Kemunculan ChatGPT Dikhawatirkan Meningkatkan Penyebaran Hoaks
Kemunculan ChatGPT dikhawatirkan akan menambah penyebaran hoaks dan disinformasi.
JAKARTA, KOMPAS — Kemunculan chatbot berbasis kecerdasan buatan atau ChatGPT dikhawatirkan akan meningkatkan penyebaran hoaks dan disinformasi. Seruan kewaspadaan terhadap sisi negatif ChatGPT itu mulai bermunculan.
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho mengaku pernah mencobanya. Dia telah mencoba menggunakan ChatGPT dari OpenAI. Dia memasukkan beberapa pertanyaan terkait pemilu karena tenggat pemilu tinggal setahun lagi. Di antara pertanyaan-pertanyaannya dijawab keliru oleh ChatGPT.
Sebagai contoh pertanyaan ”Apakah warga negara asing bisa memiliki e-KTP dan dapat memilih di pemilu?” Lalu, ChatGPT memberikan jawaban, ”Warga negara asing tidak dapat memiliki e-KTP atau kartu tanda penduduk elektronik di Indonesia. E-KTP hanya diberikan kepada warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh pemerintah. Oleh karena itu, warga negara asing juga tidak dapat ikut serta dalam pemilu di Indonesia karena hanya warga negara Indonesia yang memiliki e-KTP yang dapat memilih.”
Jawaban yang benar, warga negara asing tertentu dan memiliki izin tinggal berhak mempunyai e-KTP. Namun, orang bersangkutan tidak punya hak masuk daftar pemilih tetap atau ikut pemilu.
”Belum ada riset khusus tentang seberapa banyak data ChatGPT bisa dipercaya. Namun, temuan kami menunjukkan masih ada sejumlah hasil ChatGPT yang keliru, bahkan gawat kalau dipercaya sebagai fakta. Sebab, hal itu bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap proses pemilu,” katanya.
Apabila ChatGPT belum tuntas belajar, lalu mengikutkan sumber situs teori konspirasi, ini semakin bisa mengamplifikasi misinformasi. Ditambah lagi, kata Septiaji, masih banyak masyarakat Indonesia belum memiliki kecukupan tingkat berpikir kritis.
Pada 2021, Kemkominfo dan Katadata Insight Center mencatat, indeks literasi digital secara nasional berada di angka 3,49. Angka ini menempatkan Indonesia dalam kategori sedang, dengan skor indeks 0–5. Kemudian, pada 2022, indeks literasi digital nasional naik tipis menjadi 3,54.
Dalam berbagai hal, ChatGPT bisa menghasilkan jawaban yang ”mengagumkan”. Ini akan berbahaya jika masyarakat tidak paham cara AI bekerja, lalu menganggap semua hasil jawaban ChatGPT pasti benar.
Hoaks di Indonesia relatif masih tinggi, yakni di atas 900 per tahun sejak 2018. Sepanjang 2020–2021, hoaks didominasi isu kesehatan. Kemudian, mulai pertengahan 2022, hoaks bertema politik kembali merangkak naik. Mafindo mengkhawatirkan, hoaks politik terus mendominasi pada 2023 karena setahun menjelang pemilu.
Menurut Septiaji, solusi mengatasi persoalan itu adalah meningkatkan kemampuan berpikir kritis, membaca informasi dari multisumber, membandingkannya, dan memilih informasi terbaik. Kelas literasi digital perlu dimasifkan sampai menghasilkan perubahan perilaku.
Chairman Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja, saat dihubungi terpisah, berpendapat, dari aspek keamanan siber dan privasi, teknologi ChatGPT akan memiliki potensi yang intrusif. Ada potensi buruk atas apa saja yang selama ini warganet input di internet dapat ChatGPT temukan.
”Hal seperti itu bisa berimplikasi ke keamanan nasional, yang dimulai dari maraknya deepfakes (kecerdasan buatan untuk memalsukan gambar) dan disinformasi,” kata Ardi.
Regulasi dipastikan tertinggal menyikapi kemunculan ChatGPT. Apalagi, dia memandang, kalangan sejumlah regulator masih melihat teknologi itu sebagai fenomena semata.
”Kami berharap, emerging technologies perlu dimasukkan dalam regulasi, termasuk Rancangan Peraturan Pemerintah Perlindungan Data Pribadi (RPP PDP). Jika tidak, regulasi PDP berpotensi 'mandul',” ujar Ardi.
Penelitian
Baca Juga: Tangkal Hoaks, Ormas Diharapkan Aktif Sosialisasikan Pemilu
The New York Times melalui artikel Disinformation Researchers Raise Alarms About A.I. Chatbots (8/2/2023) menuliskan, segera setelah ChatGPT memulai debutnya tahun lalu, para peneliti di dunia menguji apa yang akan ditulis oleh chatbot kecerdasan buatan ini setelah ditanyai pertanyaan yang dibumbui dengan teori konspirasi dan narasi palsu. Hasil pengujian cukup meresahkan.
Arvind Narayanan, profesor ilmu komputer di Princeton, telah mengajukan beberapa pertanyaan dasar kepada ChatGPT tentang keamanan informasi yang dia ajukan kepada siswa dalam sebuah ujian. Chatbot menanggapi dengan jawaban yang terdengar masuk akal, tetapi sebenarnya tidak.
Menurut Narayanan, hal yang paling berbahaya adalah orang tidak tahu kapan jawaban yang diberikan ChatGPT salah. Dia pun sampai harus melihat kembali referensi-referensi yang dimiliki.
”ChatGPT akan menjadi alat yang paling ampuh untuk menyebarkan informasi yang salah yang pernah ada di internet. Membuat narasi palsu baru sekarang dapat dilakukan dalam skala dramatis dan lebih sering, seperti memiliki agen kecerdasan buatan yang berkontribusi terhadap disinformasi,” kata Gordon Crovitz, Co-chief Executive dari NewsGuard, sebuah perusahaan yang melacak informasi yang salah secara online dan melakukan percobaan bulan lalu.
Bekerja dari bulan lalu, NewsGuard menggunakan sekitar 100 sampel narasi palsu dari sebelum 2022 karena ChatGPT dilatih sebagian besar pada data hingga 2021. NewsGuard meminta chatbot itu untuk menulis konten yang memajukan klaim kesehatan berbahaya tentang vaksin, meniru propaganda dan disinformasi dari China ataupun Rusia.
Teknologi itu menghasilkan tanggapan yang tampak berwibawa, tetapi sering kali terbukti tidak benar. Banyak yang dipenuhi dengan frasa yang populer di kalangan penjual informasi yang salah, seperti ”lakukan penelitian Anda sendiri” dan ”tertangkap basah”, bersama dengan kutipan dari studi ilmiah palsu dan bahkan referensi kebohongan yang tidak disebutkan dalam petunjuk aslinya. Peringatan, seperti mendesak pembaca untuk ”berkonsultasi dengan dokter Anda atau profesional perawatan kesehatan yang berkualifikasi”, biasanya terkubur di bawah beberapa paragraf informasi yang salah.
ChatGPT diperkirakan telah mencapai 100 juta pengguna aktif bulanan hanya dalam dua bulan setelah diluncurkan. Ini menjadikannya aplikasi konsumen dengan pertumbuhan tercepat dalam sejarah.
Miliuner Mark Cuban, seperti dikutip oleh CNBC (12/2/2023), mengatakan, informasi yang salah secara daring hanya akan menjadi lebih buruk karena ChatGPT terus berkembang dan menyebar.
Di media sosial belakangan populer fenomena mengunggah kesalahan sederhana chatbot. ChatGPT kadang-kadang salah menjawab soal Matematika, menolak menjawab teka-teki dasar, serta mengarang tokoh sejarah, peristiwa, dan detail lain yang tampak seperti fakta.
Microsoft mengakui bahwa teknologi di balik ChatGPT tidak sempurna — bahkan ketika berencana untuk memasukkannya ke dalam versi mendatang dari mesin pencarinya, Bing.
Mengutip Reuters (14/2/2023), OpenAI menyatakan, pihaknya tidak ingin ChatGPT digunakan untuk tujuan yang menyesatkan di sekolah atau di mana pun. Perusahaan telah mengembangkan mitigasi untuk membantu siapa pun mengidentifikasi teks yang dihasilkan.
Baca Juga : Artificial Intelligence, a Threat to Journalism?