Perkuat Perlindungan Masyarakat, Pemerintah Revisi UU Perkoperasian
Setidaknya ada tiga hal yang akan direvisi di UU Perkoperasian, yakni pembentukan otoritas pengawas koperasi, skema penjaminan nasabah koperasi, dan pembentukan semacam induk usaha untuk membagi beban keuangan koperasi.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
ARSIP KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM
Tim Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah mengunjungi KSP Sejahtera Bersama di Bogor, Jawa Barat, Kamis (11/8/2022), untuk memastikan proses pembayaran utang kepada para anggota koperasi terus dilakukan sesuai putusan PKPU.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana merevisi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian untuk meningkatkan pengawasan aktivitas koperasi dan perlindungan masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang ingin direvisi, yakni pembentukan Otoritas Pengawas Koperasi, skema penjaminan nasabah koperasi, dan pembentukan semacam induk usaha atau koperasi sekunder untuk membagi beban keuangan koperasi.
Saat ditemui wartawan seusai menemui Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (8/2/2023), Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki menyatakan, UU Perkoperasian akan direvisi agar penjahat perbankan tidak pindah ke koperasi. ”Karena, saat ini, aturan koperasi simpan pinjam masih lemah,” ujarnya.
Teten menjelaskan, dalam UU Perkoperasian saat ini, pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi koperasi. Hal ini yang kemudian menjadi celah yang dimanfaatkan pelaku kejahatan keuangan untuk beroperasi.
Oleh karena itu, kata Teten, melalui revisi UU Perkoperasian, pihaknya akan mengusulkan pembentukan Otoritas Pengawas Koperasi (OPK). Badan otonom baru ini diusulkan untuk pengawasan koperasi. Selain itu, pihaknya mengusulkan agar diciptakan skema penjaminan perlindungan nasabah koperasi seperti halnya nasabah perbankan yang simpanannya dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Menurut Teten, tidak adil kalau nasabah perbankan dilindungi, sementara koperasi tidak dilindungi. ”Nanti akan ada LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) untuk koperasi. Ini menjadi penting,” ujarnya.
Pihaknya juga mendorong skema Apex pada koperasi simpan pinjam yang mengalami kesulitan likuiditas/keuangan. Jadi, koperasi-koperasi ini diarahkan untuk bergabung dalam sebuah induk koperasi atau koperasi sekunder. Ini agar koperasi memiliki alternatif pendanaan ketika sedang kesulitan dana.
Jadi, misal ada koperasi A, B, C, lalu membentuk semacam induk atau holding, ini disebut koperasi sekunder. Ketika koperasi A butuh dana untuk nasabah Rp 1 miliar tetapi hanya punya uang Rp 800 juta, maka Rp 200 juta bisa ditalangi dulu oleh koperasi sekunder. Ini dibentuk untuk membagi risiko keuangan dari koperasi.
”Jadi perlunya skema Apex ini seperti di industri perbankan. Kalau bank kekurangan likuiditas, mereka bisa pinjam dulu. Hal ini juga akan diberlakukan di koperasi,” ujar Teten.
Kementerian Koperasi dan UKM akan menjadikan UU Perkoperasian sebagai agenda prioritas tahun 2023.
Lebih jauh, Teten menjelaskan, pihaknya akan menjadikan UU Perkoperasian sebagai agenda prioritas tahun 2023 untuk disahkan. Pihaknya juga sudah melakukan harmonisasi regulasi dan segera mendorong hal ini untuk dibahas Badan Legislasi DPR supaya ini masuk di Program Legislasi Nasional.
Ia juga berharap dengan disahkanya UU Perkoperasian yang baru dapat mendorong koperasi di Indonesia agar dapat tumbuh dengan pesat. ”Perkembangan koperasi di dunia sangatlah pesat. Saya berkeinginan koperasi itu masuk ke semua sektor, bukan hanya di sektor ekonomi marjinal, bukan hanya yang mikro,” kata Teten.
Sampai 2 Februari 2023, terdapat 130.363 koperasi yang aktif dengan aset mencapai Rp 281 triliun dan volume usaha mencapai Rp 197,8 triliun. Adapun jumlah anggota koperasi mencapai 35,26 juta.
UU P2SK
Saat dihubungi terpisah, Kamis (9/2/2023), pengamat koperasi yang juga Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto menyayangkan revisi UU Perkoperasian tidak sekalian dimasukkan ke dalam UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Padahal, UU No 4/2023 soal P2SK itu bersifat sapu jagat mengubah belasan UU di sektor keuangan, mulai dari perbankan, pasar modal, asuransi, dan lain-lain.
Namun, tidak sampai substansial merevisi UU Perkoperasian. ”Kenapa kemarin tidak sekalian memasukkan revisi UU Perkoperasian dalam UU P2SK? Kenapa harus revisi terpisah?” ujar Suroto.
Ia juga menyayangkan, UU P2SK tidak sekalian memasukkan pasal penjaminan nasabah koperasi oleh LPS. Padahal, dalam UU P2SK pun menambah fungsi LPS sebagai penjamin nasabah asuransi.
Usulan pembentukan skema penjaminan nasabah atau anggota koperasi seperti halnya nasabah bank dengan LPS itu, kata Suroto, sudah dikemukakan sejak 20 tahun lalu. Namun, sampai hari ini juga tidak juga dijalankan.
Padahal, penjaminan dana nasabah atau anggota koperasi sangat diperlukan untuk membangun rasa percaya masyarakat akan koperasi. ”Nasabah bank dijamin LPS, tetapi nasabah koperasi tidak dijamin. Ini menciptakan ruang persaingan yang tidak seimbang antara bank dan koperasi,” ujar Suroto.