Kalangan pekerja dan pengusaha masih berbeda pandangan terkait Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja. Mayoritas fraksi DPR setuju RUU itu dibawa ke sidang paripurna untuk disahkan jadi UU.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sejumlah aliansi buruh dan aliansi masyarakat sipil berunjuk rasa di depan Kompleks Gedung DPR/MPR, Jakarta, menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja, Selasa (10/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan pekerja dan pelaku usaha memberikan tanggapan berbeda atas langkah mayoritas fraksi di DPR RI yang sepakat membawa Rancangan Undang-undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja ke sidang paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Pemerintah dan pelaku usaha mengapresiasi langkah itu, sementara kalangan buruh cenderung mengecamnya.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Kamdani, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (16/2/2023) mengatakan, pihaknya mengapresiasi perkembangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang akan diajukan ke rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi undang-undang (UU). Landasan hukum seperti ini akan menciptakan kepastian berusaha.
“Semangat Perppu Cipta Kerja adalah untuk perbaikan iklim usaha dan investasi dengan sinkronisasi regulasi yang telah berlaku. (Selain itu, semangat perppu) Juga menyederhanakan birokrasi untuk memperluas kesempatan kerja,” ujar dia.
Kendati demikian, Shinta mengakui ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian bersama, khususnya substansi penghitungan upah minimum dan pekerjaan alih daya di kluster ketenagakerjaan. Kedua hal ini kabarnya akan didetailkan pemerintah melalui peraturan pemerintah.
“Pekerjaan rumah kita kemudian adalah pembenahan holistik atas ekosistem yang akan mendukung iklim investasi serta agenda reformasi struktural yang tercantum dalam Perppu Cipta Kerja,” kata Shinta.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Anwar Sanusi menyampaikan, Kemnaker mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang telah menyepakati RUU tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi UU. Penyempurnaan substansi ketenagakerjaan yang terkandung dalam Perppu Cipta Kerja adalah ikhtiar pemerintah dalam memberikan perlindungan adaptif bagi pekerja/buruh dalam menghadapi tantangan ketenagakerjaan yang semakin dinamis.
“Penolakan yang muncul dapat dijadikan masukan yang berharga bagi kami karena nantinya bisa diimplementasikan pada aturan turunan peraturan pemerintah,” kata Anwar.
Mengecam
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau KSPI Said Iqbal, dalam konferensi pers, mengatakan, pihaknya mengecam keras dan menolak sikap Baleg DPR RI. Sebab, keputusan Baleg DPR RI menyetujui Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan aspirasi serikat buruh/pekerja.
“Kami sebenarnya sudah menduga DPR akan menyetujui Perppu Cipta Kerja. Kami mosi tidak percaya dengan DPR sejak perumusan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kami akan melakukan aksi unjuk rasa akhir Februari 2023 di berbagai kabupaten/kota,” ujar dia.
Menurut dia, KSPI konsisten memprotes sembilan substansi kluster ketenagakerjaan yang terangkum dalam Perppu Cipta Kerja. Sebagai contoh, formula penghitungan upah minimum yang menyertakan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Di tingkat internasional, penghitungan upah minimum selalu hanya menggunakan variabel standar kebutuhan hidup layak dan makro ekonomi.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal berorasi saat unjuk rasa buruh di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, saat berunjuk rasa, Senin (7/2/2022).
Contoh lainnya, kata Said, yaitu substansi pembatasan jenis-jenis pekerjaan alih daya yang tidak tercantum eksplisit di Perppu Cipta Kerja. Padahal, pengalaman negara lain tidak demikian. Perancis dan Amerika Serikat secara terang-terangan menuliskan jumlah jenis pekerjaan di UU mereka.
“Pembatasan jenis-jenis pekerjaan alih daya seharusnya terangkum di UU. Jika, pencantumannya dilakukan lewat peraturan pemerintah akan berpotensi menciptakan perbudakan modern oleh negara (pemerintah),” kata dia.
Sebagai tindak lanjut protes, Said menyampaikan, KSPI siap mengajukan uji formil dan materiil Perppu Cipta Kerja yang akan jadi UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Senior Partner Integrity Law Firm Denny Indrayana, yang jadi kuasa hukum 13 serikat pekerja, menggugat formil Perppu Cipta Kerja ke MK, mengatakan juga akan kembali menggugat.
“Iya, kami akan ajukan permohonan baru menguji UU Cipta Kerja yang merupakan persetujuan Perppu Cipta Kerja. Concern kami relatif sama dengan sebelumnya,” kata Denny.
Dia menganggap permasalahan pada Perppu Cipta Kerja adalah proses pembentukannya yang tidak memenuhi ketentuan hal ihwal kegentingan yang memaksa berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Selain itu, penerbitan Perppu Cipta Kerja juga merupakan pelanggaran yang nyata atas Putusan MK 91/2020.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita menyayangkan mengapa pemerintah dan DPR kembali melakukan hal sama seperti saat UU No 11/2020. Menurut dia, DPR seharusnya belajar dari pengalaman. Dia memastikan serikat buruh/pekerja akan protes dan menggelar aksi usai Baleg DPR RI mengumumkan menyetujui Perppu Cipta Kerja.
“Serikat buruh/pekerja pasti akan melakukan perlawanan. Pemerintah dan DPR seharusnya belajar dari pengalaman sebelumnya (dinamika UU No 11/2020) sehingga bisa meminimalkan aksi (perlawanan kelompok pekerja). Kelompok pekerja sejak lama meminta perbaiki proses formil dan substansi dulu, libatkan pekerja, lalu dibahas di DPR bukan DPR hanya terima saja,” kata Elly yang ditemui di sela-sela pengukuhan deklarasi bipartit Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Jejaring Serikat Pekerja Buruh Sawit Indonesia (Japbusi).