Komite Ahli Organisasi Perburuhan Internasional Soroti Polemik Cipta Kerja
Komite Ahli Penerapan Konvensi dan Rekomendasi Organisasi Buruh Internasional menyoroti dinamika yang mewarnai perjalanan Undang-Undang Cipta Kerja. Pemerintah diminta memeriksa masukan dan kekhawatiran pekerja.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komite Ahli Penerapan Konvensi dan Rekomendasi Organisasi Buruh Internasional atau ILO, dalam laporan Application of International Labour Standards 2023, turut menyoroti dinamika yang mewarnai perjalanan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Komite itu meminta Pemerintah Indonesia untuk memeriksa masukan dan kekhawatiran yang diungkapkan oleh serikat pekerja di hadapan Dewan Tripartit Nasional.
CEACR merupakan badan independen yang terdiri atas 20 ahli hukum nasional dan internasional tingkat tinggi yang bertugas memeriksa penerapan konvensi, protokol, dan rekomendasi ILO oleh negara anggota ILO.
CEACR mencatat observasi Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Internasional (ITUC) terhadap dinamika Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
CEACR menerima laporan ketiganya pada 31 Agustus serta 2 dan 6 September 2021. Beberapa isi pengamatan yang diterima komite adalah regulasi itu dikhawatirkan membatasi partisipasi mogok yang sah, ruang lingkup perundingan bersama yang secara khusus bagi pekerja di usaha mikro dan kecil, serta risiko antiserikat yang lebih besar.
Dalam laporan yang sama, CEACR menyebut telah mengikuti perkembangan keputusan Mahkamah Konstitusi Indonesia pada 25 November 2021 agar UU Cipta Kerja direvisi. Oleh karena itu, CEACR meminta Pemerintah Indonesia memastikan kesesuaian penuh proses revisi itu dengan konvensi ILO. Pemerintah Indonesia diminta transparan atau dengan kata lain memberikan informasi secara terbuka terhadap proses revisi, salinan, dan terjemahan dari revisi UU setelah diadopsi.
”Pemerintah Indonesia perlu memeriksa masukan ataupun keprihatinan yang diungkapkan serikat pekerja di hadapan Dewan Tripartit Nasional,” tulis CEACR ILO dalam laporan Application of International Labour Standards 2023.
Selain menyoal UU Cipta Kerja, untuk Indonesia, CEACR ILO juga menyoroti isu pekerja anak. Misalnya, sejauh mana Indonesia mematuhi ketentuan pembatasan usia minimal, penanganan masalah pekerja anak di sektor domestik, sampai sektor perkebunan kelapa sawit.
Sebelumnya, pada Mei 2020, ILO juga mengirimkan memo menanggapi penyusunan rancangan UU Cipta Kerja. ILO memberikan beberapa catatan. Sebagai contoh, ruang untuk konsultasi tripartit yang lebih dalam dan efektif, penyerahan kebijakan ketenagakerjaan yang dinilai sangat signifikan kepada pemerintah, dan pendekatan yang diambil kurang transparan terhadap isu- isu penting keamanan sosial-ekonomi jutaan pekerja Indonesia.
Sementara itu, kalangan buruh dan sejumlah pihak di dalam negeri menyoroti dinamika UU Cipta Kerja yang telah berganti menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Perkembangan terbaru, Badan Legislasi (Baleg) DPR telah menyetujui Perppu Cipta Kerja menjadi UU.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti mengatakan, persetujuan Baleg DPR belum berarti Rapat Paripurna DPR menyetujui Perppu Cipta Kerja menjadi UU. Persetujuan Baleg DPR bersifat parsial.
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi menyebutkan, dalam beberapa kasus, RUU yang sudah disetujui dalam pembicaraan tingkat I atau Baleg DPR tidak jadi dibawa atau gagal disahkan pada tahap pembicaraan tingkat II atau Rapat Paripurna DPR, seperti RUU Organisasi Kemasyarakatan.
Sementara Muhammad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), bersikap sebaliknya. ”Apakah maju menggugat Perppu Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi adalah pilihan yang tepat? Apakah Mahkamah Konstitusi masih bisa dipercaya, sebab sudah ada pencopotan mendadak hakimnya oleh DPR?” ujarnya saat konferensi pers ”Cabut Perppu Cipta Kerja Segera” di Jakarta, Minggu (19/2/2023).
Pandangan senada disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar. Menurut dia, pemerintah sudah saatnya membuka peluang dialog sosial dengan semua serikat pekerja/buruh, bukan hanya perwakilan yang duduk di Dewan Tripartit Nasional. Itu pun jika pemerintah masih ada keinginan baik.
Beberapa substansi dalam Perppu Cipta Kerja yang akan diturunkan jadi peraturan pemerintah butuh dialog dengan pekerja. Misalnya, soal pekerjaan alih daya. Perppu Cipta Kerja membatasi sebagian pekerjaan alih daya, tetapi Timboel memandang penjelasan detail jenis pekerjaan harus ada.
”Jangan jenis pekerjaan alih daya dilepas begitu saja. Alih daya seharusnya diarahkan ke pekerjaan yang bersifat penunjang. Pemerintah bersama industri dan serikat harus duduk bersama menentukan jenis pekerjaan penunjang apa yang bisa dialihdayakan,” katanya.
Timboel menambahkan, substansi lain yang butuh dibuka ke publik adalah kriteria kondisi yang membuat pemerintah bisa menetapkan formula upah minimum. Jika pemerintah tidak transparan, hal seperti itu berpotensi menimbulkan ketidakpastian.
Dalam siaran pers, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi meyakini Perppu Cipta Kerja dapat menjadi solusi Indonesia di tengah ketidakpastian ekonomi global. Selain itu, Perppu Cipta Kerja juga diyakini mampu menjadi payung hukum bagi pengembangan investasi serta menciptakan lapangan kerja.
”Kita harus melihat bahwa Perppu Cipta Kerja adalah sebuah ikhtiar untuk mencari solusi dalam mengantisipasi dampak dinamika global dan kepastian hukum,” katanya.