Tekanan Global Mereda, Risiko Ekonomi Tak Seburuk yang Dibayangkan
Berkaca dari tekanan global yang mereda dan stabilnya sejumlah indikator ekonomi domestik, momentum pemulihan ekonomi RI tahun ini diyakini masih kuat. Pemerintah meyakini ekonomi tetap tumbuh di kisaran 5 persen.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekhawatiran akan terjadinya perlambatan ekonomi global yang mengarah pada resesi pada tahun 2023 mulai berkurang. Tekanan global yang mereda di awal tahun ini dan membaiknya sejumlah indikator perekonomian domestik membawa setitik harapan bahwa momentum pemulihan ekonomi RI akan terus berlanjut di tengah ketidakpastian.
Kondisi ekonomi global yang sedikit lebih membaik itu disoroti dalam Rapat Berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) I tahun 2023 yang diadakan pada Senin (30/1/2023). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tekanan global mulai terlihat mereda sejak akhir triwulan IV tahun 2022 meskipun secara umum masih ada risiko yang perlu dicermati.
Berkurangnya tekanan global itu akibat kondisi perekonomian di Eropa dan Amerika Serikat yang sedikit membaik serta keputusan China untuk kembali membuka perekonomiannya setelah menerapkan pembatasan (lockdown) ketat akibat Covid-19.
”Ini menggambarkan kalau tekanan yang tadinya sangat berat, sekarang sedikit agak ringan. Ini membawa harapan kalau pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini akan lebih baik. Tidak ekstrem baik karena masih ada pelemahan, tetapi tidak sampai pada tingkat resesi yang awalnya dikhawatirkan. Jadi, tidak seburuk yang dibayangkan,” katanya dalam konferensi pers KSSK di Jakarta, Selasa (31/1/2023).
Menurut dia, tekanan inflasi global mulai berkurang kendati tetap di level yang tinggi seiring dengan masih tingginya harga sejumlah komoditas energi dan pangan, masih berlanjutnya gangguan rantai pasok, serta ketatnya pasar tenaga kerja di AS dan Eropa.
Pengetatan kebijakan moneter oleh bank sentral negara-negara maju pun diperkirakan mendekati titik puncak, dengan suku bunga yang masih akan tetap tinggi sepanjang tahun ini. Meski demikian, ketidakpastian pasar keuangan global mulai berkurang.
”Ini berdampak positif bagi negara berkembang, yang dampaknya mulai terlihat dari meningkatnya aliran modal global dan berkurangnya tekanan pelemahan nilai tukar di berbagai negara,” ujar Sri Mulyani.
Perkiraan itu sejalan dengan laporan terbaru World Economic Outlook (WEO) Update edisi Januari 2023 yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF), Selasa. IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi globalnya untuk tahun 2023, dari sebelumnya 2,7 persen pada perkiraan WEO edisi Oktober 2022, menjadi 2,9 persen pada proyeksi terbaru ini.
Ini menggambarkan kalau tekanan yang tadinya sangat berat, sekarang sedikit agak ringan. Ini membawa harapan kalau pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini akan lebih baik.
Kembali dibukanya perekonomian China setelah ditutup akibat penyebaran Covid-19 diyakini akan mendorong pemulihan lebih cepat. Kondisi keuangan global juga dinilai mulai membaik dengan menurunnya inflasi serta dollar AS yang mulai turun dari level tertingginya. Seiring dengan itu, inflasi global pun diperkirakan akan turun dari 8,8 persen pada 2022 menjadi 6,6 persen pada 2023.
”Inflasi membaik dengan adanya penurunan di berbagai negara meski inflasi inti masih meningkat. Penguatan dollar AS juga mulai mereda dibandingkan level tertinggi waktu November 2022. Ini memberi kelegaan dan bisa menjadi titik balik untuk kondisi ekonomi dunia, khususnya bagi negara berkembang,” kata Kepala Ekonom dan Direktur Departemen Riset IMF Pierre-Olivier Gourinchas.
IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi RI dari 5 persen pada prediksi edisi Oktober 2022 menjadi 4,8 persen. Berbagai lembaga ekonomi dunia lainnya juga memprediksi ekonomi RI tumbuh di kisaran yang sama, seperti proyeksi Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebesar 4,7 persen, serta Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) sebesar 4,8 persen.
Kembali dibukanya perekonomian China setelah ditutup akibat penyebaran Covid-19 diyakini akan mendorong pemulihan lebih cepat.
Masih kuat
Sri Mulyani mengatakan, berkaca dari tekanan global yang mereda dan sejumlah indikator ekonomi dalam negeri, momentum pemulihan ekonomi Indonesia tahun ini masih sangat kuat. Pertumbuhan ekonomi di triwulan I tahun 2023 ini pun diyakini bisa lebih kuat dari kondisi pada triwulan I tahun 2022, yang saat itu tertahan akibat adanya penyebaran Covid-19 varian Omicron.
”Berbagai faktor ini membuat kita optimistis kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini masih akan tetap di kisaran 5 persen, bahkan mendekati asumsi APBN 2023, yaitu 5,3 persen. Meski tetap ada downside risk (risiko), kita kita lihat upside force-nya akan jauh lebih kuat.” katanya.
Apalagi, setelah dicabutnya kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), ia meyakini, pertumbuhan ekonomi di triwulan I-2023 akan terdorong oleh mobilitas dan konsumsi masyarakat. Seiring dengan itu, aliran penanaman modal asing (PMA) juga terpantau lancar. ”Ramadhan dan hari raya tahun ini juga akan kembali full selebrasinya sehingga bisa semakin memperkuat momentum pemulihan,” katanya.
Ke depan, inflasi sepanjang tahun 2023 diperkirakan akan tetap berada pada kisaran 3 persen plus minus 1 persen. Demikian pula, posisi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga diyakini semakin kuat dibandingkan tahun lalu.
Menurut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, ada beberapa faktor fundamental yang memperkuat posisi Indonesia tahun ini. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang masih tinggi dibandingkan ekonomi global dan negara emerging markets lainnya. Kedua, inflasi yang masih terkendali. BI memperkirakan, inflasi inti dan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk semester I-2023 akan di bawah 4 persen.
Berbagai faktor ini membuat kita optimistis kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini masih akan tetap di kisaran 5 persen, bahkan mendekati asumsi APBN 2023, yaitu 5,3 persen.
”Perkiraan kami, akhir tahun ini, inflasi IHK bisa mencapai 3,5 persen. Bandingkan dengan inflasi dunia yang sekarang di atas 8 persen. Jadi, inflasi kita rendah dan mendukung penguatan rupiah,” katanya.
Ketiga, surplus neraca perdagangan yang tertinggi sepanjang sejarah dan transaksi berjalan yang masih imbang dengan neraca pembayaran diyakini akan surplus. Keempat, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) yang masih menarik. ”Berbagai faktor fundamental ini yang membuat kami yakin kalau pasar valas rupiah akan semakin menguat tahun ini,” ujar Perry.
Meski secara umum mulai membaik, laporan WEO Outlook oleh IMF mengingatkan berbagai risiko yang tetap harus diantisipasi. Kendati China sudah kembali membuka ekonominya, proses pemulihan akan tetap memakan waktu dan berimbas pada ekonomi dunia dalam bentuk permintaan global yang tertahan serta potensi masalah baru di rantai pasok global.
Di sisi lain, perang Rusia-Ukraina yang belum menemui titik terang dapat bereskalasi tahun ini dan memberi tekanan lanjutan pada inflasi yang sebenarnya mulai mereda. ”Harga minyak, gas, dan pangan akibat perang dan permintaan dari China bisa menaikkan lagi inflasi dan kembali mendorong kebijakan pengetatan moneter,” tulis laporan itu.