Pendukung hari kerja nonlinier berpendapat, memberikan fleksibilitas lebih besar pada pekerja bermanfaat untuk tingkat produktivitas. Hal itu juga menciptakan fokus lebih besar pada hasil daripada aktivitas dan jam kerja
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Pada sebuah analisis di BBC Worklife, penulis lepas Alex Christian mengungkapkan kisah umum rutinitas karyawan sehari-hari. Semua berubah ketika pandemi. Bukan hanya soal kerja di kantor dan di rumah, terbentuk pula jam kerja di luar blok waktu “tiba di kantor jam 9.00 dan pulang jam 17.00”. Karyawan mulai membangun pola sendiri yang disebut waktu bekerja nonlinier.
Tulisan itu kemudian menjadi pembahasan global di kalangan para pebisnis. Mereka mengkaji ide tersebut karena banyak perusahaan tengah mencari pola kerja yang pas setelah pandemi mereda. Ada yang kembali normal seperti sebelum pandemi, tetapi ada yang tetap memberi kesempatan bekerja dari rumah.
Perusahaan juga telah melakukan berbagai uji coba agar membuat karyawan nyaman. Akan tetapi, banyak upaya tersebut yang sampai sekarang belum membuat mereka yakin soal pola kerja yang sesuai pasca pandemi.
Alex Christian memperlihatkan bahwa sejumlah karyawan membagi hari kerja mereka menjadi beberapa jam sekaligus, melakukan tugas secara fleksibel, dan menjalani sesuatu yang tidak sinkron di dunia kerja baru. Perombakan ini telah memunculkan segala macam pola kerja baru, termasuk hari kerja nonlinier. Karyawan dalam pengaturan ini dapat melakukan pekerjaan mereka di luar blok waktu kerja tradisional yang kaku. Mereka seringkali bekerja kapan pun yang menurut mereka paling cocok.
Karyawan membagi hari kerja mereka menjadi beberapa jam sekaligus, melakukan tugas secara fleksibel, dan menjalani sesuatu yang tidak sinkron di dunia kerja baru
Saat bekerja secara asinkron, yaitu pada jam kerja berbeda dengan rekan kerja, karyawan dapat menyelesaikan tugas secara fleksibel dengan fokus yang tersebar sepanjang hari atau tidak dalam jam kerja tradisional. Idenya adalah karyawan dapat membuat jadwal kerja seputar kehidupan pribadi mereka, daripada menjejalkan kehidupan ke dalam jam-jam kontrak yang tetap seperti 09.00-17.00.
Dalam beberapa dekade terakhir, hari kerja nonlinier jarang terjadi. Namun, sekarang, adopsi massal pola kerja hibrida dan bekerja di luar kantor serta jadwal yang semakin fleksibel, memungkinkan waktu kerja nonlinier lebih dapat dicapai sebagian besar tenaga kerja. Dalam beberapa kasus, pekerja sudah mempraktikkannya sampai batas tertentu bahkan tanpa disadari. Misalnya, memilih untuk fokus bekerja larut malam atau menyelesaikan proyek di pagi hari.
Ide Alex ini kemudian mendapat respons dari berbagai kalangan di dunia bisnis. Umumnya mereka melihat ide ini menarik agar membuat karyawan nyaman. Ide ini juga bisa dilakukan di tengah perusahaan mencari pola kerja terbaik untuk karyawan dibanding kembali ke pola normal seperti sebelum pandemi.
Editor Lin Grensing-Pophal dari HR Daily Advisor menulis, karyawan bisa membagi hari mereka menjadi potongan-potongan yang dijadwalkan seputar tugas, kewajiban keluarga, hobi, dan aktivitas lainnya. Semua aktivitas itu tidak perlu terfokus pada pola jam kantor dan di luar jam kantor seperti selama ini. Mereka bisa meletakkan masing-masing secara acak.
Alih-alih karyawan bekerja terus menerus dalam jadwal tradisional, sekarang mereka memiliki kemampuan untuk bekerja dalam waktu lebih singkat sepanjang hari, memanfaatkan lingkungan asinkron yang tidak mengharuskan semua orang berada di tempat yang sama, pada waktu yang sama.
Pendukung hari kerja nonlinier berpendapat bahwa memberikan fleksibilitas lebih besar kepada pekerja bermanfaat untuk tingkat produktivitas mereka. Hal itu juga menciptakan fokus yang lebih besar pada hasil daripada aktivitas dan jam kerja.
Pendukung hari kerja nonlinier berpendapat bahwa memberikan fleksibilitas lebih besar kepada pekerja bermanfaat untuk tingkat produktivitas mereka.
Namun, Lin mengungkapkan beberapa kekurangan pada waktu kerja nonlinier, terutama dalam hal kolaborasi dan pertemuan tatap muka karyawan. Sulit bagi tim untuk bekerja sama secara efektif, misalnya, ketika semua anggota tim masuk sesuai jadwal mereka sendiri.
Akan tetapi, dengan pembatas yang jelas, perusahaan dapat memanfaatkan manfaat dari hari kerja nonlinier sambil mengurangi potensi kerugiannya.
Seorang penulis, Stuart Woolley, di laman Medium mengatakan, gagasan bahwa orang bekerja paling baik dengan mengatur waktu kerja mereka sendiri, membuat jadwal mereka sendiri, pada dasarnya bekerja ketika mereka ingin bekerja. Ini bukan hal baru. Jam kerja seperti itu sebenarnya telah muncul di kalangan pengembang perangkat lunak.
Untuk waktu yang sangat lama, para pengembang telah mengalami praktik standar di tempat kerja yaitu bekerja jam 9 pagi, bekerja terus-menerus sepanjang hari, sambil selalu berpura-pura sibuk, dan pulang jam 17.00. Situasi seperti ini sangat menegangkan. Mereka harus terus-menerus waspada ketika suara sepatu manajer yang akrab mulai terdengar, siluet manajer proyek mengintai, atau bahkan CTO terlihat mengintip Anda dari seberang bilik yang penuh dengan kantor terbuka.
Di mata Stuart, hari kerja nonlinnier akan menghilangkan kekakuan manajemen dan memungkinkan karyawan menjadi lebih efisien. Namun, semua bisa terjadi bila perusahaan melonggarkan aturan dan tidak memformalkan waktu kerja. Selain itu, juga membiarkan orang-orang terbaik dan ruang lingkup bekerja dengan cara terbaik mereka. Dengan cara ini, para pekerja mendapatkan kepercayaan dan rasa hormat yang sempat dirasa lama hilang selama ini. Mereka ingin hidup tidak lagi hambar.
Hari kerja nonlinnier akan menghilangkan kekakuan manajemen dan memungkinkan karyawan menjadi lebih efisien
Alex sendiri di dalam tulisannya, mengutip Laura Giurge, asisten profesor ilmu perilaku di London School of Economics and Political Science, mengatakan, hari kerja nonlinier yang makin populer memungkinkan orang menghemat waktu perjalanan, menyelesaikan tugas administrasi selama jam produktivitas rendah, bisa lebih banyak olahraga, dan menghemat uang dengan makan masakan rumahan.