Pasokan Pekerja Terampil Teknologi Masih Sangat Kurang
Sebanyak 84 persen pemberi kerja di Indonesia menyatakan ingin mengisi pos-pos pekerjaan yang mensyaratkan keterampilan digital. Namun, 86 persen di antaranya mengaku kesulitan menemukan talenta yang mereka butuhkan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
ARSIP KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam acara Demoday Inkubasi Usaha bertajuk “Connecting Pentahelix, Build Networking, dan Infuse Smart Solution Technology to The Society” di Denpasar, Bali, Sabtu (12/11/2022), mengajak para talenta kreatif Indonesia, termasuk mereka yang sudah berkarier di dunia digital tingkat internasional, untuk bersama-sama mengelola potensi ekonomi digital di Tanah Air.
Permintaan pekerja berketerampilan teknologi digital diyakini akan makin tinggi pada tahun-tahun mendatang. Ini didukung oleh sektor bisnis, organisasi publik, dan lembaga pemerintahan yang tengah melakukan transformasi digital untuk operasional layanan. Permasalahannya, masih terdapat kesenjangan kebutuhan dan ketersediaan tenaga kerja kompeten.
Sesuai dengan laporan riset Asia Pacific Digital Skills Study: The Economic Benefits of a Tech-Savvy Workforce yang dirilis baru-baru ini oleh Amazon Web Services (AWS) dan konsultan manajemen Gallup, 84 persen pemberi kerja di Indonesia menyatakan ingin mengisi pos-pos pekerjaan yang mensyaratkan keterampilan digital. Akan tetapi, 86 persen di antaranya mengaku kesulitan menemukan talenta yang mereka butuhkan.
Riset itu menggunakan 1.412 pekerja dan 348 pemberi kerja yang berlokasi di Indonesia. Mereka berlatar belakang organisasi bisnis, publik, dan lembaga pemerintahan. Survei dalam jaringan (daring) dilakukan pada 2–23 Agustus 2022.
Sementara total responden yang disurvei di sembilan negara, termasuk Indonesia, mencapai 16.000 pekerja dan 7.500 pemberi kerja.
Di tataran Asia Pasifik, laporan itu menyebutkan bahwa lebih dari tiga perempat pemberi kerja menawarkan lowongan pekerjaan yang memerlukan keterampilan teknologi digital. Sebanyak 72 persen mengaku ”kesulitan” dan 25 persen mengaku ”sangat kesulitan” mendapatkan pekerja dengan kompetensi teknologi digital yang sesuai.
Salah satu faktor penyebabnya sebenarnya datang dari syarat mutlak yang mereka tetapkan sendiri, yakni pekerja teknologi digital harus memiliki gelar sarjana, bahkan untuk posisi pemula. Hanya 27 persen pekerja digital di kawasan Asia Pasifik memiliki gelar sarjana teknologi informasi. Kondisi di Indonesia pun relatif sama. Sekitar 50 persen organisasi di Indonesia lebih memilih pelamar dengan gelar sarjana terkait dengan teknologi informasi.
”Pemberi kerja di kawasan Asia Pasifik masih berkutat dengan masalah kekurangan talenta digital terampil. Semakin tinggi keinginan mempercepat transformasi atau mengadopsi teknologi digital terbaru, semakin tinggi kebutuhan pekerja berkompeten di bidang teknologi digital, dan semakin lebar kesenjangan dengan suplai tenaga kerja terampil,” ujar Head of Learning and Development Asia Pasifik Gallup Purva Hassomal, Rabu (22/2/2023), di Jakarta.
Dalam riset itu, Gallup-AWS mengelompokkan tiga tingkatan keterampilan teknologi digital, yaitu dasar, menengah, dan tinggi. Keterampilan dasar mencakup, antara lain, penggunaan surat elektronik, pengolah kata, media sosial, dan perangkat lunak penunjang produktivitas kerja. Keterampilan menengah meliputi, antara lain, desain laman dengan template, memperbaiki masalah pada aplikasi, dan analisis data. Adapun keterampilan tinggi melingkupi, seperti arsitektur atau pemeliharaan komputasi awan, pengembangan aplikasi, kecerdasan buatan, dan pembelajaran mesin.
”Hal positif dari riset ini adalah sudah muncul kesadaran pemberi kerja untuk menerima kandidat yang mengantongi sertifikat kursus pelatihan teknologi digital sebagai pengganti gelar sarjana. Kami menduganya karena pemberi kerja mengejar percepatan adopsi digital,” kata Purva.
Laporan Glints (platform penemuan karier) bertajuk Hiring in 2023: Where Employers Are Hunting for Talent in Southeast Asia juga menyoroti kekurangan tenaga kerja terampil teknologi digital. Di Indonesia, masalah ini semakin diperparah karena mayoritas talenta terampil itu berbasis di Jakarta.
Dari 63 perusahaan rintisan bidang teknologi yang Glints survei, 35 persen di antaranya akan memperlambat perekrutan mereka dalam enam bulan ke depan karena mereka memangkas biaya dan menghemat dana. Meski demikian, Co-Founder dan Country Manager Glints Steve Sutanto meyakini, hal itu tidak akan memengaruhi permintaan pekerja terampil teknologi digital.
”Permintaan pekerja terampil teknologi digital akan selalu ada, terlepas dari tahapan dan kematangan suatu perusahaan,” ujarnya.
Laporan Glints itu menyebutkan, keterampilan rekayasa perangkat lunak atau software engineer termasuk salah satu yang populer dicari oleh pemberi kerja di Indonesia, Singapura, China, dan Vietnam. Alasannya, pemberi kerja di negara itu sedang fokus mengejar pengembangan bisnis dan penjualan.
Laporan riset Bank Dunia dan McKinsey pernah menyebut, dalam kurun waktu 2015–2030, Indonesia membutuhkan 9 juta talenta digital atau 600.000 orang per tahun. Sementara lulusan perguruan tinggi dengan spesifik Jurusan Teknologi Informasi sekitar 180.000 orang per tahun.
Menyikapi isu itu, di Indonesia sudah lama berkembang pelatihan-pelatihan keterampilan digital dasar-tinggi. Para pekerja dan calon pekerja telah menyadari tren transformasi digital yang terjadi di kalangan pemberi kerja dari berbagai sektor bisnis, layanan publik, dan lembaga pemerintahan.
CEO Dicoding (platform edukasi teknologi) Narenda Wicaksono menceritakan, sebagian peserta kelas pelatihan kode pemrograman di Dicoding berasal dari pekerja yang ingin beralih karier menjadi pekerja terampil teknologi digital.
”Separuh peserta kelas berlatar belakang pelajar dan separuh umum, termasuk pekerja yang ingin switching karier. Memiliki keterampilan teknologi digital saat ini menjadi nilai tambah (daya saing) bagi pekerja,” ujarnya. Total lulusan Dicoding mencapai sekitar 300.000 orang dan semuanya terserap industri.
Narenda juga sepakat bahwa isu gelombang pemutusan hubungan kerja di sejumlah start up tidak memengaruhi signifikan perekrutan angkatan kerja yang terampil di bidang teknologi digital. Sebab, kebutuhan pekerja dengan keterampilan seperti itu cukup besar, termasuk dari institusi layanan publik dan usaha kecil menengah yang mengandalkan pemasaran digital.
”Karena teknologi digital berkembang cepat, orang-orang yang ingin belajar keterampilan teknologi digital perlu memiliki pola pikir bertumbuh, selain literasi (mau membaca) dan kemampuan (matematika). Jadi, selalu ada peserta pelatihan yang tidak lulus sampai kelas akhir,” ujarnya.