Diresmikannya Sekretariat Just Energy Transition Partnership untuk Indonesia, di Kementerian ESDM, Kamis (16/2/2023), dinilai sebagai hal positif. Namun, dukungan regulasi diperlukan untuk kepastian hukum.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Sejumlah turbin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu Sidrap terlihat di salah satu dari tiga bukit di Desa Mattirosi dan Desa Lainungan, Kecamatan Watang Pulu, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, Senin (22/7/2019). Pembangkit dengan kapasitas total sebesar 75 MW ini terdiri dari 30 turbin yang masing-masing berkapasitas 2,5 MW. Pembangkit tenaga bayu komersial pertama di Indonesia ini dibangun dengan biaya sekitar 150 juta dollar AS. Bulan ini, Juli 2019, pembangkit ini genap setahun memasok kebutuhan listrik untuk masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Program kemitraan Indonesia dengan sejumlah negara maju melalui Just Energy Transition Partnership sudah dimulai dan segera disusun perencanaan investasi untuk proyek-proyek yang akan didanai. Dalam mendukung itu, Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan atau RUU EBET, yang masih dibahas, perlu segera disahkan untuk memberi kepastian regulasi bagi calon investor.
Sebelumnya, pertemuan dilakukan antara Pemerintah Indonesia, lembaga terkait, serta perwakilan negara-negara pendukung dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk Indonesia, di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Kamis (16/2/2023). Setelah pertemuan itu, diresmikan Sekretariat JETP yang berada di kantor Kementerian ESDM.
Adapun komitmen pendanaan JETP mencapai 20 miliar dollar AS, baik dalam bentuk hibah, pinjaman, maupun bantuan. Pihak-pihak terkait akan menyusun Comprehensive Investment Plan (CIP) atau perencanaan komprehensif untuk investasi yang antara lain berisi daftar proyek yang didanai selama 3-6 bulan. Pengakhiran lebih dini operasi pembangkit litrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara menjadi salah satu programnya.
Pengamat ekonomi energi yang juga dosen Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fahmy Radhi, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (19/2/2023), menilai positif hal tersebut meskipun baru tahap pembentukan sekretariat. Artinya, ada upaya serius untuk segera mendapatkan komitmen dana JETP dan implementasinya.
Namun, di sisi lain, dukungan regulasi amat penting. ”Yang mendesak ialah RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan. Apabila sudah disahkan, nanti kan ada peraturan turunannya. Sebab, yang dibutuhkan investor, selain jaminan modal kembali, ialah kepastian hukum. Jadi, UU ini diperlukan agar investor datang dan semua bisa berjalan, termasuk ’pensiun dini’ PLTU,” katanya.
Ia menambahkan, juga perlu dihitung betul hingga ditetapkan terkait bagaimana kombinasi antara hibah murni dan pinjaman lewat JETP. Dengan demikian, diharapkan sejumlah rencana dalam transisi energi bisa segera direalisasikan.
Fahmy mengemukakan, terkait penghentian operasi lebih dini PLTU, sejumlah hal berkaitan kemitraan dengan investor perlu segera dipastikan. ”Termasuk insentif, apakah insentif pajak atau yang lainnya, agar menarik bagi investor. Selama kita mampu menjamin pengembalian investasinya, pasti banyak yang akan tertarik untuk mengembangkan energi terbarukan,” ucapnya.
Adapun RUU EBET, yang masuk dalam Program Legisnasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2023, tengah dibahas Komisi VII DPR RI dan pemerintah. RUU itu ditargetkan disahkan pada tahun ini setelah target disahkan sebelum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali, November 2022, gagal tercapai.
Menteri ESDM Arifin Tasrif, dalam keterangannya, Minggu (19/2), mengatakan, pihaknya memastikan pensiun dini PLTU batubara tidak akan merugikan pemiliknya. Pasalnya, ada kompensasi yang dihitung dengan mengedepankan transparansi.
”Misalnya, (masa pengoperasian) masih tersisa 15 tahun, bisa dipercepat lagi tidak menjadi tiga tahun? Tiga tahun itu kompensasinya apa? Kami akan melihat nilainya saat ini berapa dan saat tiga tahun (mendatang) berapa? Jadi, intinya, harus ada keterbukaan berdasarkan best practice yang ada,” kata Arifin.
Di samping itu, pemerintah akan melihat lebih lanjut tentang konversi pembangkit dengan basis emisi gas rumah kaca (GRK) tinggi menjadi emisi GRK rendah, seperti mengganti pembangkit berbasis bahan bakar minyak (BBM) ke gas. Selanjutnya, dari gas, nantinya akan dikonversi menjadi pembangkit energi baru dan terbarukan.
Menurut Arifin, dalam menentukan daftar PLTU yang akan dihentikan operasinya lebih dulu, akan dilihat PLTU yang terletak di wilayah dengan produksi listrik berlebih. Artinya, PLTU sudah tak efisien dan pembakaran sudah tak sesuai dengan spesifikasi awal. ”(PLTU) yang tak efisien konsumsi bahan bakarnya pasti boros. Energi yang dihasilkan tak seoptimal seperti di awal,” ucapnya.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA
Suasana peluncuran Sekretariat Just Energy Transition Partnership Indonesia di Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jakarta, Kamis (16/2/2023). Tim dalam JETP, yang di dalamnya terdapat Pemerintah Indonesia, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), negara-negara serta lembaga pendukung akan menyusun Perencanaan Investasi Komprehensif (Comprehensive Investment Plan/CIP) dalam 3-6 bulan.
Sementara itu, dalam penghitungan Institute for Essential Services Reform (IESR), untuk mencapai puncak emisi sektor listrik pada 2030 diperlukan pengakhiran operasi PLTU dan penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan pada kurun yang sama. Adapun dalam RUPTL 2021-2030 telah tertuang tambahan 20,9 gigawatt (GW) dari pembangkit energi terbarukan.
”(Namun) selain itu, akan dibutuhkan tambahan minimal 5,4 GW kapasitas energi terbarukan. Penambahan energi terbarukan ini perlu direncanakan seiring dengan penghentian lebih dini operasi PLTU hingga 8,6 GW sehingga keandalan sistem kelistrikan bisa terjaga,” kata Manajer Program Transformasi Energi IESR Deon Arinaldo.
Menurut Deon, berkaca dari capaian energi terbarukan dalam energi primer yang hanya 12,3 persen pada 2022, pemerintah harus mampu mengatasi sejumlah hambatan dalam pengembangan energi terbarukan. Misalnya dengan dukungan pada industri lokal, perbaikan prosedur pengadaan/lelang energi terbarukan, dan mengalihkan subsidi fosil utuk energi terbarukan.
Catatan IESR, dalam lima tahun terakhir, investasi energi terbarukan selalu di bawah target. Kapasitas terpasang energi terbarukan pun hanya tumbuh 300-500 megawatt (MW) per tahun. Sementara kebutuhan penambahan pembangkit energi terbarukan mencapai lebih dari 26 GW dalam delapan tahun ke depan atau 3-4 GW per tahun.