Investasi Belum Berdampak Signifikan pada Manufaktur
Indonesia belum dipandang sebagai bagian dari rantai pasok global, berbeda dengan negara tetangga, seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Jika terlibat dalam rantai pasok global, investor akan berorientasi pada ekspor.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja manufaktur cenderung tidak sejalan dengan tren pertumbuhan penanaman modal. Agar investasi dapat mendukung perkembangan manufaktur, hilirisasi sumber daya mineral dibutuhkan untuk menunjukkan potensi Indonesia terlibat dalam rantai pasok global yang berorientasi ekspor.
Sepanjang triwulan-I hingga triwulan-IV 2022, data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara kumulatif mencapai 5,31 persen. Berdasarkan lapangan usahanya, produk domestik bruto sektor industri pengolahan sepanjang 2022 mencapai Rp 3.591,77 triliun secara kumulatif dengan laju pertumbuhan 4,89 persen. Kinerja itu lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan sebelum pandemi Covid-19 atau 2019 yang sebesar 3,8 persen.
Di antara lapangan usaha lainnya, industri pengolahan menempati ranking pertama dalam nilai PDB. Meskipun demikian, andil industri pengolahan terhadap PDB cenderung menurun, apalagi jika dibandingkan dengan kinerja sebelum pandemi. Sepanjang 2022, kontribusi industri pengolahan sebesar 18,34 persen, padahal pada 2019 mencapai 19,7 persen.
Anggota Badan Anggaran DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Marwan Cik Hasan menilai, Indonesia perlu memperkuat peran industri pengolahan dalam pertumbuhan ekonomi. Dia mempertanyakan pertumbuhan investasi yang tidak berdampak signifikan pada pertumbuhan industri manufaktur. ”Konsumsi rumah tangga (dari sisi pengeluaran) tetap perlu dipertahankan sebagai penopang pertumbuhan ekonomi karena terbukti berdaya tahan saat krisis. Namun, perlu juga membuat terobosan-terobosan agar investasi yang masuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat umum yang diadakan secara hibrid, Kamis (9/2/2023).
Berdasarkan pengeluarannya, data BPS menunjukkan, komponen pembentukan modal tetap bruto sepanjang 2022 tumbuh 3,33 persen secara kumulatif. Pertumbuhan ini lebih lambat dibandingkan dengan kinerja pada 2019 yang mencapai 4,08 persen. Komponen ini terdiri dari pertumbuhan barang modal bukan bangunan serta kenaikan realisasi investasi.
Adapun data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, realisasi investasi sepanjang 2022 mencapai Rp 1.207,2 triliun atau tumbuh 34 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sebanyak 54,2 persen di antaranya merupakan penanaman modal asing yang tumbuh 54,2 persen dibandingkan dengan tahun 2021.
Dalam kesempatan yang sama, Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini menunjukkan perbandingan data tren pertumbuhan investasi dan kinerja manufaktur. Sepanjang triwulan I hingga triwulan IV pada 2017-2019, laju investasi cenderung naik secara konstan. Pada 2021-2022, laju investasi juga menunjukkan tren merangkak naik. Namun, sepanjang triwulan I hingga triwulan IV pada 2017-2019, pergerakan pertumbuhan industri cenderung konstan. Tren serupa tampak pada periode setelah pandemi Covid-19.
Oleh sebab itu, Didik menilai, investasi yang masuk tidak berdampak signifikan terhadap kinerja industri manufaktur. Dengan demikian, Indonesia membutuhkan restrukturisasi ekonomi yang berorientasi pada hilirisasi dan serapan tenaga kerja.
Data BKPM menunjukkan, serapan tenaga kerja yang bersumber dari realisasi investasi sepanjang 2022 mencapai 1,305 juta orang. Berdasarkan penghitungan, realisasi investasi sebanyak Rp 1 triliun pada 2022 dapat menyerap 1.081 orang. Jika dibandingkan, jumlah serapan tersebut lebih kecil dibandingkan dengan posisi pada 2019 dan 2021 yang masing-masing sebesar 1.491 orang dan 1.147 orang.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional periode 2016/2019 Bambang PS Brodjonegero, pertumbuhan investasi belum berdampak pada kinerja industri manufaktur karena investor hanya melihat Indonesia sebagai pasar sehingga orientasinya pada produk yang langsung dijual kepada konsumen. ”Indonesia belum dipandang sebagai bagian dari rantai pasok global, berbeda dengan negara tetangga, seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Jika terlibat dalam rantai pasok global, investor akan berorientasi pada produk yang bisa diekspor. Selain itu, apabila dilihat dari sektornya, investasi yang utama belum menyasar industri manufaktur,” ujarnya dalam kesempatan yang sama.
Berdasarkan sektornya, data BKPM menunjukkan, realisasi investasi sepanjang 2022 tertinggi menyasar bidang usaha transportasi, gudang, dan telekomunikasi. Jumlahnya mencapai Rp 75,13 triliun dengan total 9.508 proyek.
Oleh sebab itu, Bambang mengatakan, hilirisasi sumber daya mineral mesti sejalan dengan rantai pasok global sehingga mempermudah masuknya investasi ke industri manufaktur. Ketika melihat Indonesia sebagai bagian dari rantai pasok global, investor asing akan melihat potensi volume produk yang dapat diekspor. Dia mencontohkan kebijakan hilirisasi nikel. Dengan hilirisasi, Indonesia dapat mengekspor produk hasil pengolahan nikel, seperti stainless steel, ferronickel, dan baterai kendaraan listrik.