Semangat kolaborasi sedang dibangun di korporasi, tetapi pada saat yang sama terpaksa terjadi pemutusan hubungan kerja. Marabahaya pun mengancam perusahaan. Karyawan sendiri-sendiri cari selamat sehingga tujuan perusahaan terabaikan. Kultur perusahaan bisa runtuh. Semua berawal dari penilaian karyawan yang tidak tepat.
Pembahasan soal ini makin menghangat ketika pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di berbagai tempat. Saat ini departemen sumber daya manusia tentu disibukkan oleh tolok ukur yang digunakan untuk menentukan mereka yang layak tetap di perusahaan dan mereka yang harus berpisah. Salah satu yang disorot adalah penggunaan ranking dan distribusi normal untuk menentukan mereka yang harus terkena PHK.
Raksasa media sosial Meta dilaporkan menilai ribuan pekerja teknologinya berkinerja di bawah standar. Peringkat kinerja rendah dianggap masuk komunitas teknologi yang terkena PHK. Ada juga karyawan yang terpotong bonusnya. Meta benar-benar akan melakukan penghematan dan tidak akan merekrut tenaga perekayasa hingga 30 persen dalam tahun mendatang.
Sebelum PHK, sekitar 10 persen karyawan dinilai berkinerja buruk oleh manajemen Meta. Perkiraan itu mendekati kenyataan. Dalam sebuah memo kepada stafnya, CEO Meta Mark Zuckerberg mengumumkan, pada November 2022 ia akan merumahkan 11.000 orang, mewakili sekitar 13 persen dari tenaga kerjanya. Harapannya, dengan PHK itu mereka bisa menekan pengeluaran perusahaan.
Baca juga : Sikap Baru Karyawan
Akan tetapi, cara-cara pengelompokan itu menjadi sorotan. Laman Fast Company membahas soal ini dari pendekatan sejarah. Dari tahun 1981 hingga 2001 CEO GE Jack Welch memopulerkan apa yang kemudian dilihat sebagai pendekatan manajemen yang ”buka-bukaan” dan ”kewirausahaan”. Perintahnya cukup jelas: beri peringkat pada setiap karyawan, lalu pecat 10 persen kelompok terbawah.
Praktik yang kemudian dikenal sebagai ”peringkat dan membunuh”, ”kurva vitalitas”, atau ”peringkat tumpukan”, akhirnya ditinggalkan oleh manajemen GE. Alasan mereka, pemimpin SDM internal menemukan praktik tersebut gagal menangkap potensi masa depan, melukai moral, dan tidak meningkatkan kinerja.
Para peneliti menemukan bahwa pembahasan kinerja karyawan berbasis peringkat sering gagal mengubah cara orang bekerja. Pengukuran kinerja dengan cara itu memunculkan ketidakpuasan terhadap proses penilaian. Hingga berakibat pada ketidakpuasan kerja secara umum, menyebabkan komitmen pada organisasi lebih rendah, dan meningkatkan niat karyawan untuk berhenti dari perusahaan.
Pembahasan kinerja karyawan berbasis peringkat sering gagal mengubah cara orang bekerja. Pengukuran kinerja dengan cara itu memunculkan ketidakpuasan terhadap proses penilaian.
Kasus pemeringkatan ini pernah terjadi di Microsoft. Bertahun-tahun mereka meminta setiap manajer untuk menyusun peringkat karyawan. Akan tetapi, pekerja Microsoft memberontak. Mereka menyebut praktik itu sebagai proses paling merusak di perusahaan. Selama ini pemeringkatan mengarahkan karyawan untuk bersaing satu sama lain daripada bersaing dengan perusahaan lain. Microsoft akhirnya menghentikan sistem peringkat itu pada tahun 2013.
Kritik lebih tajam terhadap sistem ini menyebutkan, pemeringkatan menciptakan mentalitas ”kita versus mereka”. Pendekatan semacam ini bukanlah pendekatan kepemimpinan yang sehat atau berkelanjutan. Jack Welch telah salah. Seorang pengamat mengatakan, ”Dia adalah pria yang kami pikir luar biasa sebagai seorang pemimpin, tetapi sebenarnya dia memimpin berdasarkan rasa takut.”
Baca juga: Hidup dan Mati Perusahaan Teknologi
Ilustrasi
Dalam salah satu edisinya, Financial Times juga menyoroti masalah ini dan mengatakan, cara itu tidak hanya terasa tidak adil bagi karyawan, tetapi juga sangat tidak nyaman bagi para manajer. ”Apa yang sulit adalah ketika Anda memiliki orang-orang yang memenuhi ekspektasi dengan nilai 3, tetapi karena ada begitu banyak yang mendapat nilai 1, 2, dan 3, ada tekanan untuk memberi mereka nilai 4 dan menempatkan mereka untuk sebuah peningkatan karier,” ujar salah satu mantan manajer di perusahaan besar.
Di banyak organisasi, manajer menetapkan nilai sementara kemudian membahas distribusi keseluruhan dalam rapat moderasi dengan manajer lain. Namun, mereka sulit untuk secara obyektif memeringkat orang-orang dalam pekerjaan profesional yang melakukan hal berbeda. ”Anda akan memiliki orang-orang yang duduk di ruangan yang hampir tidak mengenal satu sama lain, membandingkan apel dengan pir,” kata seorang manajer kedua di perusahaan yang berbeda dalam tulisan itu.
Cara itu tidak hanya terasa tidak adil bagi karyawan, tetapi juga sangat tidak nyaman bagi para manajer.
Sejumlah manajer menginformasikan bahwa pada akhirnya mereka mempermainkan sistem. Mereka akan menempatkan orang-orang yang baru saja bergabung dengan tim di kelompok terbawah karena mereka lebih mudah untuk dikorbankan. Sebaliknya, mereka mencoba mempertahankan karyawan dengan kinerja yang buruk sehingga mereka dapat menempatkan mereka di bawah dan melindungi orang lain. Suasana menjadi tidak sehat.
Lalu, bagaimana mengatasi persoalan ini? Kita perlu mencontoh respons dari eksekutif Microsoft. Seperti yang dilaporkan Seattle Times, pada 12 November 2013 Kepala Sumber Daya Manusia Microsoft Lisa Brummel menulis sebuah surat elektronik ke karyawan. Isi suratnya: Tidak ada lagi kurva yang mengelompokkan karyawan. Kami akan berinvestasi dalam bentuk dana untuk penghargaan yang besar, tetapi tidak ada lagi target distribusi yang ditentukan sebelumnya. Manajer dan pemimpin akan memiliki fleksibilitas mengalokasikan penghargaan dengan cara yang paling mencerminkan kinerja tim mereka dan kinerja individu.