Sejumlah Kebijakan Bawa Risiko Ekonomi Lanjutan
Risiko ekonomi lanjutan akan bergulir di tengah meredanya hambatan ekonomi global. Pemerintah diharapkan mengelola risiko itu dengan baik agar tidak membebani masyarakat dan pelaku usaha atau industri.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kebijakan yang digulirkan pemerintah dan otoritas moneter dinilai membawa beban atau risiko ekonomi lanjutan. Kebijakan-kebijakan itu antara lain terkait utang, kenaikan suku bunga acuan, burden sharing, dan pengendalian harga pangan.
Beberapa kebijakan itu muncul untuk mengatasi krisis akibat pandemi Covid-19 dan imbas pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia. Sebagian lagi dicetuskan untuk mengatasi kenaikan harga sejumlah komoditas pangan pokok, terutama minyak goreng dan beras.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, penambahan utang selama pandemi Covid-19 otomatis menambah beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setelah pandemi mereda. Rasio utang dan beban bunga utang per tahun meningkat tajam sehingga mempersempit ruang fiskal.
”Akibatnya manuver kebijakan anggaran jadi terbatas. Padahal masih ada tantangan inflasi dan kemiskinan yang perlu dihadapi,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (22/2/2023).
Kementerian Keuangan mencatat, utang pemerintah per akhir Desember 2019 Rp 4.779,28 triliun dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) 29,8 persen. Per akhir Desember 2022 utang pemerintah membengkak menjadi Rp 7.733,99 triliun dengan rasio utang terhadap PDB 39,57 persen.
Adapun bunga utang yang harus dibayar pemerintah pada 2023 sebesar Rp 441,4 triliun atau sekitar 14,5 persen dari total belanja negara 2023. Anggaran tersebut melonjak sekitar 60,2 persen dibandingkan pada 2019 atau sebelum pandemi Covid-19 yang sebesar Rp 275,5 triliun.
Rasio utang dan beban bunga utang per tahun meningkat tajam sehingga mempersempit ruang fiskal. Akibatnya manuver kebijakan anggaran jadi terbatas. Padahal masih ada tantangan inflasi dan kemiskinan yang perlu dihadapi.
Baca juga: Menyiagakan Jangkar dan Sekoci Ekonomi
Kebijakan lain yang dikeluarkan pemerintah untuk menghadapi krisis akibat pandemi adalah burden sharing (berbagi beban). Kebijakan tersebut digulirkan pemerintah pada 2020 hingga 2022.
Tahun ini, pemerintah membakukan kebijakan ini dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). UU PPSK memberikan mandat kepada Bank Indonesia (BI) untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) jangka panjang di pasar perdana jika terjadi krisis.
Baca juga: Kewenangan BI Membeli SBN di Pasar Perdana Perlu Diperjelas
Menurut Bhima, kebijakan itu berisiko menambah jumlah uang beredar, menciptakan inflationary risk (pengurangan kekuatan daya beli rupiah akibat meningkatnya inflasi), dan mengikis independensi BI. Apalagi dengan munculnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker), burden sharing mendapatkan legitimasi.
”Perppu Ciptaker itu menyebutkan Indonesia berada dalam kondisi kritis. Jika perppu tersebut disahkan, bisa jadi ada pembenaran melanjutkan burden sharing,” katanya.
Selain utang dan burden sharing, kenaikan suku bunga acuan BI juga membawa beban ekonomi lanjutan. Sejak Agustus 2022, BI telah menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate 225 basis poin (bps). Kenaikan suku bunga acuan itu memengaruhi kenaikan suku bunga kredit perbankan. Per Januari 2023 suku bunga kredit mencapai 9,25 persen, naik 31 bps dibandingkan pada Juli 2022.
Baca juga: Para ”Pejuang KPR” Pun Makin Pusing
Bhima berpendapat, kenaikan suku bunga kredit perbankan akan menahan ekspansi pelaku usaha dan konsumen. Contohnya, konsumen di sektor properti akan mempertimbangkan mengajukan kredit pemilikan rumah karena suku bunga mengambang (floating rate) naik.
Oleh karena itu, pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait perlu mengelola risiko ekonomi lanjutan tersebut. Hal itu penting agar tidak membebani masyarakat dan pelaku usaha atau industri di dalam negeri.
Sebelumnya, Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan, hambatan perekonomian Asia mulai mereda sehingga membuka jalan pemulihan yang lebih kuat. Kendati begitu, masih ada risiko efek putaran kedua atau setelah sejumlah kebijakan domestik diambil untuk meredam dampak sebelumnya (Kompas, 21/2/2023).
Kenaikan suku bunga kredit perbankan akan menahan ekspansi pelaku usaha dan konsumen.
Baca juga: Hambatan Ekonomi Asia dan RI Mereda
Sektor pangan
Di sektor pangan, kebijakan lama yang digulirkan pemerintah menyisakan persoalan. Tak hanya itu, kebijakan baru yang digulirkan juga berbuntut masalah.
Pada awal tahun lalu, pemerintah mengeluarkan kebijakan minyak goreng murah untuk rakyat seharga Rp 14.000 per liter. Harga tersebut berlaku baik untuk minyak goreng kemasan sederhana maupun premium. Selisih harga pasar dengan harga yang ditetapkan pemerintah itu akan disubsidi dari dana pungutan ekspor sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Dalam rapat dengar pendapat di Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat pada 14 Februari 2023, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey menyatakan, pemerintah memiliki utang subsidi selisih harga minyak goreng terhadap 31 peritel. Total utang yang belum dibayarkan Rp 344 miliar.
”Utang itu berasal dari selisih harga keekonomian minyak goreng dengan harga jual yang ditetapkan pemerintah pada awal tahun lalu,” katanya.
Penerapan kebijakan kewajiban memasok kebutuhan pasar domestik (DMO) dalam bentuk minyak goreng curah dan kemasaan yang kini masih berlanjut juga berbuntut masalah. Di saat pasar ekspor lesu, produsen minyak goreng harus menanggung tambahan beban biaya produksi dan logistik akibat imbas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga menyatakan, eksportir sekaligus produsen Minyakita harus menutup kerugian Rp 4.000-Rp 6.000 per liter. Kerugian itu terutama berasal dari biaya pengemasan dan distribusi dari pabrik ke distributor dan agen.
Persoalan lain terkait kebijakan perberasan juga mengemuka. Pemerintah mengeluarkan kebijakan harga atas dan bawah pembelian gabah atau beras. Untuk harga batas bawah gabah kering panen (GKP) di tingkat petani, ditentukan Rp 4.200 per kg, sedangkan harga batas atas GKP tersebut Rp 4.550 per kg.
Ketua Himpunan Kelompok Tani Indonesia (HKTI) Kabupaten Demak Hery Sugiartono menilai, harga batas atas dan bawah GKP di tingkat petani yang ditetapkan pemerintah itu dapat merugikan petani. Idealnya, harga batas bawah GKP di tingkat petani saat ini minimal Rp 5.000 per kg.
”Harga ideal tersebut sudah mempertimbangkan harga pokok produksi yang meningkat akibat kenaikan harga BBM dan pupuk,” kata Hery ketika dihubungi dari Jakarta, Rabu.
Baca juga: Ketentuan tentang Harga Pembelian Dinilai Rugikan Petani