Alih-alih dana asing kabur dan rupiah melemah, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS justru menguat. Ini dikarenakan investor global menilai risiko Indonesia ini relatif kecil dan menjanjikan.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve atau The Fed, untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poins sehingga kini menjadi 4,5 persen-4,75 persen pada Rabu (1/2/2023) waktu setempat tidak melemahkan nilai tukar rupiah. Kinerja perekonomian Indonesia yang positif menarik investor global menaruh dananya di dalam negeri sehingga nilai tukar rupiah justru menguat.
Hal ini ditunjukkan oleh kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) yang pada penutupan perdagangan Kamis (2/2/2023) pada posisi Rp 14.868 per dollar AS. Angka ini menguat dibandingkan perdagangan Rabu (1/2/2023) yang ditutup pada level Rp 14.991 per dollar AS. Bahkan, kurs rupiah saat ini terus dalam tren menguat sejak kembali menembus angka Rp 14.000 mulai 24 Januari 2023.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, keputusan The Fed menaikkan suku bunga itu sudah sesuai ekspektasi pasar sehingga tidak memicu larinya dana (capital outflow) dari Indonesia. Hal ini pun menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Alih-alih dana asing kabur dan rupiah melemah, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS justru menguat. Ini dikarenakan investor global tertarik membawa modalnya masuk ke pasar keuangan Indonesia. Sebab, mereka menilai risiko Indonesia ini relatif kecil dan menjanjikan.
Hal ini ditunjukkan berbagai indikator ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan inflasi terkendali. Capaian ekonomi Indonesia lebih baik ketimbang banyak negara lainnya yang mengalami potensi resesi dan hiperinflasi.
”Masih masuknya aliran dana asing ini yang membuat rupiah relatif stabil bahkan menguat beberapa waktu terakhir,” ujar Josua yang dihubungi pada hari Kamis (2/2/2023) di Jakarta.
Mengutip data Bank Indonesia (BI), sejak awal tahun sampai 26 Januari 2023, jumlah dana asing yang masuk ke pasar keuangan Indonesia dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 48,08 triliun. Adapun dana asing yang keluar dengan menjual neto pasar SBN mencapai Rp 6,83 triliun. Lebih tingginya modal yang masuk ini membuat posisi rupiah menguat.
Ia menjelaskan, merespons kenaikan suku bunga acuan The Fed, BI diperkirakan masih akan menaikkan suku bunga acuan sekali lagi sebesar 25 basis poin sehingga menjadi 6,00 persen. Ini dilakukan BI untuk menjaga inflasi inti berada di bawah level 4 persen pada semester pertama tahun ini.
Josua memperkirakan suku bunga acuan BI tidak akan naik secara agresif tahun ini seiring dengan makin meredanya inflasi dalam negeri.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan, tahun ini kenaikan suku bunga acuan The Fed tidak akan seagresif tahun lalu. Sebab, tingkat inflasi ”Negeri Paman Sam” itu mulai melandai. Kenaikan suku bunga The Fed diperkirakan berhenti di semester pertama tahun ini.
Tahun lalu The Fed sudah menaikkan suku bunga sebesar 450 basis poins. Posisi suku bunga acuan The Fed yang mencapai 4,5-4,75 persen ini yang tertinggi sejak 2007.
Kendati demikian, Faisal mengatakan, dengan inflasi dalam negeri relatif terkendali, nilai tukar rupiah yang stabil cenderung menguat, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif membuat BI kemungkinan tidak akan lagi menaikkan suku bunga acuan sampai akhir tahun.
”Kami meyakini inflasi dalam negeri akan kian menurun. Nilai tukar rupiah juga akan stabil seiring masih masuknya dana asing ke dalam negeri. Dengan demikian, BI bisa tetap menjaga suku bunganya pada level saat ini, yakni 5,75 persen,” ujar Faisal.