Ketidakpuasan publik terhadap pengendalian harga mencerminkan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap rantai distribusi bahan pangan, seperti beras dan minyak goreng, serta penerapan sanksi jika melanggar.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah dalam perekonomian berkorelasi dengan tren kenaikan indeks harga konsumen atau inflasi. Oleh sebab itu, komoditas pangan yang berpotensi menyebabkan harga bergejolak, seperti beras dan minyak goreng, diwaspadai.
Survei Litbang Kompas yang dipublikasikan Senin (20/2/2023) menunjukkan, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi sebesar 53,5 persen pada Januari 2023. Angka itu lebih rendah dibandingkan dengan posisi pada Januari 2022 yang mencapai 64,8 persen. Pada awal tahun ini, ketidakpuasan publik tertinggi di bidang ekonomi mengemuka dari aspek pengendalian harga barang dan jasa yang mencapai 55,7 persen.
Hasil tersebut diolah dari survei terhadap 1.202 responden yang dipilih secara acak di 38 provinsi di Indonesia. Survei berlangsung pada 25 Januari-4 Februari 2023.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, menilai, ketidakpuasan publik tersebut berkaitan dengan kenaikan harga beras. Beras merupakan komoditas yang berpengaruh signifikan dalam pergerakan inflasi. ”Harga komoditas pangan (penyumbang inflasi) yang naik pada awal tahun lalu hanya minyak goreng. Awal tahun ini, harga beras dan minyak goreng naik,” katanya saat dihubungi, Senin (20/2/2023).
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, inflasi pada Januari 2023 mencapai 5,28 persen dibandingkan dengan bulan yang sama tahun sebelumnya. Pada Januari 2023, inflasi bulanan beras mencapai 2,34 persen dengan andil 0,07 persen. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi bulanan beras pada Januari 2022 yang sebesar 0,94 persen dengan andil 0,03 persen.
Pusat Informasi Harga Pangan Strategis mencatat, rata-rata nasional harga beras medium di tingkat pasar tradisional per Senin (20/2/2023) berkisar Rp 13.050-Rp 13.200 per kilogram (kg). Harga ini lebih tinggi dibandingkan dengan posisi pada awal 2022 yang senilai Rp 11.550-Rp 11.750 per kg ataupun akhir tahun yang sebesar Rp 12.450-Rp 12.600 per kg. Angka-angka tersebut juga berada di atas harga eceran tertinggi (HET) beras medium di tingkat konsumen yang ditetapkan sebesar Rp 9.450-Rp 10.250 per kg Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 57 Tahun 2017.
Kemampuan Perum Bulog menyerap gabah/beras dari dalam negeri menentukan pengendalian harga beras sepanjang 2023.
Menurut Rusli, kenaikan harga tersebut disebabkan keterlambatan pemerintah dan Perum Bulog dalam memperkuat cadangan beras pemerintah (CBP) sepanjang 2022. Serapan beras dalam negeri Perum Bulog sepanjang 2022 tak mencapai target sebanyak 1,2 juta ton. Oleh sebab itu, kemampuan Bulog menyerap gabah/beras dari dalam negeri menentukan pengendalian harga beras sepanjang 2023.
Tak hanya ketersediaan CBP, lanjut Rusli, pengawasan terhadap distribusi beras juga mesti diperkuat untuk menyokong upaya pengendalian harga. ”Dalam hal ini, Satuan Tugas (Satgas) Pangan harus memastikan tidak ada pihak yang bermain dalam distribusi beras. Selain itu, Tim Pengendali Inflasi Daerah di tingkat provinsi juga mesti memantau pergerakan harga di tingkat kabupaten/kota agar dapat mengalirkan suplai dari daerah yang surplus ke yang defisit,” katanya.
Sementara itu, anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, berpendapat, ketidakpuasan publik terhadap pengendalian harga mencerminkan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap rantai distribusi bahan pangan, seperti beras dan minyak goreng, serta penerapan sanksi jika melanggar. ”Dalam mengendalikan harga pangan, pemerintah cenderung memilih kebijakan yang menimbulkan disparitas harga. Konsekuensi pilihan kebijakan ini ialah pengawasan yang ketat,” ujarnya saat dihubungi.
Oleh sebab itu, Yeka menggarisbawahi porsi anggaran untuk mengawasi mata rantai distribusi bahan pangan, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah. Dia juga menilai, kinerja pengawasan Satgas Pangan juga tidak akan efektif dalam mengendalikan harga jika tidak ditopang anggaran yang cukup.
Padahal, lanjut Yeka, pemerintah punya opsi kebijakan lain dalam mengendalikan harga pangan. Dalam kasus minyak goreng, dia mencontohkan, pemerintah dapat menyubsidi 20 juta lebih rumah tangga miskin untuk mendapatkan komoditas pangan tersebut. Imbasnya, permintaan dari kelompok rumah tangga itu tidak masuk ke pasar sehingga harga dapat terkendali.
Di sisi lain, Peneliti Kelompok Kajian Kebijakan Makroekonomi dan Ekonomi Politik di LPEM FEB Universitas Indonesia, Teuku Riefky, mengatakan, pengendalian inflasi di Indonesia cenderung lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lainnya di tengah tekanan ekonomi global yang disebabkan oleh tingginya harga komoditas dan energi serta ketatnya tren kenaikan suku bunga bank sentral. Tingkat inflasi di sejumlah negara berada di atas Indonesia, bahkan lebih dari 10 persen. Ke depannya, pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi.
Dalam rangka pengendalian inflasi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengadakan Pertemuan Tingkat Tinggi Tim Pengendali Inflasi Pusat. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif, serta Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi tampak hadir dalam pertemuan itu.
”Menteri Keuangan tadi menyampaikan anggaran ketahanan pangan (tahun ini) mencapai Rp 104,2 triliun. Ke depannya, pemerintah dan Bank Indonesia akan bersinergi agar inflasi inti tetap berada dalam sasaran. Ini merupakan momentum untuk pemulihan ekonomi nasional sehingga inflasi yang terjaga diharapkan dapat menjadi fondasi perekonomian sepanjang 2023,” tutur Airlangga dalam konferensi pers yang diadakan secara hibrida.