properti 2,29 persen.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Yati Kurniati menyebutkan, BI telah mengeluarkan beberapa kebijakan relaksasi lewat kebijakan insentif makroprudensial untuk menggerakkan sektor properti. Kebijakan itu, antara lain, berupa pelonggaran rasio pinjaman terhadap nilai (LTV) properti dan penghapusan ketentuan pencairan bertahap properti inden.
Pemimpin Divisi Manajemen Produk Konsumer PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Teddy Wishadi, menyebutkan, BNI terus menjalankan strategi guna tetap menjaga pertumbuhan bisnis properti di masa endemi. Di antaranya, fokus ekspansi pada segmen pasar primer, baik untuk calon debitur berpenghasilan tetap (fixed income) maupun tidak tetap (non-fixed income). Selain itu, simplikasi proses kredit dan inovasi terhadap fitur dan harga.