Serapan Tenaga Kerja Rendah, Vokasi Perlu Lebih Terarah
Tak cukup menunggu terobosan pemerintah, industri perlu berinisiatif mengembangkan sumber daya manusia. Dunia usaha pun meluncurkan pusat kajian dan agregator untuk mendorong strategi pengembangan SDM yang terarah.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesenjangan antara investasi yang tinggi dan minimnya penciptaan lapangan kerja perlu diatasi dengan pendidikan vokasi berbasis kompetensi yang terarah dan dipusatkan di wilayah pusat pertumbuhan industri tertentu. Pemetaan arah kebijakan yang lebih terarah dan berbasis kajian krusial untuk menjawab tantangan dunia industri di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Dalam 10 tahun terakhir, nilai investasi yang masuk ke Indonesia terus meningkat, tetapi penciptaan lapangan kerja yang dihasilkan masih minim, bahkan trennya terus menurun. Sebagai perbandingan, pada tahun 2013, investasi senilai Rp 1 triliun masih bisa menyerap hingga 4.594 tenaga kerja. Pada 2021 dan 2022, investasi dengan nilai yang sama hanya bisa menyerap 1.340 orang dan 1.081 orang.
Sementara itu, realisasi investasi tahunan meningkat signifikan dalam periode yang sama. Investasi naik 126 persen dari Rp 398,6 triliun pada 2013 menjadi Rp 901,2 triliun pada 2021. Pada 2022, investasi naik 33 persen secara tahunan menjadi Rp 1.207,2 triliun. Selama pandemi, tepatnya pada 2020, investasi bahkan mampu tumbuh positif kendati hanya naik tipis, sebesar 2 persen.
CEO PT Tira Austenite Tbk Selo Winardi, perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dan distribusi, menilai, penyerapan tenaga kerja yang rendah itu salah satunya disebabkan oleh masalah klasik kegagalan link and match atau tidak selarasnya pendidikan vokasi dengan dunia industri. Lulusan vokasi yang diharapkan siap masuk dunia kerja kerap tidak sesuai dengan kebutuhan industri.
”Link and match ini konsep yang sudah lama sekali, tetapi antara dunia usaha dan pendidikan selalu salah-menyalahkan. Sekolah dan perguruan tinggi tidak tahu apa yang dibutuhkan dunia industri, pengusaha juga tidak memberi masukan,” katanya dalam diskusi panel peluncuran Apindo Business and Industry Learning Center (Abilec), Senin (13/2/2023).
Menurut Selo, perlu ada revitalisasi pendidikan vokasi, yang sifatnya terarah atau berbasis lokasi. Kurikulum pendidikan vokasi tidak bisa dipukul rata untuk semua wilayah. Di setiap sentra industri tertentu diperlukan lembaga pendidikan vokasi dan pelatihan ketenagakerjaan yang desain kurikulumnya selaras dengan kebutuhan industri di wilayah tersebut.
Pemerintah dan asosiasi pengusaha tidak bisa hanya diam, tetapi ikut memetakan jenis usaha, jumlah perusahaan, serta kebutuhan di wilayah tersebut. Hal ini semakin mendesak di tengah pesatnya kebijakan hilirisasi industri yang sedang didorong pemerintah. Investasi bersifat padat modal membuat persaingan pencarian kerja semakin ketat dengan standar kompetensi yang semakin tinggi.
”Misalnya, di sentra industri batubara, harus ditambah dan diperluas unit pendidikan dan pelatihan tenaga kerja yang ada di situ sesuai kebutuhan. Begitu pula di sentra industri sawit, nikel, dan sebagainya. Selain itu, dipetakan juga mana perusahaan yang bersifat demand, mana yang bersifat supply, supaya jelas identifikasi dan kolaborasi yang bisa dicapai,” ujarnya.
Link and match ini konsep yang sudah lama sekali, tetapi antara dunia usaha dan pendidikan selalu salah-menyalahkan.
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, saat ini terdapat 14.295 sekolah menengah kejuruan (SMK), 2.136 perguruan tinggi vokasi, serta 6.479 lembaga pelatihan vokasi di bawah Kementerian Ketenagakerjaan, yang tersebar di banyak daerah.
”Beberapa lembaga sudah mulai membuka diri, mengundang kita (pengusaha) untuk memberi masukan. Hal-hal seperti ini perlu diakselerasi supaya semua mendapat benefit. Manufaktur mendapat kontrak yang pasti dengan tenaga kerja yang andal. Masyarakat yang baru lulus pun punya kesempatan lebih luas untuk mendapat pekerjaan setelah kuliah,” kata Selo.
Tak perlu menunggu
Presiden Direktur PT Komatsu Indonesia Pratjojo Dewo Sridadi, yang juga penasihat di Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi), menambahkan, setiap industri menghadapi tantangan yang berbeda dalam pemenuhan sumber daya manusia (SDM). Bahkan, dalam satu sektor industri yang sama pun kebutuhannya bisa berbeda, bergantung pada skala industri tersebut.
”Di industri alat berat, misalnya, kebutuhan tier 1 dan 3 itu bisa sangat berbeda. Umumnya industri tier satu atau pabrik principal (pemegang merek) itu tidak terlalu bermasalah, tetapi struktur industri itu, kan, juga terdiri dari industri kecil-menengah (IKM) di tier bawah, yang butuh lebih banyak dukungan karena problemnya lebih banyak,” katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, tak cukup hanya menunggu kebijakan dari pemerintah, dunia industri perlu mengambil inisiatif untuk mengembangkan SDM-nya. Ia mencontohkan, di industri alat berat, perusahaan tier 1 yang punya kapasitas finansial dan SDM lebih baik, diminta memberikan pembekalan kepada mahasiswa semester akhir selama beberapa bulan sebelum menempatkan mereka di industri tier 2 dan 3 dengan mentor yang ditugaskan khusus dari pabrik tier 1.
”Ini perlu diimbau ke semua industri, ayo berinvestasi untuk masa depan tenaga kerja. Perusahaan yang merasa kuat dan mampu, sediakan pembekalan dan uang saku bagi para pekerja baru itu, lalu terjunkan ke IKM yang membutuhkan. Menurut saya, ini bisa ditempuh untuk menjembatani kebutuhan, ketimbang kita terus menunggu juklak dari pemerintah,” kata Dewo.
Dalam kesempatan yang sama, Apindo meluncurkan Apindo Business and Industry Learning Center (Abilec) untuk mendorong transformasi industri, menjawab kebutuhan pengembangan SDM, mengefektifkan program link and match, serta membangun akses kerja sama antara berbagai pemangku kepentingan. Dalam menjalankan programnya, Abilec akan bekerja sama dengan Institut IBIMA.
Tak cukup menunggu kebijakan dari pemerintah, dunia industri perlu mengambil inisiatif untuk mengembangkan SDM-nya.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, kajian atas strategi pengembangan SDM melalui Abilec menjadi bagian dari upaya dunia usaha mendukung pemetaan arah kebijakan industrial yang lebih terarah dan berbasis kajian. Ia menilai, arah kebijakan industri saat ini lebih banyak diambil berdasarkan pertimbangan politik semata ketimbang berbasis kajian.
Akhirnya, pertumbuhan ekonomi dan investasi selalu hanya tinggi di atas kertas, tetapi tidak berkualitas karena tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang banyak. ”Kebijakan industri kita ini masih lemah, kebijakan yang keluar tergantung dari siapa yang membisikkan apa kepada pengambil keputusan. Ini tidak sehat,” katanya.