Harga pembelian pemerintah untuk gabah/beras tidak beranjak kendati inflasi dan ongkos produksi yang harus dibayar petani terus naik tiga tahun terakhir. Situasi itu mengancam ketahanan pangan di masa depan.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Slamet (50) menyunggi bibit padi varietas Memberamo yang disemaikan pada media tanam dengan tanah ladu di Desa Jaten, Juwiring, Klaten, Jawa Tengah, Jumat (2/12/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan harga pembelian gabah dan beras yang diterapkan pemerintah dinilai berisiko menggerus motivasi sekaligus regenerasi petani. Sebab, sebagai instrumen untuk melindungi petani, harga batas bawah pembelian pemerintah ditetapkan lebih rendah dibandingkan ongkos produksi.
Dengan situasi itu, insentif usaha yang diterima petani berpotensi makin tertekan. Selain menekan kesejahteraan petani, minimnya insentif usaha bakal menyurutkan minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian. Dalam jangka panjang, situasi itu mengancam ketahanan pangan nasional.
Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional menerbitkan Surat Edaran Nomor 47/TS.03.03/K/02/2023 tentang Harga Batas Atas Pembelian Gabah atau Beras yang akan berlaku mulai 27 Februari 2023. Dalam surat itu, harga batas atas gabah kering panen (GKP) di tingkat petani ditetapkan Rp 4.550 per kilogram (kg).
Adapun harga batas bawah pembelian gabah/beras mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah atau Beras. Sesuai regulasi ini, harga pembelian pemerintah (HPP) GKP di tingkat petani ditetapkan Rp 4.200 per kg. Sejumlah organisasi petani menilai HPP sudah tidak relevan karena ongkos produksi terus naik.
Hasil survei Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), misalnya, mencatat ongkos produksi padi pada tahun 2019 mencapai Rp 4.523 per kg GKP. Seiring dengan naiknya harga input usaha tani, ongkos produksi padi naik menjadi Rp 5.667 per kg GKP pada September 2022.
Selain lebih rendah dibandingkan ongkos produksi, insentif usaha yang dinikmati petani menipis karena harga barang kebutuhan terus naik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, indeks konsumsi rumah tangga petani, sebagai salah satu komponen nilai yang dibayar, naik dari 105,13 pada Januari 2020 menjadi 115,85 pada Januari 2023. Laju kenaikan indeks konsumsi rumah tangga petani selama tiga tahun tersebut sebesar 10,19 persen.
Menurut Ketua Departemen Pengkajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) Mujahid Widian, kenaikan harga gabah belum cukup untuk mengakomodasi inflasi yang dihadapi petani sebagai konsumen. Insentif dan kesejahteraan petani pun turun. ”Akhirnya, banyak generasi muda yang tidak mau jadi petani karena melihat kesejahteraan petani tidak terjamin. Pemerintah seharusnya sadar bahwa penyedia pangan nasional yang utama adalah petani, bukan korporasi,” katanya saat dihubungi, Rabu (22/2/2023).
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti berpendapat, harga pembelian gabah/beras yang lebih rendah dibandingkan inflasi dapat menggerus daya beli pelaku usaha tani yang sebagian besar merupakan buruh tani. Oleh karena tidak menguntungkan, lapangan kerja di sektor pertanian makin ditinggalkan generasi muda. Petani pun cenderung tak mau anaknya menjadi petani karena tekanan itu.
Apabila regenerasi petani tidak berjalan, kata Esther, produksi pangan nasional berpotensi turun. Hal ini berisiko bagi negara karena meningkatkan ketergantungan Indonesia pada pangan impor. Oleh sebab itu, dia mempertanyakan kebijakan harga gabah/beras yang cenderung menekan petani.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Buruh panggul mengusung beras dari atas truk ke gudang penyimpanan milik pedagang di Pasar Dargo, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (22/2/2023).
”Rantai pasok beras di Indonesia semestinya bisa lebih adil. Petani menjadi pihak yang paling tidak diuntungkan karena nilai tambah yang dinikmati petani paling sedikit. Di sisi lain, keuntungan bagi distributor dan pedagang lebih besar,” katanya.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan, harga batas atas dan bawah tersebut sudah memperhitungkan laju inflasi yang dihadapi petani sebagai konsumen. Menurut Arief, harga gabah tidak boleh berada di atas Rp 6.000 per kg karena dapat menyebabkan inflasi beras di tingkat konsumen. Harga batas atas penting untuk mencegah terjadinya lonjakan harga akibat perebutan gabah di lapangan.
Belum efisien
Adapun harga batas bawah berfungsi sebagai pelindung petani. ”Apabila harga gabah berada lebih rendah dibandingkan batas bawah, Bulog perlu membelinya dengan harga Rp 4.200 per kg. Harga batas atas dan bawah ini sudah merupakan keseimbangan yang wajar dari hulu ke hilir. Kalau harga gabah mencapai Rp 7.000 per kg, apakah konsumen siap membeli beras seharga Rp 15.000 per kg,” tuturnya saat dihubungi.
Dalam mengendalikan harga beras yang berorientasi pada rantai pasok yang adil bagi setiap pelaku, Esther berpendapat, efisiensi distribusi juga perlu ditingkatkan. Pengawasan dan penerapan sanksi secara tegas mesti diperkuat. ”Pemerintah bisa menghitung biaya transportasi dan distribusi sehingga profit dapat terbagi secara adil dan efisien kepada setiap pelaku. Jangan hanya berani menekan petani, tetapi pemerintah juga harus bersikap tegas terhadap distributor yang malah menyimpan beras dan mengeluarkannya saat harga melambung,” katanya.
Tak hanya inflasi yang dihadapi petani sebagai konsumen, Mujahid juga menggarisbawahi tingginya biaya produksi yang ditanggung petani saat ini. Biaya-biaya itu meliputi upah tenaga kerja yang berkisar Rp 120.000-Rp 150.000 per hari, sewa peralatan Rp 1,5 juta, sewa lahan sudah di atas Rp 4 juta per hektar, serta ongkos panen Rp 3 juta per hektar. Di sejumlah daerah, ada tambahan berupa biaya angkut.
Dengan tingginya biaya-biaya tersebut, Ketua Umum SPI Henry Saragih mengatakan, pemerintah perlu menjamin harga yang layak dan sesuai dengan nilai yang ditanggung petani. Hingga beras sampai di konsumen, pemerintah juga perlu mengontrol rantai distribusinya.