Waktu Terbatas, Perppu Cipta Kerja Tak Kunjung Dibahas
Mekanisme panjang perlu ditempuh untuk membahas Perpu Cipta Kerja, sedangkan masa persidangan III 2022-2023 berakhir dua minggu lagi. Kelambanan DPR dikhawatirkan sebagai tindakan disengaja guna memuluskan persetujuan,
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR tak kunjung dibahas oleh DPR. Padahal, masa persidangan III DPR tahun sidang 2022-2023 akan berakhir beberapa pekan lagi. Mandeknya pembahasan akan membuat Perppu terus berlaku dan dinilai bertentangan dengan hakikatnya sebagai hukum darurat.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar ditemui di Kompleks Senayan, Jakarta, Jumat (3/2/2022), mengatakan, DPR belum memulai pembahasan Perppu Cipta kerja. Pasalnya, Perppu Cipta Kerja belum dibawa ke Rapat Pimpinan (Rapim) maupun Badan Musyawarah (Bamus). Ia juga belum bisa memastikan kapan perppu tersebut dibawa ke Rapim maupun Bamus.
Sesuai mekanisme, perppu harus lebih dahulu dibahas dalam Rapim. Selanjutnya, Perppu perlu dibahas dalam Bamus untuk menentukan alat kelengkapan DPR yang membahas perppu dengan perwakilan pemerintah. Setelah tuntas dibahas oleh alat kelengkapan DPR, perppu harus dibawa ke Rapat Paripurna DPR untuk diputuskan.
Berdasarkan aturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, perppu yang diterbitkan pemerintah harus dibahas di DPR di masa sidang berikutnya. Karena Perppu Cipta Kerja diserahkan ke DPR pada masa reses masa persidangan II tahun sidang 2022-2023 pada akhir 2022 hingga awal 2023, maka pembahasannya harus dilakukan pada masa persidangan III yang berakhir pada 16 Februari 2023.
Adapun dalam pengambilan keputusan di Rapat Paripurna, DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan atas perppu itu. Apabila disetujui oleh DPR, perppu tinggal menunggu disahkan menjadi undang-undang. Namun jika tak disetujui, perppu harus dicabut.
Muhaimin menambahkan, fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sudah menentukan sikap terhadap Perppu Cipta Kerja. "Pokoknya, Presiden Joko Widodo, kami setuju, termasuk soal kegentingan memaksa. Presiden pasti sudah punya pertimbangan," kata Muhaimin.
Sikap PKB menyusul fraksi tiga partai lain yang juga telah bersikap atas perppu tersebut. Sebelumnya, Fraksi Golkar juga menyatakan persetujuannya. Sementara itu, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera menolaknya. Alasan penolakan karena terbitnya perppu tak memenuhi syarat kegentingan memaksa dan bertolak belakang dengan putusan MK soal UU Cipta Kerja.
Adapun lima fraksi lainnya yang semuanya bagian dari koalisi pendukung pemerintah masih menunggu pembahasan sebelum menentukan sikap. Senada dengan Muhaimin, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi juga mengatakan, belum ada rapat Badan Musyawarah untuk menunjuk alat kelengkapan Dewan yang bertugas membahas Perppu Cipta Kerja.
Penugasan pun, kata Baidowi, belum tentu ke Baleg meski mereka yang dulu membahas membahas RUU Cipta Kerja bersama dengan pemerintah. “Bisa jadi dibahas oleh Baleg, Komisi, atau Panitia Khusus (Pansus) lintas komisi,” kata Baidowi.
Untuk sikap PPP mengenai Perppu Cipta Kerja, Baidowi menyampaikan, partainya masih menunggu pembahasan lebih dahulu. PPP baru akan bersikap setelah mengkaji dan membahasnya bersama di DPR.
Hal serupa disampaikan anggota Baleg dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Muhammad Nurdin. Menurut Nurdin, belum ada arahan dari fraksi tentang sikap PDI-P atas Perppu Cipta Kerja.
Ketua Fraksi PAN di DPR, Saleh Partaonan Daulay, juga mengatakan, fraksinya belum menentukan sikap karena masih mengkaji secara mendalam terkait Perppu Cipta Kerja, terutama hak-hak pekerja dalam konteks jaminan sosial. Ia menambahkan, fraksi PAN masih membahas perubahan pasal-pasal dari UU ke Perppu Cipta Kerja.
"Di DPR juga belum mulai pembahasannya, jadi masing-masing fraksi masih punya kesempatan melakukan kajian sebelum menentukan akan menyetujui atau menolak," ucap Saleh.
Melanggar undang-undang
Mekanisme pembahasan Perppu Cipta Kerja yang mandek ini dinilai akan menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya sikap DPR ini. Menurut pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Allan Fatchan Gani, DPR harus bersikap antara menolak atau menyetujuinya pada masa sidang ini.
Apabila DPR tidak bersikap, DPR sama saja melanggar Pasal 52 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Padahal yang justru ditunggu-tunggu adalah sikap DPR terhadap Perppu Cipta Kerja, mengingat perppu ini ditentang banyak kalangan dan secara formil cukup bermasalah. Kalau malah tidak bersikap sama sekali, ini semakin membuktikan DPR tidak memiliki kepekaan terhadap masukan publik," tutur Allan.
Jika DPR tidak bersikap, hal itu akan berimplikasi pada berlakunya Perppu Cipta Kerja secara terus menerus. Padahal, hal itu akan bertentangan hakikat perppu sebagai hukum darurat yang sifatnya sementara dan terbatas (dibatasi waktu).
"Prinsip hukum darurat yaitu tidak boleh diberlakukan lama-lama. Situasi genting harus diatasi. Apabila perppu terus berlaku, situasi masih dianggap genting," kata Allan.
Dugaan disengaja
Mandeknya pembahasan Perppu Cipta Kerja ini dikhawatirkan sebagai tindakan yang disengaja. Sebab, menurut peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, lambannya tindakan DPR ini janggal. Pasalnya, perppu sengaja diterbitkan karena ada kebutuhan mendesak sehingga tidak bisa menunggu proses pembahasan UU yang normal dan membutuhkan waktu lama.
"Nah ini pemerintah sudah buat perppu, tapi kok DPR-nya malah lelet?" kata Lucius saat dihubungi dari Jakarta.
Ia khawatir kelambanan DPR ini merupakan sesuatu yang disengaja. Sebab, sejak ditandatangani Presiden, perppu sudah berlaku dan bisa digunakan tanpa harus menunggu disahkan menjadi UU. Dengan demikian, lamanya proses pembahasan di DPR tak memengaruhi permbelakuan pasal-pasal di perppu. Apabila DPR tak kunjung membahasnya, perppu tetap bisa dijalankan.
Lucius menduga, kesengajaan itu juga atas sepengetahuan pemerintah. Sebab, kepentingan pemerintah adalah mengeksekusi aturan dalam Perppu tanpa harus melewati pembahasan yang lama di DPR.
Putusan itu menyatakan, ada cacat formil dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja sehingga undang-undang itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Pemerintah dan DPR pun diperintahkan memperbaiki undang-undang tersebut dalam waktu dua tahun dengan memperhatikan partisipasi publik yang bermakna dalam perbaikannya. Publik memiliki hak untuk didengarkan, dipertimbangkan pendapatnya, dan mendapat penjelasan.
Kemungkinan lain, kata Lucius, peta kekuatan antara pendukung dan penolak Perppu belum cukup jelas. Peta fraksi mungkin tak berjalan sesuai komposisi koalisi dan oposisi biasanya. Ini disebabkan situasi politik menjelang pemilu. Dengan demikian, perppu ikut tersandera pembahasannnya karena fraksi-fraksi menjadikan sikap mereka sebagai alat tawar politik.