Ekonomi Lebih Kondusif, Kenaikan Suku Bunga Ditahan
BI memperkirakan, ke depan rupiah akan terus menguat sejalan dengan prospek ekonomi global yang lebih baik dari perkiraan dan fundamental ekonomi domestik yang kuat. Suku bunga acuan pun ditahan di 5,75 persen.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah enam bulan berturut-turut menaikkan suku bunga acuan, Bank Indonesia akhirnya memutuskan menahan tingkat suku bunga acuan sebesar 5,75 persen. Kondisi ekonomi global dan domestik yang diperkirakan lebih kondusif membuat BI yakin tingkat suku bunga saat ini masih memadai untuk mengendalikan tekanan inflasi ke depan.
Sebelumnya, faktor ketidakpastian ekonomi global dan dampaknya pada tekanan inflasi dalam negeri membuat BI terus menaikkan tingkat suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sejak Agustus 2022.
Namun, pertumbuhan ekonomi global yang berpotensi lebih baik dari perkiraan pasca-penghapusan kebijakan Zero Covid di China serta ekonomi Indonesia yang diyakini tetap kuat sepanjang tahun ini membuat BI mempertahankan suku bunga acuan atau BI rate sebesar 5,75 persen, suku bunga deposit facility sebesar 5 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 6,5 persen pada Februari 2023.
Seiring dengan prediksi ekonomi yang membaik itu, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, ekspektasi tekanan inflasi di dalam negeri juga diperkirakan melandai tahun ini. BI memprediksi, inflasi akan kembali ke kisaran target, yakni 3,5 persen pada semester II-2023.
”Saat ini, baik inflasi inti maupun inflasi umum sudah menurun lebih cepat dan lebih rendah dari perkiraan. Dengan dasar itu, kami meyakini bahwa suku bunga saat ini sudah memadai, dalam artian, tidak perlu ada kenaikan lagi,” katanya dalam konferensi pers, Kamis (16/2/2023).
Data terbaru Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada Januari 2023, inflasi inti secara tahunan tercatat sebesar 3,27 persen, lebih rendah dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 3,36 persen. Sementara pada periode yang sama, inflasi IHK secara tahunan juga turun dari 5,51 persen ke 5,28 persen.
Penurunan inflasi itu salah satunya didorong tren apresiasi nilai tukar rupiah di awal tahun. Nilai tukar rupiah pada 15 Februari 2023 tercatat menguat 2,39 persen dari level akhir Desember 2022.
Apresiasi rupiah itu relatif lebih baik dibandingkan apresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti Filipina (0,99 persen), Thailand (0,85 persen), dan Malaysia (0,27 persen).
BI memperkirakan ke depan rupiah akan terus menguat sejalan prospek ekonomi yang membaik dan fundamental ekonomi domestik yang kuat. Penguatan rupiah didorong oleh aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik, sejalan dengan persepsi investor yang positif terhadap prospek ekonomi domestik. ”Ini akan mendorong penurunan inflasi lebih lanjut,” katanya.
Kami meyakini bahwa suku bunga saat ini sudah memadai, dalam artian, tidak perlu ada kenaikan lagi.
Perry tidak memungkiri masih ada risiko tekanan akibat perkembangan inflasi di Amerika Serikat dan Eropa yang masih relatif tinggi seiring dengan belum turunnya harga energi dan pangan serta pasar tenaga kerja yang masih ketat. Kondisi itu membuat bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), berpotensi masih menaikkan suku bunga acuan hingga mendekati titik puncak 5,25 persen.
Sepanjang 2022, The Fed telah menaikkan suku bunganya secara agresif tujuh kali sebesar 425 bps. Kondisi terbaru, The Fed menaikkan suku bunganya sebesar 4,75 persen, naik 25 bps dari bulan sebelumnya.
BI akan tetap mengantisipasi dampak kebijakan pengetatan moneter The Fed dengan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah agar inflasi impor (imported inflation) tidak berdampak pada ekonomi domestik. Salah satunya, ujar Perry, adalah dengan mengelola devisa hasil ekspor (DHE) melalui implementasi operasi moneter valuta asing (valas) DHE sesuai mekanisme pasar.
Pada Desember 2022 lalu, BI telah menerbitkan instrumen term deposit valas dengan insentif dan suku bunga kompetitif agar para eksportir tertarik menyimpan devisanya di dalam negeri ketimbang memarkirnya di negara lain seperti praktik selama ini. Dengan memaksimalkan potensi devisa hasil ekspor itu, cadangan devisa dalam negeri diyakini bisa menguat sehingga mampu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengatakan, semakin lama dan semakin banyak devisa hasil ekspor yang disetorkan di term deposit valas itu, imbal hasil dan insentif fee yang diberikan bagi eksportir dan bank bersangkutan akan lebih besar. Saat ini, BI telah mengeluarkan tiga opsi tenor term deposit valas, yakni 1 bulan, 3 bulan, dan 6 bulan. Instrumen ini akan diberlakukan mulai 1 Maret 2023.
”Jadi sifatnya ini adalah mekanisme pasar. Kalau bank bisa mencari nasabah dengan nominal (devisa) dan tenor lebih panjang, akan mendapat fee yang lebih besar, demikian juga semakin besar nominal (devisa) yang ditanamkan eksportir, semakin besar juga imbal hasilnya,” kata Destry.
BI akan tetap mengantisipasi dampak kebijakan pengetatan moneter The Fed dengan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Sudah tepat
Peneliti Kelompok Kajian Kebijakan Makroekonomi dan Ekonomi Politik di LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky mengatakan, kebijakan BI menahan kenaikan suku bunga acuan sudah sesuai dengan prediksi.
”Perkembangan terkini menunjukkan kondisi finansial dan moneter Indonesia sudah jauh lebih baik ketimbang beberapa bulan sebelumnya,” ujarnya.
Langkah BI ini juga dinilai sejalan dengan tren terkini, yakni bank sentral di sejumlah negara mulai menurunkan agresivitasnya dengan menaikkan suku bunga secara lebih perlahan.
Awal bulan ini, misalnya, The Fed memperlambat pengetatan moneternya dengan hanya menaikkan Fed Funds Rate (FFR) sebesar 25 bps setelah sebelumnya sempat menaikkan suku bunga sebesar 75 bps sebanyak empat kali dan sebesar 50 bps sebanyak satu kali sejak 2022. Agresivitas yang menurun itu juga terlihat dari langkah moneter European Central Bank (ECB) dan Bank of England (BoE).
Ia mengatakan, cadangan devisa Indonesia sebesar 139,4 miliar dollar AS pada Januari 2023 yang menyentuh level tertinggi dalam 11 bulan terakhir sudah setara dengan 6,1 bulan impor atau 6 bulan impor ditambah pembayaran utang luar negeri pemerintah. Itu jauh di atas standar kecukupan, yaitu setara tiga bulan impor.
”Besarnya cadangan devisa Indonesia ini dapat memberikan tambahan ruang kebijakan yang dapat diambil BI untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di masa mendatang,” kata Riefky.