Pengalihan Status Hukum BPJS Dinilai Akan Rentan Intervensi
Wacana perubahan tanggung jawab Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dari semula di bawah Presiden menjadi di bawah menteri dinilai akan berpotensi berdampak ke dana pengelolaan dan pelayanan kepada masyarakat.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Warga antre dengan tetap menjaga jarak saat mengurus administrasi BPJS Kesehatan di Kantor Cabang BPJS Kesehatan Jakarta Selatan, Selasa (23/11/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Wacana untuk mengubah tanggung jawab Badan Penyelenggara Jaminan Sosial beserta laporan pelaksanaan kegiatannya kepada Presiden menjadi laporan kepada menteri mendapat sorotan kelompok pekerja. Wacana ini berpotensi membuat BPJS rentan mengalami intervensi dan bisa berdampak ke pengelolaan dana serta menurunkan pelayanan kepada masyarakat.
Wacana perubahan itu terangkum dalam omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Saat ini, proses legislasi omnibus law RUU Kesehatan masih dalam proses penyusunan naskah akademik di Badan Legislasi DPR. Omnibus law ini mencakup sekitar 13 UU, yang di antaranya UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Sesuai dengan draf yang beredar, BPJS bertanggung jawab kepada presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan. Kemudian, BPJS berkewajiban melaksanakan penugasan dari kementerian.
Terkait proses pelaporan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan, BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala enam bulan sekali kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan atau Menteri Ketenagakerjaan dengan tembusan kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional.
BPJS berkewajiban melaporkan secara berkala enam bulan sekali kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan atau Menteri Ketenagakerjaan dengan tembusan kepada Dewan Jaminan Sosial Nasional.
Komposisi Dewan Pengawas BPJS juga mengalami perubahan, terutama pada pengurangan jumlah perwakilan serikat pekerja dan pengusaha dari masing-masing dua orang menjadi satu orang.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar, Kamis (2/2/2023), di Jakarta, berpendapat, ketentuan seperti itu, jika berlanjut sampai penetapan, berarti mengubah substansi UU No 24/2011. Perubahan itu berpotensi berdampak buruk terhadap pengelolaan dana dan pelayanan jaminan sosial kepada pekerja.
”Di UU BPJS mengamanatkan tanggung jawab Direksi dan Dewan Pengawas BPJS langsung kepada Presiden. Pelaporan pelaksanaan program pun kepada Presiden. Ketika peran seperti ini diubah jadi di bawah menteri, posisi tawar BPJS menjadi kecil,” ujarnya.
Pekerja dengan risiko tinggi bergelantungan menyelesaikan pamasangan logo sebuah gedung di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (23/12/2022). Perlindungan pekerja rentan masih menjadi pekerjaan rumah. BPJS Ketenagakerjaan mencatat, dari target 20 juta pekerja rentan, baru 1,2 juta pekerja rentan yang terlindungi jaminan sosial.
Menurut Timboel, baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan semestinya dikelola dengan prinsip profesionalitas, demokratis, transparan, dan akuntabilitas (good governance). Keduanya merupakan lembaga yang menghimpun dana masyarakat. Jika tanggung jawab kedua badan menjadi di bawah kementerian, badan dikhawatirkan rentan mengalami intervensi.
”BPJS berpotensi mendapat penugasan sesuatu (dari kementerian) yang berpotensi merugikan dana kelolaan masyarakat, seperti menempatkan ke instrumen investasi yang tidak menguntungkan. Atau, penugasan kementerian yang membuat pelayanan kepada warga/pekerja menjadi tidak terfokus,” katanya.
Timboel lantas mencontohkan saat BPJS Ketenagakerjaan masih bernama dan berwujud PT Jamsostek (Persero). Kala itu, PT Jamsostek (Persero) masih di bawah Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan diminta membeli saham Garuda Indonesia yang akan melantai di Bursa Efek Indonesia. Namun, pada 2021, Badan Pemeriksa Keuangan pernah meminta BPJS Ketenagakerjaan untuk melakukan cut loss atau take profit saham Garuda Indonesia.
Jika tanggung jawab kedua badan menjadi di bawah kementerian, badan dikhawatirkan rentan mengalami intervensi.
Pengelolaan dana pekerja oleh BPJS Ketenagakerjaan saat ini sekitar Rp 630 triliun, aset bersih dana jaminan sosial program jaminan kesehatan nasional (JKN) di BPJS Kesehatan mencapai sekitar Rp 54,7 triliun, dan pendapatan iuran JKN sekitar Rp 143 triliun.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal berpendapat senada. Menurut dia, mayoritas tanggung jawan pengelolaan jaminan sosial di seluruh dunia berada di bawah presiden, bukan kementerian. BPJS merupakan lembaga yang mengumpulkan uang dari rakyat dengan jumlah yang terus membesar sehingga seharusnya berada bawah presiden.
”Kami juga tidak sepakat dengan substansi draf naskah akademik omnibus law RUU Kesehatan yang menyatakan komposisi unsur buruh di Dewan Pengawas BPJS berkurang jadi satu orang. Padahal, dana yang dikelola berasal dari warga/pekerja. Mengapa perwakilan pekerja justru dikurangi?” katanya.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Indah Anggoro Putri, saat dikonfirmasi, mengatakan, belum bisa mengomentari proses yang masih berjalan terkait substansi draf omnibus law RUU Kesehatan yang di dalamnya menyangkut peran Kemenaker dan BPJS Ketenagakerjaan.