Kendati Melambat, Ekspor Tetap Akan Topang Pertumbuhan Ekonomi Tahun Ini
Setitik terang pemulihan sejumlah negara tujuan utama ekspor RI pada tahun ini bakal turut menopang kinerja ekspor. Namun, RI tetap tidak boleh lengah, karena sejumlah tantangan menjaga kinerja ekspor masih ada.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Ekspor tetap akan menopang pertumbuhan ekonomi tahun ini meskipun bakal tumbuh lambat. Hal itu seiring dengan prospek pemulihan ekonomi negara-negara ekspor unggulan yang tidak segenting seperti perkiraan sebelumnya.
Kendati begitu, tren setiap negara menjaga keseimbangan neraca perdagangan dan komoditas semakin menguat. Salah satu upaya menjaga cadangan devisa itu dapat memengaruhi kinerja ekspor.
Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (6/2/2023), merilis, ekonomi RI sepanjang 2022 tumbuh 5,31 persen secara tahunan. Ekspor tumbuh 16,28 persen dan berkontribusi sebesar 24,49 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). PDB atas dasar harga berlaku pada 2022 sebesar Rp 19.588,4 triliun. Pertumbuhan ekspor tersebut lebih rendah dibandingkan pertumbuhan 2021 yang mencapai 19,95 persen.
“Ekspor tumbuh tetapi cenderung melambat. Pertumbuhan ekspor itu masih berlanjut tetapi akan melemah akibat penurunan harga sejumlah komoditas ekspor unggulan RI, terutama CPO,” kata Kepala BPS Margo Juwono dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Ekspor tumbuh tetapi cenderung melambat. Pertumbuhan ekspor itu masih berlanjut tetapi akan melemah akibat penurunan harga sejumlah komoditas ekspor unggulan RI, terutama CPO.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno optimistis kinerja ekspor pada tahun ini akan tumbuh baik. Risiko ekonomi di sejumlah pasar utama ekspor RI, seperti Amerika Serikat dan China, saat ini, mulai menurun.
Inflasi di Amerika Serikat sudah mulai turun. Ini mengindikasikan harga-harga barang di negara tersebut relatif lebih terkendali, sehingga daya beli masyarakat bisa berangsur pulih. Begitu pula China. Setelah mencabut kebijakan nol Covid-19, geliat industri, pergerakan, dan mobilitas masyarakat di negara tersebut juga mulai membaik.
“Selain kedua negara itu, Indonesia masih membidik ekspor ke negara-negara di kawasan Timur Tengah. Negera-negara tersebut bisa menjadi hub atau pintu masuk ekspor RI ke negara-negara di Afrika,” kata Benny ketika dihubungi di Jakarta.
Kendati demikian, lanjut Benny, banyak negara yang mulai fokus menyeimbangkan neraca komoditas dan perdagangan untuk menjaga stabilitas cadangan devisa negara mereka. India, misalnya, merupakan pasar ekspor baru yang prospektif bagi RI. Namun negara tersebut bisa sewaktu-waktu membuka dan menutup impornya untuk menyeimbangkan neraca komoditas dan perdagangan.
Begitu juga dengan Argentina. Negara di kawasan Amerika Latin tersebut tengah menerapkan kebijakan keseimbangan ekspor dan impor. Impor dapat dilakukan jika sudah ekspor dalam jumlah tertentu.
“Di tengah peluang dan tantangan itu, para eksportir berupaya menjaga pembeli lama agar tidak beralih ke negara lain. Salah satunya dengan cara penyesuaian harga. Para eksportir juga berupaya membuka jalan ke pasar-pasar baru melalui pameran-pameran internasional,” ujar Benny.
Dalam laporan terbarunya, World Economic Outlook Update Edisi Januari 2023, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia pada tahun ini bakal tumbuh lebih baik kendati masih tumbuh lambat. Ekonomi dunia pada 2023 diproyeksikan tumbuh 2,9 persen. Proyeksi itu sedikit lebih tinggi dari proyeksi IMF pada Oktober 2022 yang sebesar 2,7 persen.
Perdagangan global masih akan tumbuh lambat pada tahun ini dan bakal sedikit membaik pada tahun depan. IMF memperkirakan volume perdagangan barang dan jasa dunia pada 2023 dan 2024 masing-masing tumbuh 2,4 persen dan 3,4 persen.
Angka itu berada di bawah perkiraan pertumbuhan volume perdagangan pada 2022 yang sebesar 5,4 persen. Pertumbuhan volume perdagangan itu juga sedikit lebih rendah dari proyeksi IMF pada Oktober 2022 yang masing-masing sebesar 2,5 persen pada 2023 dan 3,7 persen pada 2024.
Perlambatan pertumbuhan perdagangan itu masih mempertimbangkan faktor perang Rusia-Ukraina yang masih berlanjut. Selain itu, masih ada sejumlah negara dan kawasan yang menerapkan restriksi dagang.
IMF juga merevisi pertumbuhan Amerika Serikat pada 2023 dari semula 1 persen menjadi 1,4 persen. Meskipun risiko inflasi mulai turun, namun kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat masih akan memengaruhi ekonomi domestik.
Adapun China dan India, bakal menjadi titik terang bagi dunia. Pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini direvisi dari 4,4 persen menjadi 5,2 persen, sedangkan India diperkirakan tumbuh 6,1 persen.
China dan India, bakal menjadi titik terang bagi dunia. Pertumbuhan ekonomi China pada tahun ini direvisi dari 4,4 persen menjadi 5,2 persen, sedangkan India diperkirakan tumbuh 6,1 persen.
Moody’s Analitics menyebutkan, Indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur China pada Januari 2023 sebesar 50,1 atau meningkat dari PMI Desember 2022 yang sebesar 47. Perayaan tahun baru China dan pembukaan mobilitas masyarakat membuat permintaan meningkat.
Namun, peningkatan PMI manufaktur itu baru terjadi di kalangan industri besar. PMI manufaktur industri dan usaha kecil menengah masih di bawah 50 atau di bawah ambang batas ekspansi. Hal ini menunjukkan bahwa China masih harus memulihkan industri.
“China juga masih memiliki pekerjaan rumah yang besar, yakni memulihkan pendapatan dan pasar tenaga kerja untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Tanpa upaya itu, pemulihan permintaan domestik akan terhambat,” kata Stefan Angrick, Ekonom Senior Moody’s Analitics melalui siaran pers.