Teknologi dinilai membuka banyak peluang untuk mengatasi problem regenerasi petani dan tantangan ketahanan pangan di masa depan. Problem kesejahteraan petani perlu dipecahkan untuk menarik minat generasi muda.
Oleh
Mis Fransiska Dewi
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) Tani Asri GWKP di kompleks Griya Wana Karya Permai, Bubulak, Bogor, membersihkan rumput, Minggu (27/2/2022). Lahan pertanian KWT itu jadi salah satu percontohan penerapan Smart Farming KWT di Jawa Barat.
JAKARTA, KOMPAS — Menghadapi tantangan global yang makin kompleks, penguasaan teknologi dinilai menjadi hal yang mutlak dilakukan, khususnya terkait ketahanan pangan. Regenerasi petani di dalam negeri menjadi salah satu problem kusut yang belum terurai guna menghadapi tantangan itu sekaligus mengejar ketahanan pangan. Teknologi bisa jadi bagian solusinya.
Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Marsudi Wahyudi Kisworo, berpendapat, masyarakat petani terus berkurang karena regenerasi petani belum berhasil. Tak sedikit masyarakat yang menganggap petani merupakan kasta paling rendah.
”Ketika seorang anak petani ditanya keinginannya menjadi petani, dari 100 orang hanya tiga orang yang ingin jadi petani. Hanya 3 persen yang mau jadi petani. Petani yang ingin anaknya jadi petani hanya 70 persen dan banyak petani yang tidak menginginkan menantunya jadi petani,” ujarnya dalam diskusi Geliat Ketahanan Pangan Indonesia 2023 di Jakarta, Senin (27/2/2023).
Marsudi menilai, saat ini petani di Indonesia belum sejahtera. Petani bahkan tidak ingin anaknya menjadi petani. Mereka lebih memilih membelikan sepeda motor anaknya agar menjadi pengemudi ojek daring yang penghasilannya bisa lebih dari Rp 3 juta per bulan. Hal itu jadi pilihan karena antara beban kerja dan upah yang didapatkan petani tidak seimbang. Menurut dia, penghasilan rata-rata petani Indonesia kurang dari Rp 2 juta per bulan.
Menurut Marsudi, solusi atas problem itu adalah memaksimalkan penggunaan teknologi. Dengan teknologi, kebutuhan lahan serta tenaga manusia bisa ditekan sehingga produktivitas meningkat. Pertanian akan menjadi lebih bergengsi dengan menggunakan teknologi.
Ia mencontohkan inovasi di sektor hulu pertanian untuk menciptakan bibit tanaman yang tahan perubahan cuaca. Dengan rekayasa genetik, produksi padi yang biasanya hanya 6 ton per hektar bisa meningkat menjadi 12 ton per hektar. Selain itu, proses budidaya dengan smart farming (pertanian cerdas) menggunakan drone dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Drone dapat menyebarkan pupuk, sementara teknologi lain bisa digunakan untuk mengendalikan air dengan menggunakan pipa yang dikendalikan oleh sensor. Selain itu, saat ini sudah ada teknologi pemanen hujan. Intinya, keterbatasan manusia dan alam dapat diatasi dengan teknologi. Dengan demikian, anak muda nantinya tidak perlu malu lagi jadi petani.
”Bercita-citalah menjadi petani modern dengan menggunakan teknologi, big data, AI, robot, dan lainnya untuk pertanian. Anak muda tidak lagi membawa cangkul, tetapi gawai,” katanya.
Lima tahun ke depan, BRIN akan fokus pada pertanian, mulai dari benih, teknologi penyimpanan, teknologi pengolahan, hingga teknologi konsumsi dibuat sederhana sehingga bisa langsung digunakan oleh masyarakat. Dalam jangka panjang, pola kemitraan dengan petani perlu dilakukan penyesuaian.
Menurut Marsudi, pemerintah telah membuat program Makmur yang melibatkan badan usaha milik negara (BUMN) untuk memajukan usaha dan kesejahteraan rakyat petani. Namun, program tersebut relatif baru sehingga belum banyak petani yang bergabung. Dari sekitar 26 juta petani, baru sekitar 300.000 petani yang tergabung.
”Saya tidak setuju subsidi untuk petani. Yang harus dilakukan ada jaminan harga jual. Percuma subsidi pupuk kemudian harganya jatuh. Pupuk tidak usah disubsidi karena jadi tidak tepat sasaran. Belum lagi diselewengkan,” katanya.
Selain itu, pangan dengan harga murah juga akan membuat petani selalu miskin. Harga pangan harus mahal. Pemerintah dapat membeli dengan harga yang baik dan memberikan ke masyarakat dengan harga murah.
Sebar penyuluh
Guna memudahkan penggunaan teknologi di masyarakat, Septalina Pradini dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Kementerian Pertanian mengatakan, Kementerian Pertanian telah menyebar penyuluh pertanian yang siaga di setiap kecamatan. Para petani dapat berkonsultasi langsung mendatangi badan penyuluh pertanian.
Mereka menyuluh dengan bahasa yang mudah diterima oleh petani. Petani juga didorong untuk bekerja sama dengan pihak lain. ”Kami mendukung terciptanya iklim pertanian yang sehat karena berhubungan dengan hajat hidup orang banyak,” ujarnya.
Diskusi Geliat Ketahanan Pangan Indonesia 2023 di Jakarta, Senin (27/2/2023).
Penasihat Asia Centre Nukila Evanty mengungkapkan, petani milenial saat ini masih sekadar slogan. Pemerintah harus menyiapkan pendampingan dan pelatihan keterampilan agar usaha petani milenial dapat berkelanjutan. Dengan demikian, anak muda melihat masa depan yang baik ketika menjadi petani.
”Anak muda harus punya harapan dengan menjadi petani yang mapan dan mandiri sesuai dengan minatnya. Selama ini petani milenial hanya jargon. Perlu digaungkan agar banyak yang tertarik. Pemerintah sekadar memenuhi kalau Indonesia sudah menjalankan program petani milenial kemudian redup lagi,” ujarnya.
Petani milenial, kata Nuki, harus terprogram dan sistematis. Ada kewajiban pemerintah untuk mengalokasikan sejumlah anggaran untuk program mentoring. ”Saya belum lihat petani milenial menjadi arus utama dan hanya untuk menjawab kebutuhan sesaat. Buka ruang agar anak muda mudah menyampaikan pendapat. Perlu aksi dan strategi nasional,” katanya.